Jumat 01 Nov 2013 13:14 WIB

Mencegah Disadap Asing

Penyadapan (ilustrasi)
Penyadapan (ilustrasi)

Oleh Fahmi Alfansi P Pane

REPUBLIKA.CO.ID, Memo National Security Agency (NSA) yang memperoleh data kontak pribadi para pemimpin politik dan militer dunia, termasuk saluran komunikasi langsung, faks, telepon rumah, dan selulernya.

Aktivitas ini mengindikasikan badan intelijen sinyal AS itu telah menyadap dan menggali informasi dari mereka, termasuk 35 pemimpin dunia.

Terhadap memo bertanggal 27 Oktober 2006 yang diungkap Edward Snowden kepada The Guardian (24 Oktober 2013), pemimpin (kepala negara/pemerintahan) Jerman, Prancis, Brasil, Meksiko, Uni Eropa, dan lain-lain bereaksi keras dan berencana mendesak PBB untuk menerbitkan resolusi antipenyadapan. 

Informasi penyadapan pemimpin politik dan militer dunia ini perlu disikapi lebih serius oleh para pemimpin Indonesia. Para petinggi tersebut perlu menciptakan sistem keamanan informasi negara yang lebih baik, termasuk pencegahan penyadapan pemimpin Indonesia.

Upaya menyelidiki informasi Snowden, apalagi mengeceknya kepada otoritas AS, agaknya tidak akan berhasil. 

Sistem informasi intelijen AS lebih canggih dari negara manapun. Terlebih, AS tidak pernah membantah informasi Snowden, termasuk proyek Prism dan Boundless Informant. Begitu pula, Inggris tidak membantah proyek Tempora untuk memantau web dan data telepon dunia (Guardian, 11 dan 21 Juni 2013).  

Keamanan informasi para pemimpin Indonesia terlihat rentan. Pada 1999, muncul pembocoran percakapan Presiden Habibie dengan jaksa agung Andi Ghalib. Pada Juli 2013, muncul kabar penyadapan pemimpin dunia, termasuk Indonesia, dalam KTT G-20 di London pada 2009.

Kerentanan semakin bertambah karena banyak kegiatan pemerintah yang sensitif, seperti pendataan penduduk (termasuk pemilih potensial), topografi, survei geologi, dan potensi sumber daya alam strategis, dilakukan bersama pihak ketiga yang merupakan perusahaan asing atau berafiliasi dengannya.

Sebagian pejabat juga tidak sensitif terhadap keamanan informasi, seperti penggunaan e-mail publik, dan ponsel pintar, termasuk perangkat lunak Blackberry, untuk keperluan dinas.

Pekerjaan seperti ini bukan sebatas urusan kepresidenan, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, dan intelijen, tetapi juga urusan fiskal, moneter, energi, sumber daya mineral, kesehatan, pangan, dan sebagainya. 

Upaya pengamanan informasi dan penguatan intelijen negara sudah dilakukan. Namun, terdapat kesenjangan antara norma dan kondisi aktual yang membuat kebijakan perlindungan informasi strategis negara menjadi sia-sia.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Pasal 17, diuraikan jenis informasi yang dikecualikan untuk diakses publik. Misalnya, Pasal 17 huruf d mengecualikan informasi kekayaan alam Indonesia. 

Bahkan, UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 25 mengategorikan informasi kekayaan alam sebagai rahasia intelijen.

Namun, data pertambangan minyak, gas, emas, perak, nikel, dan lain-lain justru dikuasai oleh kontraktor kerja sama/karya yang mayoritas di antaranya merupakan perusahaan asing. Mereka pun lebih serius menjaga informasi kekayaan alam Indonesia dan aset itu sendiri dengan menempatkan para jenderal asing sebagai direksi/komisaris perusahaan.

Begitu pula, dalam penjelasan Pasal 17 huruf c tentang pengecualian informasi spesifikasi teknis sistem persenjataan. Faktanya, dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013 disebutkan bahwa pengadaan alat utama sistem senjata TNI dan Polri dari dalam negeri masing-masing baru 13,7 persen dan 12,5 persen. 

Karena mayoritas senjata dibeli dari pemerintah dan perusahaan asing, aturan tersebut tidak berpengaruh signifikan. Tanda tanya akan lebih besar bila sistem persandian dan antipenyadapan sistem komunikasi strategis pemerintah juga bergantung pada impor.

Untuk mengefektifkan pengamanan informasi strategis dan operasi kontraintelijen, pemerintah perlu melihat adanya kelemahan UU Intelijen Negara.

Dalam undang-undang tersebut, hubungan dengan intelijen asing lebih dilihat sebagai kerja sama (Pasal 30), padahal Five Eyes (AS, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru) tetap menyasar negara lain, termasuk sekutu militernya sendiri di NATO. 

Bahkan, pada memo Proyek Tempora juga disebutkan NSA dan perusahaan penyedia jasa internet AS membeli properti di Malaysia dan India sehingga GCHQ (badan intelijen sinyal Inggris) diminta melakukan hal serupa. Dasar hukum, strategi operasional, dan dukungan anggaran untuk operasi kontraintelijen asing, termasuk dalam bidang ekonomi, energi, dan nirmiliter lainnya, perlu diperkuat.

Kita juga harus punya sistem dan perangkat intelijen/persandian mandiri, termasuk untuk ponsel dan intranet dinas. Untuk itu, industri pertahanan dan strategis lain harus dikembangkan. Semua industri yang dirintis Presiden Soeharto dan Menristek BJ Habibie perlu direvitalisasi, bahkan diperbanyak seiring dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan negara. 

Tetapi, bahan baku dan energinya harus diamankan. Karena itu, pemerintah harus konsisten dengan amanat hilirisasi tambang mineral dan batu bara. Komoditas primer tambang migas juga tidak diekspor untuk keamanan energi industri strategis. Namun, pusat gravitasinya adalah para pemimpin yang kuat, efektif, adil, dan hanya takut kepada Allah.

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement