Oleh Jaladara (Mantan TKI Hong Kong, Alumni Saint Mary’s University)
Sempat timbul sebuah pertanyaan, mengapa batik? Rupa-rupanya ada maksud pemerintah dibalik semua ini. Pemerintah mengharapkan TKI bisa menjadi Duta Budaya (tentunya yang gratis) yang akan mempromosikan batik ke kancah Internasional.
Berbeda dengan Duta Budaya lain yang biasanya mendapat sejumlah alokasi dana dari pemerintah bahkan mendapat uang saku, TKI adalah Duta Budaya yang harus menyetor devisa kepada saku negara. Setidaknya TKI tercatat menyetor devisa hingga Rp 100 Triliun dan terus meningkat setiap tahunnya.
Sebenarnya, tak ada yang salah dengan multiperan yang disandang oleh TKI, baik itu peran utamanya sebagai tulang punggung keluarga maupun peran titipan negara sebagai pahlawan devisa maupun Duta Budaya. Asalkan, pemerintah tidak abai terhadap kewajiban utamanya dalam melindungi TKI dan keluarganya.
Bukan sekedar menitip peran, tapi memberikan hak-hak TKI sebagai warga Negara sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Ada satu komentar menarik dari salah seorang pimpinan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja seperti yang dikutip dari sebuah laman online yang mengatakan, ”TKI adalah “diplomat” di luar negeri, bisa menjadi corong kebanggaan rakyat Indonesia.”
Diplomat dalam tanda petik. Mari kita pikirkan bersama-sama. Apa pembeda antara diplomat dengan “diplomat” yang dalam hal ini ditujukan untuk TKI?
Diplomat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yg berkecimpung dl bidang diplomasi (menteri luar negeri, duta besar, dsb). Sementara “diplomat” yang merujuk pada TKI menurut pandangan saya sangat sederhana sekali. Ia adalah warga Negara yang merupakan representatif negaranya.
Pertanyaannya kemudian, apakah benar Negara kita bangga mengirimkan begitu banyak warga negaranya untuk bekerja menjadi buruh murah dinegara lainnya? Menjadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik dll tanpa payung hukum yang menjamin keselamatan warga negaranya.
Mari kita sama-sama berefleksi, apakah ini cita-cita Negara merdeka? Penulis yakin, pembaca yang budiman bisa membuat sendiri jawabannya.
Dalam sebuah jejaring sosial penulis menulis sebuah pertanyaan yang berbunyi “Menjelang lebaran, Jumhur "membelikan" seragam baru bagi TKI yang akan diberangkatkan yakni baju batik. Apa tanggapanmu?“ Pertanyaan ini sengaja penulis tanyakan untuk mengetahui seperti apa respon teman-teman TKI terhadap seragam barunya.
Seorang teman berinisial RW yang merupakan TKI Hong Kong berkomentar “Batik? Kenapa nggak perlindungan aja yg dberikan?toch dsini jg ngak tiap hari dpake mang kesini mo hajatan.” Senada dengan EN yang mengatakan “aahh jumhur TKI ga butuh baju batik yg dibutuhkan itu baju prlindungan .klo mau nyenengin TKI hpus itu KTKLN dijamin psti brmanfaat.”
Lain halnya dengan komentar teman saya yang notabenenya bukan TKI. Ia mengatakan “kan mau pemilu, mulai start dong "merampok" hati, hehehe... padahal kelirumologi itu tujuannya itu.”
Dari berbagai respon yang diberikan baik oleh TKI sendiri maupun masyarakat luas dijejaring sosial, mungkin memang sudah saatnya TKI yang katanya dilabeli Pahlawan Devisa mendapat seragam Negara. Seperti halnya Pahlawan Negara yang lain, guru misalanya.
Meski profesi guru dianugerahi gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, toh tetap saja jasa mendidiknya mendapatkan “ongkos” yang setimpal dari Negara. Bahkan, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini sebagian besar merupakan bagian dari Pegawai Negeri Sipil yang digadang-gadang ketidakefisienan jumlahnya bisa membuat bangkrut Negara karena setiap tahunnya menyedot ratusanTriliun dana APBN.
