Ahad 10 Jan 2016 08:26 WIB

Sabar dan Seuntai Harapan Hidup

Red: M Akbar
Kata sabar sangatlah mudah untuk diucapkan namun tidak mudah untuk dilaksanakan.
Foto: William-wright.com
Kata sabar sangatlah mudah untuk diucapkan namun tidak mudah untuk dilaksanakan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Guntara Nugraha Adiana Poetra, Lc,MA (Dosen Universitas Islam Bandung)

Tiada yang mampu menandingi kebahagiaan para pengabdi. Tengoklah Uwais al Qarni. Ia disanjung Rasul, penuh berkah. Namanya pun harum di langit. Di zamannya, ada juga Sa’id bin Musayyib.

Sa'id seorang ulama besar. Ia banyak meriwayatkan hadist. Selama kurang lebih 40 tahun, ia selalu berjamaah di masjid dan datang sebelum adzan berkumandang. Namun di masanya, ketulusan Uwais justru mengalahkannya dan ulama lain semisal Hasan Al Bashri.

Tiada pula yang mampu menyaingi penderitaan para pelaku pencitraan. Tengok pula Karun. Ia sukses dengan tumpukan materi. Memiliki status sosial terpandang. Pujaan khalayak banyak mengalir. Banyak orang begitu berharap nasibnya dan anak keturunannya seperti Karun. Namun hidup yang penuh kebanggaan itu pada akhirnya telah menenggelamkannya.

Tiada yang mampu menyamai kebahagiaan orang yang pandai bersabar. Ia bukan dengan kata-kata. Bukan pula mengelus dada, kemudian duduk manis sembari menghela nafas. Tengoklah  Uwais yang bersabar dengan penyakit kustanya.

Hidup Uwais sungguh sederhana. Masyarakat pada masa itu terus mengolok-ngolok, meremehkan, sampai menganggapnya gila dengan beragam cemooh. Namun sosok sekelas Umar bin Khatab, seorang calon penghuni surga, justru tak segan dan tak malu untuk meminta doa darinya.

Bahagia memancar justru dari sosok Uwais. Ia bagaikan rembulan yang menerangi gelap malam, lebih terang dari gugusan bintang yang menghiasi indahnya langit dari tujuh lapisan. Bahagia juga menular.

Tengoklah Uwais al Qarni yang begitu bahagia dengan kesehariannya. Hidup dan mati tanpa popularitas. Ia lebih memilih menjadi rakyat jelata. Ia menolak tawaran dari sang khalifah Umar untuk mendapat jaminan.

Wajahnya selalu menghadap ke langit, penuh harap, rindu dan cinta akan sang pencipta dan baginda Nabi Muhammad. Kendati hidup semasa, sayang takdir tak mempertemukannya. Tapi hatinya justru selalu terpaut dengan baginda Rasul.

Bahagia bukanlah persepsi banyak orang, bukan pula dengan banyaknya materi. Perspesi bisa salah. Materi pun bisa habis. Seiring dengan banyaknya kesalahan dan habisnya materi maka bahagia itupun lambat laun akan sirna.

Bahagia adalah suasana hati. Ia akan terus memancar dan menularkan kepada siapa saja yang melihatnya. Orang yang berbahagia, ia akan sangat mudah membahagiakan orang lain.

Tak usah tanya kenapa Anda suka dengan dia? Atau, apa yang membuat Anda tertarik dengannya. Apa kelebihannya? Dia kan begini, begitu dan rasa penasaran lainnya! Ah, beragam pertanyaan itu memang kerap lahir.

Sekali-kali tidak, Anda pastinya tak akan bisa menemukan alasan mengapa orang-orang yang berbahagia itu bisa menularkan kebahagiaanya dengan sangat mudah. Hanya dengan menatap, berteman ataupun sekedar bertegur sapa.

Hal itu adalah anugerah terbesar dari Allah Ta’ala. Ketenangan yang bersemai di dalam dirinya bisa menjadi penawar bagi jiwa-jiwa yang gelisah. Ia juga bisa melapangkan setiap dada yang sempit sekaligus menjadi cahaya bagi kehidupan yang penuh kegelapan.

Bersabarlah sebagai seorang pengabdi. Bersabarlah atas segala ujian yang menimpa tanpa banyak berkeluh kesah. Bersabarlah untuk tidak bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Bersabarlah untuk tetap berada dalam ketaatan.

Dahsyatnya kehidupan di hari pembalasan, cukup menjadi pelajaran bagi kita semua. Tiada ikatan nasab antara kita dan keluarga. Tiada pula saling bertanya, walau sekedar menanyakan kabar.

Semua akan menunggu rapot masing-masing. Matahari kian didekatkan. Panasnya akan membuat manusia banjir keringat. Hingga pada suatu waktu, penduduk yang ada di padang mahsyar merasa jenuh. Mereka bosan dengan ketidaknyamanan dan ketidakpastian.

Berharap cepat diadakan persidangan, untuk diputus apakah ia masuk ke dalam neraka atau menjadi penghuni surga. Pada saat itulah manusia sudah benar-benar tak kuasa melawan kebosanan dan kekawatirannya.

Hanya Nabi Muhammad yang kelak bisa memberi syafaat. Pada akhirnya, sidangpun diputuskan setelah munajat dan sujud penghambaan beliau kepada Rabb semesta alam yang menguasai hari pembalasan. Inilah bentuk syafaat Nabi kita.

Diantara kita, ada yang berjalan melewati sirat laksana purnama secepat kilatan cahaya, pancaran terangnya bintang, menunggangi kuda, berlari hingga ada yang berjalan merangkak, kemudian jatuh ke dalam neraka.

Pada hari itu semua manusia diperlihatkan tentang pedih dan panas membara neraka. Kemudian Allah Ta’ala akan menyelematkan pribadi-pribadi yang bertakwa, bersabar, ikhlas, bersyukur dan tidak sombong atau berbangga diri.

Ketahuilah, kesombongan manusia hanya akan membuatnya terhalang dari mencium aroma wangi surga. Sedikitpun ia takkan merasakan keindahan surga. Yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi (tanpa) mengindahkan kebenaran dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan).

(Dikatakan kepada mereka): "Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong ". (QS. Ghafir: 75-76)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melindungi jalan kita dengan menjadikan pribadi-pribadi yang cepat bertaubat, memberi hidayah serta taufiknya. Ya Robbana

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement