Menjelang datangnya gelar sarjana yang sudah dinanti-nanti, para mahasiswa mulai gundah. "Kemanakah saya setelah lulus kuliah?” Pertanyaan ini seakan topik yang tak pernah habis dalam pembahasan mereka. Mereka saling beradu argumentasi tentang tujuan hidup yang paling benar. Namun dari sekian tujuan yang akan dilakukan, mengapa sedikit sekali mahasiswa yang berniat melanjutkan pendidikan ke S2?
Dosen favorit saya sering berkata, "Hanya dengan 2 buah motor, Anda bisa mendapatkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada membayar seratus juta sekian." Tentu kami sekelas tertawa. Dosen saya sebenarnya menyindir perilaku suap yang sekarang mulai marak dalam penerimaan calon pegawai. Bukan rahasia lagi kalau penerimaan pegawai di Indonesia diwarnai dengan berbagi tindak kecurangan. Tidak kecurangan ini berupa percaloan, joki, dan lain-lain.
Praktik percaloan dalam penerimaan pegawai dapat dilakukan dengan mudah. Dengan berbekal ratusan juta, predikat pegawai sudah jatuh ke tangan pembayarnya. Pembayar tersebut tidak perlu bersusah payah seperti pendaftar yang lainnya. Sangat ironis memang. Namun, praktek percaloan seperti ini sangat sulit untuk dihapus karena banyak pihak yang mengingnkan pekerjaan.
Dibandingkan dengan membuang ratusan juta, ada jalan yang lebih baik untuk ditempuh, yaitu dengan mengikuti Progam S2. Dari segi biaya, program ini memang cukup mahal. Paling tidak, seorang pendaftar harus merogok kocek sebanyak lima puluh jutaan. Selain itu, para pendaftar masih harus mengikuti perkuliahan selama dua tahun yang berarti menunda waktu mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Meskipun ada opsi bekerja sambil kuliah, namun tugas kuliah yang berat cukup membuat mereka mengurungkan niat untuk bekerja. Faktor inilah yang membuat para mahasiswa enggan melanjutkan kuliah.
Sebenarnya, menempuh program magister memiliki lebih banyak nilai positif dibandingkan dengan gelar sarjana. Pertama, keberadaan gelar magister masih belum sebanyak sarjana. Hal ini membuat tingkat persaingan dalam mendapatkan pekerjaan jauh lebih rendah. Selain itu, jabatan yang didapatkan pun jauh lebih baik.
Misalnya, suatu waktu ada pengumuman lowongan pekerjaan bahwa dibutuhkan 2 orang S1 Tata Boga dan 3 S2 Tata Busana. Ternyata, S1 yang mendaftar sebanyak 75 orang, dan S2 hanya 2 orang. Bayangkan, betapa beratnya persaingan antar pendaftar S1. Sedangkan pelamar bergelar magister bisa langsung melenggang mendapatkan pekerjaan tersebut.
Nilai positif yang kedua adalah kemungkinan mendapatkan pekerjaan di tempat yang diinginkan jauh lebih besar. Kemungkinan berpisah ini sangat mungkin dialami oleh calon pegawai bergelar sarjana. Banyaknya pendaftar dan minimnya lowongan pekerjaan, membuat mereka harus setuju saat ada syarat bahwa mereka harus mau ditempatkan di lokasi manapun selama minimal sekian tahun.
Hal ini berbanding terbalik dengan pelamar bergelar magister. Minimnya magister membuat merekalah yang dicari oleh pekerjaan. Oleh karena itu, mereka bisa menentukan lokasi manapun yang mereka inginkan.
Bekerja maupun melanjutkan kuliah adalah sebuah pilihan. Setiap orang berhak mengemukakan alasan atas jalan yang ditempuhnya. Seorang teman saya pernah berkata, "Memilih bekerja setelah lulus kuliah berarti tidak menutup kemungkinan untuk melanjutkan S2 suatu hari nanti. Tetapi melanjutkan kuliah setelah wisuda berarti menunda kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan." Pernyataan ini tidak salah. Tapi perlu diingat, bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula kemungkinan bahwa kita dibutuhkan.
Hilmia Wardani
Jurusan Sastra Indonesia Univesitas Negeri Malang