Selasa 16 Jul 2013 15:18 WIB

Kuslan Tak Berani Bercita-cita Lagi

Susahnya menjadi sarjana bagi kalangan tak mampu di negeri ini (ilustrasi).
Foto: zonaberita.com
Susahnya menjadi sarjana bagi kalangan tak mampu di negeri ini (ilustrasi).

Oleh Agus Santoso (Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan)

 

REPUBLIKA.CO.ID, “Ibu, aku kok mimpi nunggang gajah ya …”, kataku pagi itu pada ibu yang sedang menimba air di sumur. “Apa artinya aku diterima di ITB ya bu?”, lanjutku penuh harap untuk diamini Ibuku.

Ya, aku baru saja mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi negeri. Pilihan utamaku ya institut teknik terkenal itu, untuk pilihan yang lain, aku memilih fakultas hukum di salah satu universitas negeri juga.

“Yah, mudah-mudahan rezekimu bagus ya tong (panggilan kesayangan untukku), Gusti Allah ndak pernah tidur … sing rajin belajar, jangan lupa doa yang khusyuk memohon padaNya, insya Allah kabul …”, jawab ibuku. Ia perempuan yang bersahaja, jawaban seperti itu sudah membesarkan hatiku.

Hari yang kutunggu-tunggupun tiba, hari pengumuman. Sehabis sholat subuh, aku bergegas mengeluarkan sepeda ontel bapak, lalu werrr … aku mengayuh sepeda ke arah kota untuk mencari koran pagi.

Tidak seperti sekarang ini, pengumuman penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi dapat diakses secara on-line, 30 tahun silam, pengumumannya dilakukan melalui media surat kabar.

Sudah menjadi fenomena umum pada setiap tahun, subuh-subuh seperti di hari itu remaja seusiaku berhamburan ke arah kota untuk segera mengetahui nasibnya. Siapa tahu bakal ada perubahan nasib. Kuliah di perguruan tinggi negeri top gitu looh … kereeen kaan …?

Aku tidak membawa uang sepeserpun, maklum, bapak-ibuku hanyalah buruh tani di desaku. Pagi sudah semakin tinggi. Dari atas sepeda aku bisa melihat dengan jelas sudah banyak gerombolan anak muda sibuk dengan lembaran-lembaran koran.

Ada yang berjingkrak dan berjoget, tapi banyak pula yang berjalan tertunduk lesu atau menangis berpelukan, atau hanya duduk mengais-ngais aspal jalan seperti tak ada lagi harapan.

Jantungku berdegup keras, napasku tersenggal-senggal. Bukan hanya karena telah menempuh perjalanan bersepeda sejauh sepuluh kilometer, tetapi juga was-was pada perjalan nasibku.

Mungkinkah hari ini akan mengantarkanku pada kemujuran? Kalau aku diterima, ooh ... betapa membahagiakannya. Kalau aku harus bekerja keras di kota besar, ahh ... siapa takut? Aku kan sudah terbiasa dengan kepedihan hidup. ”Ya Allah, berikanlah anugerahMu padaku ...”, aku bergumam memohon pada-Nya penuh harap.

Aku menuju pada suatu kerumunan kecil. Dengan memberanikan diri, aku mencoba mendekati mereka dan semakin mendekat. Akhirnya aku berhasil menyatukan diriku dengan kumpulan itu, dan mulai mencuri-curi mencoba melihat deretan nama-nama di lembaran-lembaran itu.

Di perguruan tinggi tujuan pertamaku, ahh ... sepertinya nomor dan namaku tidak tertera, kuulangi sekali lagi dan sekali lagi, namun tetap juga tak kutemukan. Ya Allah, namaku benar-benar tidak ada. Tapi aku tidak lekas berputus asa, siapa tahu aku diterima di pilihan kedua.

Dengan berdebar kucoba mengalihkan konsentrasiku pada pilihan kedua. Perlahan tetapi pasti, kucoba urutkan nomor test-ku. Mataku terbelalak seolah tak percaya.

”Alhamdulillah, ya Robbi ...”, aku berseru, merinding seluruh tubuhku. Tak terasa aku bersujud mencium tanah basah, mengungkapkan rasa syukurku. ”Ibu ... bapak ..., aku diterima jadi mahasiswa ...”, bisikku lirih. Untuk meyakinkan diri, aku mencoba melihat namaku sekali lagi, ya, ada, Kuslan, dan sekali lagi kueja perlahan Kus-lan. ”Ya, yakin, Kuslan, kamu diterima di Fakultas Hukum ...”. aku berkata mantap pada diriku sendiri. Jantungku seakan melonjak. Aku senang bukan kepalang.

Singkat cerita, perjuanganku menyelesaikan kuliah benar-benar cerita pedih dan berat. Untuk bisa menumpang tidur di suatu kamar kecil yang sangat sederhana, belanja makan sehari-hari, dan membiayai keperluan kuliah, aku harus berusaha mendapatkannya sendiri.

Tak ada bekal uang yang diberikan bapak-ibuku. Beliau berdua hanya berpesan agar aku senantiasa menjaga tekad dan niat perjuanganku dengan segigih-gigihnya. ”Kuslan, pandai-pandailah kamu menjaga diri. Bertemanlah dengan banyak orang. Kalau kamu berusaha, pasti Gusti Allah akan memberimu jalan Tong ...”, begitulah kira-kira nasehat mereka.

