REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Heni Purwono
Di Indonesia, pembelajaran sejarah sering kali dinomorduakan tidak hanya oleh para pemangku kepentingan, namun juga oleh para siswa. Penomorduaan tersebut tentu terkait keberadaan Ujian Nasional (UN) yang meminggirkan Mata Pelajaran yang tidak di UN kan, termasuk sejarah didalamnya.
Lebih jauh lagi, kesan umum menilai bahwa sejarah adalah bagian dari masa lampau, dianggap tidak perlu untuk diingat-ingat. Ditambah kualitas guru sejarah yang kebanyakan verbalistik dalam menyampaikan materi dengan metode yang juga sudah menyejarah, metode ceramah, semakin lengkaplah justifikasi bahwa pembelajaran sejarah layak untuk dinomorduakan.
Salah satu hal terbesar yang menyebabkan sejarah sebagai pelajaran yang dinomorduakan adalah metode pembelajaran sejarah masih jarang diinovasikan dan dikemas secara kreatif oleh guru-gurunya, terutama dalam penggunaan TIK sebagai alat bantu pembelajaran. Padahal ketika daya kratif dan TIK diaplikasikan untuk mendukung pembelajaran sejarah, akan sangat besar pengaruhnya terhadap penerimaan para siswa.
Wayangan sejarah
Saya pernah memiliki pengalaman yang ketika saya menonton film Taare Zameen Par (2007), saya merasa seperti menjadi Aamir Khan, meski tampang saya tentu jauh dari dia. Saat itu saya memiliki murid kelas VII SMP bernama Tony, ia tidaklah menderita disleksia seperti Ishaan Nandkishore Awasthi dalam film Taare Zameen Par. Namun ia memiliki kebiasaan yang (dianggap) aneh oleh kawan-kawan se sekolah, yaitu sangat gemar dengan wayang. Bahkan orang tuanya pun sampai mengkursuskan mendalang bagi Tony. Saya melihat hal tersebut sebagai sebuah tantangan untuk menerapkan pembelajaran berbasis multiple intelegence. Terlebih, Tony sangat dekat dengan saya. Saya kemudian membuat pembelajaran sejarah dengan wayang sebagai media pembelajaran. Wayang-wayang tersebut saya buat dari barang-barang bekas, agar siswa memahami kecintaan akan pelestarian lingkungan. Sebagai kelir (layar), saya menggunakan layar LCD proyektor yang tentu gambarnya dapat diubah-ubah sesuai kekayaan file gambar yang kita miliki di komputer.
Selain mengajarkan, saya juga memberikian tugas kepada para siswa untuk membuat karya serupa, menceritakan kisah kerajaan-kerajaan nusantara dengan cara wayangan. Di saat itulah, tentu Tony yang jago ndalang menjadi bintang. Para siswa pun senang dengan pembelajaran ini, karena tidak membosankan sebagaimana pembelajaran sejarah yang guru-guru merka hanya bercerita saja ketika mereka di SD. Dan Tony pun tentu saja tak lagi dianggap remeh dan aneh oleh kawan-kawannya. Anak-anak yang pendiam pun ketika mendalang “terpaksa” mau bercerita, dan mereka merasa “terlindungi” karena apa yang mereka ucapkan mereka anggap sebagai ucapan si wayang yang mereka lakonkan.
Cara pembelajaran wayang ini saya gunakan dalam dua sketsa. Yang pertama bersketsa seperti kelir LCD proyektor yang telah saya ceritakan tadi, yang kedua seperti sketsa wayang golek sunda. Untuk wayang golek sunda, utamanya saya pilihkan bagi mereka yang memiliki rasa malu atau kurang percaya diri lebih tinggi, karena mereka ketika mementaskan wayang berada dalam posisi tersembunyi dari tontonan para penonton. Untuk yang memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, maka sketsa LCD proyektorlah yang saya gunakan.
Pembelajaran on line untuk dewasa
Untuk siswa yang lebih dewasa seperti kelas VII dan IX, saya biasa mengajak siswa melakukan pembelajaran on line dalam membahas isu-isu, terutama isu kontroversial, yang sedang diajarkan. Pembelajaran on line adalah pembelajaran yang menggunakan internet untuk menyampaikan bahan ajar kepada siswa yang dipisahkan oleh waktu atau jarak, atau keduanya (Dempsey & Eck, 2002). Dengan pembelajaran on line, selain sumber belajar melimpah di internet, juga pembelajaran tidak dibatasi oleh keharusan tatap muka antara guru dan peserta didik. Peserta didik juga dapat dikenalkan dengan sikap kritis terhadap sumber belajar yang melimpah di internet.
Pembelajaran sejarah dengan on line memang cenderung lebih tepat karena sifat kognitifnya yang lebih ditekankan dibandingkan dengan pembelajaran yang verbalistik semata (Clark, Ruth Colvin: 2011). Sedangkan untuk pencapaian perubahan sikap siswa (attitudinal change), disinilah peran guru tidak bisa dihilangkan oleh perangkat teknologi apapun. Artinya pembelajaran on line maupun pendekatan TIK, tak bisa menggantikan begitu saja peranan tatap muka seorang pendidik.
Sangat banyak materi yang dapat disampaikan melalui pembelajaran on line ini. Ratusan bahkan ribuan video dokumenter sejarah tersedia di layanan internet seperti Youtube. Juga aneka dokumen sejarah lain dapat bersama-sama guru dan siswa unduh di internet.
Dengan pembelajaran sejarah kreatif yang berbasis TIK, pembelajaran akan lebih bermakna bagi para siswa. Bandingkan dengan gaya guru-guru sejarah tempo dulu kita yang berceramah menceritakan masa lalu tanpa visualisasi. Logikanya, kita tentu akan lebih puas menonton film Janur Kuning dibanding disuruh mendengarkan ceramah guru tentang Serangan Umum 1 Maret 1949. Dengan pembelajaran sejarah kreatif berbasis TIK, pembelajaran sejarah tak akan lagi dinomorduakan.
Penulis adalah Guru Sejarah SMP IT Permata Hati Banjarnegara dan mantan Guru SMP Nasima Semarang