Terlepas dari masalah seragam yang menuai berbagai komentar, ada begitu banyak PR penting pemerintah yang harus segera diselesaikan. Salah satunya KTKLN yang menjadi ladang empuk pungutan liar dan tentu yang selalu TKI nanti-nantikan adalah Revisi Undang Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN).
Beleid ini sudah empat tahun dibahas pemerintah dan DPR namun belum juga ada tanda-tanda akan rampung. Sudah saatnya pemerintah menunujukkan keseriusannya dalam melindungi TKI dan keluarganya.
Mengingat sistem yang ada saat ini masih amburadul, dari mulai perekrutan, masa pelatihan, keberangkatan, masa penempatan sampai kepulangan ke tanah air. Diperparah lagi, semua tanggung jawab sebesar itu, pemerintah limpahkan pada swasta yang dalam hal ini PPTKIS.
Carut marut sistem ini berimbas pada bermunculannya berbagai permasalahan hulu sampai hilir. Pengalaman buruk yang penulis alami adalah pemalsuan dokumen oleh calo atau lebih dikenal dengan sebutan sponsor.
Tahun 2005 saat penulis mendaftar menjadi TKI ke Hong Kong, penulis membawa semua dokumen lengkap dan asli. Akan tetapi pada saat mendapatkan dokumen keberangkatan seperti KTP, Pasport ternyata tanggal lahir dan alamat tinggal penulis sudah dimanipulasi.
Lebih parahnya lagi, semua dokumen itu diberikan di bandara pada saat keberangkatan dan sudah ditanda tangani dengan tanda tangan atas nama penulis, padahal penulis tidak pernah melakukan penandatanganan itu. Benar-benar simsalabim!
Manipulasi tidak sampai disitu saja. Penulispun mendapatkan gaji tidak sesuai dengan jumlah yang tertera dalam kontrak kerja atau dikenal dengan sebutan underpay, dibayar dibawah ketentuan yang berlaku. Penulis tidak sendiri, yang mengalami manipulasi dan korban penipuan PPTKIS seperti ini jumlahnya ribuan dan tersebar dibeberapa Negara penempatan.
Oleh sebab itu, masihkah pemerintah menyerahkah nasib para pahlawan devisanya ke tangan PPTKIS yang tidak bertanggung jawab? Mau sampai kapan? Butuh waktu berapa lama lagi pemerintah membuat payung kebijakan perlindungan TKI? pantaskah kelambanan pemerintah ini dibayar dengan regangan nyawa para pahlawan devisanya?
Revisi Undang Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 adalah (salah satu) harapan baru TKI agar mendapatkan hak-haknya lebih optimal. Pemerintah dan DPR seyogyanya lebih bijak dalam melihat TKI.
Saat ini Pemerintah baik pusat maupun daerah serta DPR masih melihat penempatan TKI sebagai alternatif pekerjaan sementara, karena negara belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan. Sedangkan, pemerintah malah menarget pengiriman TKI secara besar-besaran dan digenjot jumlahnya pada setiap tahunnya.
Semoga pemerintah segera sadar bahwa TKI bukan komoditi ekspor yang pengirimannya hanya dilihat dari sisi ekonomis. Sudah saatnya pemerintah berfikir bagaimana supaya bisa membuka lapangan pekerjaan seluas-seluasnya, memeratakan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan dan layanan publik sebaik-baiknya agar negeri ini benar-benar merdeka.
Agar tak ada lagi TKI yang berangkat ke luar negeri sebagai buruh murah sektor informal, dan penulis berharap tak ada lagi TKI yang pulang dalam peti jenazah.
TKI adalah warga Negara yang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan terbaik dan penghidupan yang layak. Semoga kedepan tak ada lagi force migration ke luar negeri sebagai akibat ketidakmampuan pemerintah melaksanakan amanah pembangunan para pendahulunya.
Mari, pada Ramadhan ini sama-sama melakukan pembenahan agar pada saat Hari Raya nanti, tidak hanya mendapatkan baju ataupun seragam baru, akan tetapi mendapatkan jiwa baru yang lebih bersih untuk membangun negeri, memperbaiki nasib TKI.()