Untuk itu, menjadi loper koran dan bekerja serabutan sebisaku demi sedikit uang untuk dapat menopang hidupku dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan adalah hari-hari yang harus kujalani.

Setiap kali musim ujian tiba, aku berusaha ikut kelompok belajar, terus terang, selain ikut menumpang belajar, aku seringkali juga menumpang makan penganan bergizi pada teman-temanku yang lebih beruntung.

Bekerja sambil kuliah sangatlah berat bagiku. Namun semua kerja keras dan tetesan keringat, segala doa dan linangan air mata, serta ndablek dan tebal muka, akhirnya terbayarkan juga. Hari bersejarah dalam hidupku akhirnya bisa kurengkuh juga.

Bapak-ibuku, ketiga adikku, bahkan pak Lurah dan bu Lurah ikut menyaksikan prosesi wisuda sarjanaku di hari Sabtu pagi itu. Fotoku, si Kuslan dengan toga hitam bergaris merah, tanda alumni Fakultas Hukum dengan ijasah di genggaman tangan terpampang di dinding bilik rumahku.

Handai taulan, tetangga, dan teman-teman sepermainanku menyampaikan ucapan selamat dan rasa bangganya padaku. Apalagi Bapak dan ibuku. Rasanya tak ada satu keluargapun di kampungku yang tidak menjadikan Kuslan sebagai contoh tauladan bagi putra-putrinya.

Bayangkan, akulah Kuslan, sarjana pertama di kecamatanku! Luar biasa kaan ...? ”Oh ... Gusti, akhirnya Kau kabulkan cita-citaku menjadi sarjana”, bibirku bergetar mengucapkannya.

Seingatku, kebanggaanku menjadi sarjana mungkin hanya berlangsung sekitar dua mingguan. Aku merasakan semakin kesulitan untuk menjawab berbagai pertanyaan, harapan, dan dugaan orang-orang sekampungku yang menyangka aku segera akan mendapatkan pekerjaan enak, jabatan empuk, dan gaji yang besar.

Tak tahan menghadapinya, aku segera pamitan untuk kembali merantau guna meraih kesuksesan. Kali ini aku berangkat dengan kepala tegak, rasanya kota besar sudah berhasil kutaklukkan, siapa takut?

Dengan optimis, aku memasukkan surat lamaran ke berbagai instansi dan perusahaan. Dalam hitung-hitunganku, alumni perguruan tinggi negeri tentunya mudah mendapatkan posisi. Tapi ternyata perkiraanku keliru.

Sudah tiga bulan, belum ada satu kabar baikpun menghampiriku. Kalaupun aku sempat ikut tes, hanya kegagalan demi kegagalan yang kudapat. Gagal maning, gagal maning. Akupun mulai panik. Bekal tak ada, kerja serabutan seperti dahulu malu pada ijazah.

”Ahhh ... susahnya hidup ini”, batinku mengadu.Daripada menunggu tak menentu, akhirnya kuterima juga tawaran kerja dengan imbalan komisi, maksudnya, kalau aku mendapatkan klien, maka aku baru akan mendapatkan komisi dari pengurusan kasus hukum klien yang kudapatkan tersebut.

Jenis pekerjaan ini sangat menantangku, namun lagi-lagi Dewi Fortuna sepertinya enggan menghampiriku. Segala upaya sudah kulakukan, tetapi akhirnya aku tersudut oleh kebutuhan ekonomi, terutama kebutuhan perut. Untuk mampu bertahan hidup, aku kan harus bisa makan, walaupun sekali saja sehari.

Mungkin pembaca tidak percaya ceritaku ini. Pekerjaan yang akhirnya kudapatkan hanyalah sebagai tukang taman di suatu perkantoran bank swasta terkemuka. Aku, Kuslan, sarjana pertama di kecamatanku, hanya mampu menjadi tukang kebun yang tugasnya memotong rumput dan tanaman perdu. Tapi aku tak boleh putus asa dalam menjalani kehidupan. Life must go on.

Hari ini aku masih menjadi Kuslan yang sama, sarjana yang bekerja sebagai tukang kebun, tinggal dengan anak isteriku di rumah kontrakan yang menempel di tembok pagar suatu gedung tinggi. Bangunan yang pastinya tidak berijin. Untuk menambah penghasilan, aku dan isteriku jual-beli barang rongsokan, peluang mengais rejeki yang masih bisa dilakukan di kota besar seperti Jakarta.

Aku bersyukur karena dikaruniai dua anak yang cerdas. Tapi aku sudah tidak berani lagi memiliki cita-cita seperti dulu lagi. Setiap hari pikiranku dibatasi oleh desakan kebutuhan dasar yang harus bisa kupenuhi untuk bisa menyambung hidup esok hari.

Cita-citaku benar-benar telah dikandaskan oleh realitas sulitnya untuk bisa mencapai hidup layak. Apalagi dengan kondisi perekonomian seperti sekarang ini.

Kalau ditanyakan padaku apakah anak-anakku berani bercita-cita menjadi mahasiswa seperti aku dulu? Entahlah, aku takut untuk mempertanyakannya kepada mereka.

Maybe yes, maybe no. Mungkin malahan lebih banyak maybe no-nya. Bayangkan saja, biaya untuk masuk ke perguruan tinggi sangat tidak terjangkau oleh masyarakat akar-rumput sepertiku ini, belum lagi biaya semesterannya, biaya sarana dan prasarananya, serta biaya hidupnya. Anak-anakku sangat memahami kodisi mereka.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement