REPUBLIKA.CO.ID, Puisi Budi Sabarudin
Kepada Burung Walet
Hahaha…
Kau sudah berubah jadi selebritas burung walet. Foto-fotomu
Berseliweran dan berterbangan di baliho-baliho, poster, dan
Spanduk-spanduk besar. Juga masuk lewat pintu dan kaca
Mobil angkot serta rumah-rumah tokoh agama,
Majelis ta’lim ibu-ibu, dan guru-guru
Kulihat liur di bibirmu, pipimu, dan matamu serupa
Butiran-butiran emas murni yang jika diekspor akan sangat mahal
Harganya. Bayarannya pun tentu dengan lembaran cek atau
Melalui e-banking, bukan lewat lubang kecil seperti di kasir-kasir KUD itu
Orang-orang pun datang seperti terlibat adu lari 100 meter :
Memburumu sambil membawa jaring dan serangga di dalam plastik
serta ember. Tapi orang-orang dengan bintang dan bank-bank
di perutnya naik taksi tanpa argo, pajero dan
pesawat pribadi
Tapi sebelum kau menjelma jadi pemimpin, lalu seluruh jari
Tanganmu berubah menjadi pohon kaktus, biji kolang-kaling
Keluar dari matamu, lidahmu menjalar membentuk akar pohon
Beringin, kata-katamu menjadi buah pare dan getah karet,
Rambutmu dijadikan sarang semut rangrang, wajah dan tubuhmu
Bertumbuhan tanaman yuca dan benalu, serta kaki menjadi kaki-kaki lancah maung –
O, aku akan menangkapmu, lalu mengajakmu jalan-jalan ke pasar-pasar
Hewan, pasar burung, dan pasar ikan.
Ah, sudah pasti ada banyak binatang dan kotorannya di sana toh?
Bebek misalnya. Juga ada ayam jantan dan betina. Entog, sapi, kerbau,
Dan juga domba atau kambing. “Kambing itu enaknya di sate, bukan diadu
Domba, atau dicari-cari di mana kambing hitamnya.”
Suara binatang itu juga sudah pasti gaduh
Seperti di gedung parlemen saat membahas kenaikan BBM
Dan kotoran mereka itu mirip sampah partai politik usai kampanye
Pemilu Presiden, Pemilukada, Pemilu Legislatif, dan Pilkades
Binatang-binatang itu dikurung, diikat dari lubang hidungnya, dan
Ada yang diikat kakinya juga. “Kau tahu mengapa mereka
Diperlakukan seperti itu? Ya, karena mereka itu binatang dan
bukan seperti kita, manusia yang keren.”
Di pasar burung juga ramai sekali. Segala jenis burung ada di sana.
Burung pipit misalnya, atau burung dara dan tekukur. Bahkan
Ada yang menjual manuk bueuk
Suara mereka bersahutan seperti nyanyian para hakim,
Terpidana, dan pengacara di meja-meja pengadilan
Di pasar ikan tak kalah ramai. Tapi maksudku kau tak perlu jadi belut,
gurame, cumi-cumi, teri, atau ikan koi sekalipun.
“Binatang itu bisa marah jika tak diberi makan. Mereka juga tak mau
Mengalami gizi buruk seperti yang terjadi pada manusia. Apalagi
Sampai menemui kematian yang sia-sia. Oh, arwahnya pasti gentayangan.”
Hey, aku hampir lupa. Ayo kita kunjungi pasar-pasar tradisional
Aku ingin kau memborong seluruh bumbu dapur : jahe, kunyit,
Bawang putih, bawang merah, bawang bombay, ketumbar, pala,
Cengkeh, kencur, daun salam, daun serei, dan bumbu dapur lainnya
Yang tidak mungkin disebutkan satu per satu dalam puisi ini
Setelah itu tak perlu malu bercakap-cakap dengan ibu-ibu
Di dapur-dapur : tanya bagaimana mereka membuat sayur lodeh,
Sayur kacang, tumis bayem, pepes teri, sambal oncom dan
Sambal leunca
“Bukankah memimpin itu seni meramu bumbu menjadi masakan
Enak dan sedap jika disantap? Ya, memimpin itu sesungguhnya
Seni memilih dan mencintai bumbu dapur juga.”
Kau juga harus tahu kegunaan bumbu dapur untuk kesehatan. Bawang
Merah misalnya, itu bisa dimakan ketika kau akan bertemu
Dengan konglomerat-konlomerat atau para istri-itri pejabat. “Ini penting supaya
Perutmu tidak kemasukan angin. Itu obat herbal paling mujarab loh?”
Daun serei pun sangat baik buat kesehatan, terutama
Mencegah kejang-kejang atau step. Makanlah daun serei
Sebagai lalapan atau penyedap sayur. “Kalau pengunjuk rasa
Menyerbu kantormu, kau tidak akan kaget dan tidak akan diserang
penyakit kejang-kejang.”
Namun tukang kayu janganlah dilupakan. Cermati
Ketika ia memperbaiki kursi yang patah kakinya. Tanya mengapa meja
dan laci-lacinya yang bolong itu perlu ditambal, dan jika
sudah rusak betul dimasukan ke dalam tungku untuk perapian.
Setelah itu jadilah engkau burung walet yang sesungguhnya
Manuk Bueuk = Burung Hantu
Tangerang, 29 April 2012
BUDI SABARUDIN, lahir di Desa Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Senang menulis cerpen dan puisi serta naskah drama anak-anak. Karya-karya cerpen dan puisi pernah dimuat di koran lokal dan nasional serta media online. Mengelola Sanggar Kancil yang menggarap “Teater Halaman Rumah” untuk anak-anak di lingkungn sekitar rumah. Salah satu cerpennya “Gadis Pemetik Kangkung” terangkum dalam antologi cerpenis Mataram-NTB (1998). Kini tinggal di Taman Royal 3, Jalan Akasia 3 AX1 No 8, Cipondoh, Kota Tangerang. Email : [email protected] ***