REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Efendi Lc*
Selama 28 hari digempur militer Israel, Gaza hampir menjadi kawasan padat mayat dan kota bersimbah darah. Hingga Selasa (5/08), Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza merilis, jumlah korban di Jalur Gaza mencapai 1.884 meninggal dunia dan 9.567 orang lainnya luka-luka.
Sepertiga lebih dari korban tersebut adalah anak-anak dan wanita. Jumlah ini mungkin masih akan terus meningkat, mengingat masih banyak korban tertimbun dibawah puing dan reruntuhan.
Jika melihat data kerusakan fisik, maka Jalur Gaza juga ibarat kota tua bertabur puing dan reruntuhan. Sekitar 60.129 serang bom dan rudal Israel telah meluluhlantakkan infrastruktur Gaza. Sebanyak 1.656 bangunan rumah hancur total, 8.424 lainnya mengalami kerusakan. Serangan Israel juga telah menghancurkan fasilitas umum dan menyengsarakan warga Gaza.
Sebanyak 24 rumah sakit dan klinik kesehatan rusak, 8 instalasi air minum Gaza juga dibom. Bahkan, pembangkit listrik satu-satunya yang menjadi tumpuan rakyat Gaza untuk penerangan dan energi tak bisa beroperasi akibat hantaman rudal israel. Gaza semakin gelap gulita.
Dilihat dari data dan fakta, apa yang kini terjadi di Gaza bukan sekedar agresi, tapi mengarah kepada genosida. Hancurnya 81 masjid dan 37 lainnya rusak akibat gempuran-gempuran Israelserta 162 bangunan sekolah dan 6 universitas di Jalur Gaza yang juga tak luput menjadi target serangan negara zionis tersebut.
Universitas Islam Gaza yang pernah saya kunjungi bersama relawan KNRP pada 2013 dan kami menitipkan bantuan beasiswa pendidikan, juga rusak dihantam rudal-rudal Israel. Dalam kamus hak asasi manusia, bukankah ini cultural genoside?
Bukan kali ini saja Gaza menderita. Pada 2008-2009 dan 2012 Israel juga pernah memuntahkan senjata-senjata pemusnah massalnya di Jalur Gaza. Ribuan orang meninggal dunia. Namun agresi bukan satu-satu cara israel dan antek-anteknya menyengsarakan rakyat Gaza. Sejak 2007 Jalur Gaza diblokade dari darat, laut dan udara. Kecuali dalam urusan bernafas, 1,8 juta rakyat Gaza seolah harus hidup dalam penjara terbesar yang pernah ada.
Tapi rakyat Gaza tak putus asa. Pemerintah dan rakyatnya mencoba bertahan ditengah kepungan. Mereka membangun Gaza. Membangun manusia dan kehidupan. Kesulitan mendapatkan bahan bakar dan listrik tak jadi alasan untuk berkreasi dan berinovasi. Sektor pertanian masih bisa diberdayakan.
Ketika KNRP berkunjung ke Gaza tahun 2012, Menteri Pertanian Palestina di Gaza mengatakan, 98 persen kebutuhan pangan Gaza sudah bisa ditutupi dari swasembada pangan. Gurun mereka sulap menjadi lahan hijau ranum. Komoditi pertanian Gaza bahkan melimpah, siap untuk diekspor.
Bahwa Gaza masih dijajah dan diblokade adalah fakta. Kehidupan disana belum seperti layaknya manusia bebas merdeka. Terowongan-terowongan antara Rafah Mesir dan Gaza yang cukup membantu rakyat Gaza bertahan hidup, seolah tak boleh dibiarkan. Seiring penghancur-leburan ratusan terowongan itu, israel kembali datang membawa petaka. 2014 menjadi saksi bisu, bahwa kemanusiaan kembali dikoyak di Gaza. Manusia di sana tak ubahnya seperti binatang. Seolah mereka layak dibantai, layak dibinasakan.
Rakyat Gaza tak ingin meratap di atas duka. Yakin bahwa mereka adalah manusia yang punya derajat dan hak yang sama, maka mereka terus berjuang dan berusaha. Mereka giat membangun meski terus dihancurkan. Betul bahwa Gaza kini membutuhkan uluran tangan kemanusiaan. Namun justru kita belajar tentang kemanusiaan dari Gaza. Bahwa hal-hal fisik tak selalu menjadi yang termahal dalam kehidupan. Dan kemerdekaan serta keadilan adalah hak mendasar manusia untuk hidup layak dan bahagia.
*Penulis adalah Sekretaris Umum Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP)