REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahrul Calu
Tikus yang selama ini menjadi salah satu musuh bebuyutan petani khususnya pada areal sawah siap panen ternyata lain halnya dengan petani di kecamatan Cempa kabupaten Pinrang. Anas (40), salah seorang petani dari daerah ini berhasil menemukan jalan keluar dari permasalahan tikus ini. Kalau selama ini dirinya dan petani lainnya menangkap tikus dan bangkainya cuma dibuang begitu saja, namun sejak tahun 2005 ia berhasil memanfaatkan dan mengolah bangkai tikus menjadi pupuk kompos cair.
Pengetahuan ini ia dapatkan tanpa sengaja saat membuang bangkai-bangkai tikus ke areal persawahannya dan ternyata bangkai itu membantu menyuburkan tanah persawahannya. Sejak saat itu, ia mulai mencari cara untuk mengolah bangkai tikus ini agar bisa menjadi pupuk kompos. Metode awalnya, ia menggunakan drum sebagai alat menampung tikus yang kemudian melalui proses permentasi selama tiga bulan untuk memisahkan tulang dan dagingnya serta bau bangkai yang menyengat. Air sari dari daging yang membusuk inilah yang kemudian disaring dan dijadikan pupuk kompos cair untuk disiramkan ke areal persawahan.
Sejak april 2011, Anas berhasil mengembangkan penemuannya ini dengan tidak menggunakan drum lagi sebaga wadahi penampungan dan pengolahan bangkai dalam masa permentasi tetapi mengganti wadahnya dengan bak (dari bata yang direkatkan dengan campuran semn dan pasir) yang diberi kran pembuangan pada bagian bawahnya. Keunggulan sistem bak ini, bau bangkai berhasil diredam dan air sarinya bisa lebih mudah diambil melalui kran.
Dari segi kualitas hasil, pupuk kompos cair ini dibagi dalam dua kelas. Jenis kelas satu, air sari bangkai ini tidak dicampur dengan air sehingga efek menyuburkannya lebih baik dibanding jenis kelas dua yang dicampur dengan air. Untuk komposisi produksi, 100 ekor tikus menghasilkan 10 liter pupuk kompos cair jenis kelas satu.
Dengan adanya penemuan seperti ini, Anas dan kelompok taninya dalam setiap musim tanam berhasil diuntungkan dari segi penggunaan pupuk urea (kimia). Jika memakai pupuk ini sebagai pupuk bantuan, prosentase pemakaian pupuk urea berkurang hingga 35%. Selain itu, sejak menggunakan pupuk bangkai tikus ini, hasil panen yang didapatnya ikut semakin meningkat. Keunggulan lainnya, pengaruh pupuk tikus dalam menyuburkan tanah persawahan bisa bertahan hingga musim tanam berikutnya sehingga untuk sekali siram jenis kelas satu, petani bisa menikmati hasilnya dua musim tanam. Takaran pemakaian, 10 liter pupuk bisa digunakan untuk 10 are areal persawahan. Saat ini sudah 4500 hektar persawahan di kecamatan Cempa, kabupaten Pinrang yang ikut menggunakan pupuk tikus ini sebagai pupuk alternatif tambahan.
Dalam mempersiapkan bahan baku pupuknya, Anas dan rekan-rekannya menebar 50 perangkap disekitar areal persawahan untuk memancing tikus datang dan beraksi. Dengan jumlah perangkap sebanyak ini, mereka bisa memanen tikus tangkapan sekitar dua ratusan ekor perharinya.
Sejak adanya penemuan ini, beberapa peneliti tikus baik dari lokal, nasional dan internasional berdatangan untuk melihat langsung dan mempelajari metode bangkai tikus ini. Berkat penemuan dan kegigihannya dalam mempelajari cara hidup tikus, Anas dijuluki Profesor tikus oleh Profesor Djafar Baco, seorang peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (BPPTP) kabupaten Maros saat melakukan kunjungan ke kecamatan Cempa beberapa waktu yang lalu. email pengirim: syahrulcalu72@yahoo.co.id