Selasa 22 Apr 2014 21:06 WIB

Wisata Syariah dan Industri Halal

Hery Sucipto
Foto: Istimewa
Hery Sucipto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Hery Sucipto (Presiden Direktur Wisata Syariah Consulting)

Meski baru sekitar dua tahun digulirkan dan digarap pemerintah, perkembangan Wisata Syariah di Indonesia menunjukkan harapan yang cerah. Hal itu setidaknya terlihat dari semakin meningkatnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap wisata syariah dan komponen di dalamnya.

Sebagaimana digariskan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI), terdapat empat komponen utama dalam wisata syariah, yakni kuliner, kosmetik-spa, perhotelan, dan busana muslim, yang kesemuanya telah bersertifikasi halal dari MUI. Di luar ada, masih ada komponen pendukung, yakni jasa keuangan syariah dan biro perjalanan (travel).

Indonesia diakui banyak pihak memiliki potensi yang sangat besar di bidang wisata syariah dan industri halal. Dengan populasi muslim terbesar di dunia, yakni sekitar 200 juta jiwa, produk halal diyakini semakin laku dan diminati masyarakat. Tingkat konsumsi masyarakat, khususnya dalam sektor kebutuhan pokok, terus meningkat.

Momentum Bagus

Dari riset kecil-kecilan yang dilakukan WiSa Consulting menyebutkan, masyarakat yang bepergian ke pusat perbelanjaan seperti mall dan sebagainya, semakin meminati restoran dengan produk makanan halal alias sudah bersertifikasi halal.

Mereka beralasan, selain terjamin kesehatannya, makanan halal (kuliner) juga berkualitas baik. Hal ini cukup beralasan jika mengingat sebuah produk halal bukan sekadar dilihat dari aspek materialnya saja, namun juga proses produksinya hingga menjadi makanan siap saji.

Proses menjadi penting karena dalam industri halal, meski sumber bahan bakunya itu halal, daging misalnya yang hewannya disembelih dengan persyaratan yang memenuhi syariat islam, namun ketika proses pengolahan menjadi sebuah produk siap jadi atau siap beku (kemasan) bercampur atau diberi zat-zat yang dikategori tidak halal, maka makanan daging itu menjadi tidak halal. Di sinilah pentingnya pengawasan berbagai pihak, terutama dari LPPOM-MUI selaku pemberi sertifikat halal.

Lepas dari itu, kesadaran untuk menggunakan atau mengkonsumsi produk halal ini harus ditangkap sebagai peluang baik. Momentum bagus ini setidaknya harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas sebuah produk serta menginspirasi perusahaan-perusahaan lain agar dapat mensertifikasikan produknya sebagai produk yang halal.

Dalam catatan saya, tidak ada kerugian sama sekali sebuah perusahaan mengurus sertifikasi halal bagi produknya. Bahkan, dengan mengantongi sertifikasi halal, perusahaan tersebut bukan saja memetik keuntungan duniawi berupa omset yang meningkat, tapi juga berkontribusi bagi peningkatan kesehatan masyarakat melalui makanan yang baik dan halal.

Saya contohkan, perusahaan Wardah Cosmetic telah menikmati betapa berkah sertifikasi halal meningkatkan penjualan dan pertumbuhan yang sangat signifikan. Menurut pendiri sekaligus pemilik Wardah, Nurhayati, sejak tujuh tahun lalu perusahaan yang dipimpinnya itu telah menjadi penguasa pangsa pasar kosmetik Indonesia.

Wardah, kata dia, mengalami tingkat pertumbuhan yang menakjubkan, yakni mencapai 75% per-tahun, sementara tingkat pertumbuhan  rata-rata perusahaan setiap tahun menurut riset AC Nielsen paling tinggi adalah 15%. Wardah yang kini mempekerjakan sekitar 4.000 orang, dan memiliki 25 ribu outlet di seluruh Indonesia, memiliki omset Rp 100 miliar/bulan, dengan lebih 200 item macam produk.

Di bidang perhotelah syariah, Sofyan Hotels Grup yang kini juga menjalankan bisnis managemen perhotelan syariah, merasakan asas manfaat sertifikasi halal tersebut. Menurut Vice Chairman Sofyan Hotels and Managemen, Hadisusanto, tingkat okupasi hotel berprinsip syariah cukup tinggi.

Ia mencontohkan, hotel Sofyan Betawi, Cikini, tingkat okupasinya mencapai 85%. Ini angka yang cukup tinggi di hari-hari biasa. Jika ada momen bagus, seperti libur panjang, liburan sekolah, dan lainnya, tingkat okupasinya bisa lebih tinggi lagi.

Industri halal di masa depan diyakini akan terus meningkat dan menarik para investor. Apalagi secara global, industri halal atau wisata syariah secara keseluruhan sangat prospektif. Seperti diketahui, wisata syariah mempunyai potensi ekonomi yang cukup besar dalam perekonomian global.

Hal ini terlihat dari laporan Global Islamic Economy, yang menyebut¬kan ada enam sektor yang akan tumbuh pesat, yakni industri makanan, jasa keuangan, fashion, travel, media/recreation, pharmaceuticals, dan kosmetik, yang menyumbangkan lebih dari USD 3 triliun pada tahun 2012.

Indonesia diakui masih sangat tertinggal. Pemerintah dinilai sangat lamban, terutama dalam menyiapkan infrastruktur dan regulasi. Meski dikawal langsung oleh Wakil Menteri Parekraf, Sapta Nirwandar, namun tingkat sinergitas dan keseriusan antar lembaga dalam menggarap potensi wisata syariah yang demikian besar, masih sangat rendah.

Sejauh ini, masalah produk halal seakan hanya menjadi perhatian LPPOM MUI. Padahal produk sehat dan halal adalah hak yang setiap orang yang menjadi tanggungjawab pemerintah. Dapat dipahami jika promosi dan pengembangan potensi wisata syariah dan industri halal di Indonesia tidak seperti yang diharapkan, bahkan sangat timpang jika dilihat dari komposisi penduduk yang mayoritas Muslim tersebut. Ini harus menjadi catatan kita semua, terutama segenap stakeholder di bidang wisata syariah dan kalangan industri halal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement