Wacana tentang pengertian nikah siri, selama ini yang terjadi di Indonesia, banyak menjadikan hukum Agama sebagai perangkat pembenar (justifikasi) terjadinya pernikahan di bawah tangan. Padahal, pengertian nikah siri dilihat dari kacamata sejarah Agama Islam pada masa Rasulullah Saw dan Khulafa’ al-Rasyidin adalah, pernikahan yang dilakukan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali. Artinya, pernikahan disebut "siri" (rahasia) pada zaman Nabi Saw dan Sahabat dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam.
Hal ini jelas berbeda dengan pemahaman nikah siri menurut wacana orang Indonesia, yang mengartikan bahwa nikah siri adalah nikah yang tidak dicatatkan di depan pencatat pernikahan (KUA). Artinya, terminologi tentang pernikahan siri ternyata dinamis, sesuai dengan konteksnya di mana institusi perkawinan itu tumbuh dan berkembang.
Kalau pada zaman Nabi Saw, nikah siri dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan sebuah pernikahan. Sedangkan, menurut orang Indonesia yakni nikah yang tidak diformalkan sesuai dengan hukum positif yang berlaku, baik Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun UU No 1 tahun 1974.
Untuk itu, pemahaman hukum Islam yang berhubungan dengan pernikahan siri, memerlukan review ulang. Sehingga, umat Islam Indonesia yang mayoritas terkena khitob (tuntutan) dari Kompilasi Hukum Islam, mendapatkan pencerahan kembali bahwa nikah siri itu bersifat historisitas. Artinya, hasil dari perjalanan sejarah hidup manusia yang juga memerlukan perbaikan atau pemaknaan ulang.
Bias pemaknaan semacam itu tidak terlepas dari pengetahuan umat Islam Indonesia. Selama ini, umat Islam Indonesia menganggap bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan fiqih yang tertuang dalam kitab-kitab kuning itu berbeda dan diposisikan secara diametral berhadap-hadapan.
Kalau fiqih dalam kitab kuning merupakan hukum Allah SWT yang wajib dipatuhi. Sedangkan, hukum-hukum yang tercantum dalam KHI merupakan hukum manusia semata, yang banyak kekurangan dan tidak wajib diamalkan. Ini jelas pemahaman yang kurang benar.
Secara kronologis, hukum–hukum yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam disusun oleh para fuqaha’ umat Islam Indonesia yang bersumber dari kitab-kitab fiqih juga. Walaupun, referensi/sumber rujukannya berasal dari lintas madhhab fiqih, di samping pertimbangan sosiologis masyarakat Indonesia.
Demikian juga kitab-kitab kuning, merupakan hasil dari kreasi para fuqaha’ dalam menyelesaikan problematika umat Islam di sekitarnya. Ato’ Mudhar dalam bukunya Pendekatan Studi Islam menjelaskan, kitab fiqih (kitab kuning) adalah hasil dari pemikiran para ahli (mujtahid) hukum Islam di samping fatwa ulama, qanun (undang-undang yang berlaku di negara muslim).
Baik KHI maupun kitab kuning, keduanya merupakan hukum Allah yang ditafsirkan oleh para ahli (faqih). Sehingga, sama-sama harus dipatuhi untuk diamalkan oleh umat Islam di manapun dan kapanpun, khususnya orang Indonesia.
Maka dari itu, sosialisasi tentang hukum positif di Indonesia perlu mencari format ulang. Sehingga, pemahaman masyarakat tentang bias pemaknaan terhadap hukum positif dan hukum Islam dapat dihindari. Apalagi, kalau materi hukum formilnya berhubungan erat dengan hukum-hukum Agama (Islam!).
Dari perspektif yuridis formal, nikah siri dilarang oleh Undang-Undang, baik UU No 1 tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Maka, perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi kriteria kedua hukum positif itu, dianggap tidak sah. Atau sama juga dikatakan pernikahan tersebut dianggap tidak ada.
Pelarangan ini, secara filosofis bertujuan untuk memberikan kemaslahatan (kebaikan) kepada kedua belah pihak. Yakni, hak dan kewajiban sebagai suami istri (huquq al-zawjiyah) akan bisa dijamin di hadapan hukum. Baik hak tentang kepengasuhan, pemenuhan hajat-hajat ekonomi (nafaqah), kebutuhan biologis, kebebasan berkreasi, berkarya, atau hak-hak lain pasca ikatan perkawinan terjadi. Dan, seandainya terjadi pelanggaran hak dan kewajiban dari salah satu pihak, dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Itulah potret pernikahan siri yang terjadi di Indonesia, yang mencerminkan keberagamaan umat Islam di Indonesia. Suatu fenomena menarik dari pengamalan ajaran Agama, khususnya hukum Islam.
Hukum Islam hasil dari idealisme para ahlinya, belum bisa dimaknai dan diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan harapan para pengarangnya. Karena, dimensi historisitas manusia kadangkala lebih dominan dibanding dengan tujuan diterapkannya hukum Islam. Ini diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor sosial budaya Indonesia berpotensi terhadap adanya keberagaman (pluralism), faktor sumberdaya manusia yang kurang memahami hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia, atau mungkin faktor politik yang mengitari tumbuh dan berkembangnya hukum Islam.
Kesimpulannya, fenomena nikah siri di Indonesia dapat menemukan jalan keluarnya, dengan memberikan pemahaman yang benar tentang hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia. Ini bisa dilakukan, dengan melakukan pemberdayaan umat Islam di Indonesia, terutama tentang makna hukum positif dan hukum Islam.
Melakukan reformulasi sosialisasi tentang hukum Islam, juga merupakan kepentingan yang tak kalah pentingnya dibanding dengan materi hukum Islam itu sendiri. Di sisi lain, harus dibarengi dengan upaya-upaya dari pemegang otoritas perkawinan, untuk melakukan terobosan dan kebijakan.
Hal-hal tersebut dimaksudkan, agar pengamalan ajaran agama di Indonesia tidak dijadikan obyek kebijakan semata, tetapi juga merupakan tindakan yang bernilai pengabdian untuk umat, bangsa dan negara. Sehingga, pernikahan sebagai institusi perkawinan yang sakral, akan tetap terjaga dan terpelihara oleh umat Islam Indonesia. Dan pada akhirnya, terwujudlah generasi-generasi yang bermartabat sebagai hasil perkawinan yang bermartabat pula. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
Asmawi Mahfudz
Pengajar Hukum Islam di STAIN Tulungagung
Pascasarjana STAIN Tulungagung
Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung
Pengasuh Ponspes al-Kamal Kunir Blitar
PP al-Kamal Kunir, Wonodadi, Blitar