REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana*
Tatkala Jasli Josan tengah berbincang dengan seorang temannya dari Indonesia di Hilversum, Belanda, datang kawan temannya itu. Sang kawan yang datang belakangan itu lebih tua dari mereka, warga asli Belanda yang fasih berbahasa Indonesia. Begitu mendengar perbincangan dua orang Indonesia tentang Buya Hamka, lelaki Belanda itu pun urun bicara, apalagi ia belum lama kembali dari negara yang pernah dijajah leluhurnya.
“Saya masih sempat melihat beliau memberi ceramah di televisi,” katanya. “Itulah pertama kali saya benar-benar seperti melihat beliau dari dekat.”
Memang, karunia tersendiri bagi si Belanda itu karena tak lama setelah berceramah di saluran TVRI, pada 28 Juli 1981 Buya Hamka wafat.
“Bagaimana kesan Anda?” tukas Jasli.
“Mengesankan. Cara beliau memberi ceramah sangat menarik. Sekalipun tanpa naskah, ia mampu mengungkapkan persoalan secara sistemat,” Terang si Belanda. Sejenak ia berhenti bicara. Diusapnya janggutnya nan lebat.
“Pada saat yang sama,” lanjutnya berbicara, “sebelumnya di televisi juga berbicara seorang pejabat Indonesia. Ia mengungkapkan sesuatu yang penting tentang agama Islam. Penampilannya sangat resmi, Bagi saya, bahkan sangat tidak menari.”
Jasli Josan menceritakan kejadian itu dalam salah satu tulisan yang disumbangkan untuk buku Perjalanan Terakhir Buya Hamka (1982), suntingan tim wartawan Panji Masyarakat. Jasli secara khusus mengirimkan cerita ini dari tempatnya bekerja di Belanda.
Tersenyum Jasli mendengar sikap terus terang si Belanda. “Orang Belanda memang terkenal akan sikapnya yang lugas dalam menyatakan pendapat. Suka dikatakannya suka, tidak suka dikatakannya tidak,” tulisnya atas tanggapan kawan bicaranya itu.
Yang menarik, londho Belanda itu penganut taat Kristen. Toh ia antusias mendengarkan ceramah Buya Hamka di layar kaca. Sampai habis bahkan ia merasa waktu yang ada masih kurang.
Jules Sethaan juga seorang penganut taat Kristen. Ia berkawan juga dengan Jasli. Kepada Jasli, Jules menceritakan pertemuannya dengan Buya Hamka.
Saban bertemu dengannya, Buya Hamka selalu menyapanya dengan kalimat, “Apa kabar saudaraku?” Bagi Jules, ini amat mengesankan di hati.
Dalam salah satu pertemuan dengan Jules, Buya Hamka membahas riwayat Maryam menurut Islam, lalu membandingkannya dengan kisah versi Injil. Jasli sendiri ada di tengah mereka. Ia perhatikan wajah kawannya itu begitu serius menyimak. Usai pertemuan itu, kata Jasli, tanpa dimintanya Jules pun berkata, “Bukan main! Saya tidak percaya kalau yang bicara tadi seorang Islam. Ia begitu memahami persoalan.”
Kemampuan menguraikan persoalan pelik dengan mudah, sistematis, dan retorika menarik, merupakan rahasia bahasa dakwah Buya Hamka. Setidaknya begitu yang ditangkap Jasli Josan, sebagai jurnalis, yang menemani orang-orang asing bahkan berbeda iman tatkala membicarakan Buya Hamka.
Buya Hamka juga tak risih menguraikan paparannya di depan audiens dengan bahasa—yang bagi sebagian orang mungkin—terdengar “kampungan”. Di antaranya acap kali kosakata Minang dipakai Buya Hamka. Kebarat-baratan dalam berbahasa bukan karena unjuk pamer. Hafalan dalam angka-angka dan data sejarah juga mumpuni tapi untuk menguatkan hujjah.
Namun, dari semua kiat itu, kejujuran menegakkan kebenaran adalah fondasi Buya Hamka dalam berdakwah. Kejujuran yang tak perlu menguak beda dengan pihak yang diajak berdialog. Kejujuran yang tak merenggangkan sebentang perbedaan. Kejujuran untuk tak mau tampil melebihi dari semestinya hanya karena ingin dinilai sebagai sosok hebat. Inilah satu perpaduan menerapkan dalam bahasa sehari-hari bentuk ucapan sebagaimana dititahkan Alquran: qaulan karima, qaulan ma’rufa, qaulan sadida, qaulan baligha, qaulan maysura, dan qaulan layyina.
Alhasil, jadilah orang-orang yang berbeda pendirian iman sekalipun bisa tersentuh. Adapun soal hidayah, itu soalan berbeda. Tapi setidaknya, modal ini berharga untuk menancapkan kewibawaan Islam dan umatnya. Jangan sampai, sesiapa mendakwa diri dengan simbol Islam dan kosakata islami, berani berdialog dengan kalangan keras hati pelanggar kemanusiaan tapi hasilnya malah blunder. Niat mendakwahi pihak yang dianggap musuh Islam malah membuatnya jadi kontraproduktif seperti menggadaikan empati kemanusiaan. Sebab, sudahlah niat untuk tampil jumawa mesti dikoreksi, kapasitas diri menyampaikan sikap tegas dan lembut pun masihlah perlu dievaluasi.
*Pustakawan, penulis buku "Mufakat Firasat" dan "Panggilan Bersatu"