Trend meningkatnya jumlah penghuni Lapas/Rutan sudah dimulai sejak era tahun 90-an, seiring berkembangnya peredaran narkoba di Indonesia. Hingga kini, hampir seperempat abad lamanya persoalan over crowded di lapas dan rutan masih menjadi persoalan panjang bagi Kementerian hukum dan HAM (Kemenkumham) khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).
Berbagai cara untuk penanggulangan masih terus diupayakan. Nyatanya masih saja ada di beberapa lapas/rutan warga binaan yang tidur berjubel, seperti belum ada sentuhan penyelesaian.
Meski secara umum kita telah tahu tentang kondisi ini, Infokom Ditjen PAS tergelitik untuk mengungkap bagaimanakah gambaran over crowded di lapas dan rutan sesungguhnya. Dengan memanfaatkan data di Sistem Data based Pemasyarakatan (SDP), kami mencoba memotret fakta yang ada. Berikut penelusuran kami pada aplikasi SDP tertanggal 17 Juli 2014.
Crowded dimana-mana
Beruntung sekali kami memiliki SDP yang mengintegrasikan data dari lapas dan rutan seluruh Indonesia. Melalui aplikasi smsgateway, saat ini, siapapun, di manapun secara terbuka bisa mengakses melalui www.smslap.ditjenpas.go.id dapat mengetahui jumlah penghuni lapas dan rutan seluruh Indonesia.
Dengan SDP ini, kita juga dapat memantau peningkatan jumlah penghuni yang sangat signifikan. Per 31 Desember 2011 terdata 136.145 penghuni, setahun kemudian 31 Desember 2012 bertambah menjadi 150.592. Akhir 2013 sudah berjumlah 160.061. Dan per tanggal 17 Juli sudah berjumlah 167.163 penghuni. Terjadi peningkatan isi lapas/rutan yang luar biasa. Dalam kurun waktu 2,5 tahun, isi lapas/rutan bertambah lebih dari 31 ribu orang.
Sementara kapasitas yang tersedia di 463 Lapas/Rutan se Indonesia hanya mampu menampung 109.231. Artinya saat ini 167.163 orang harus berdesakan di ruang hunian yang kapasitasnya 109.231. Atau dengan kata lain over crowded sebesar 153%.
Hal inipun diamini Direktur Informasi dan Komunikasi Ditjen Pemasyarakatan, Ajub Suratman bahwa angka 153% tampaknya kecil, namun jika kita tinjau data SDP pada laman 'Status Harian' maka akan terlihat sebaran isi penghuni. Dari 33 wilayah hanya 8 yang tidak mengalami over crowded yaitu DI Yogyakarta, 2 Propinsi di Maluku dan kedua propinsi di Papua serta 3 propinsi di Sulawesi, di Sulawesi Barat, Selatan dan Tenggara. 25 wilayah lainnya rata-rata over 160.
Dari ketetangan Ajub, wilayah DKI Jakarta bukan tempat yang paling crowded. Ada 16.284 penghuni yang tinggal di 7 lapas/rutan dengan kapasitas 5.891. Over kapasitasnya sebesar 276%. Ternyata DKI hanya menduduki peringkat ke dua dalam hal over crowded. Justru di wilayah yang tak pernah terduga seperti Kalimantan Selatan, mencapai 324%. Ada 12 Lapas/rutan di sana. Kapasitasnya 2.025 harus ditempati 6.558 penghuni.
Dan apabila kita lihat lebih rinci di laman www.smslap.ditjenpas.go.id, tersajikan data penghuni lapas/rutan di DKI Jakarta belum seberapa padatnya dibanding lapas/rutan di wilayah lain. Kita lihat Lapas Salemba, lapas yang paling padat di DKI, kapasitas 572 harus diisi 2.033 penghuni, over crowded 355% ternyata masil kalah padat dengan Lapas Bengkalis, Propinsi Riau. Lapas berkapasitas 174 diisi oleh 971 penghuni. Over 558%.
Pun siapa nyana, lapas/rutan yang jauh dari ibu kota jauh lebih padat di banding Lapas di Ibu Kota. Tengok saja Cabang Rutan Biureun, Aceh. Cabang Rutan yang letaknya 225km dari kota Banda Aceh ini mengalami over crowded 434%, kapasitas huniannya 65 orang, diisi dengan 282 penghuni. Begitu pula Lapas Banjarmasin, kapasitas 366 saat ini harus menampung 2.443 orang (over kapasitas 667%).
Yang paling parah di Cabang Rutan Bagan Siapi-api, Riau. Rekor rutan paling crowded di Indonesia ada di rutan ini. Daya tampung rutan ini hanya 98 orang, terpaksa harus dijejali penghuni 697 orang, angka crowdednya mencapai 711%.
Besar biaya keluar, sedikit yang terlayani
Upaya penanggulangan over kapasitas dengan penambahan daya tampung terus dilakukan. Irwan Rahmat Gumilar, Kasubag Penyusunan Rencana dan Anggaran, Ditjen PAS telah menyatakan bahwa sejak tahun 2010 pemerintah telah mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk pembangunan lapas dan rutan.
Demikian juga Program Aksi Perbaikan Lapas (Prisson Reform) yang dengan serius dikawal langsung oleh Wakil Presiden Boediono. Program yang tercetus setelah kejadian 'Tanjung Gusta' merekomendasikan upaya penanggulangan over kapasitas lapas dan rutan dengan menambah kapasitas hunian.
Begitu seriusnya pemerintah memperbaiki kondisi lapas/rutan, sehingga Prisson Reform ini mendapat suntikan anggaran sebesar satu triliun rupiah. Sebagian dari dana itu dipergunakan untuk membangun lapas/rutan. Dari dana itu, sejak 2010 Kemenkumham telah membangun 31 UPT baru dan 66 pembangunan lanjutan.
Namun, sedemikian besar biaya yang digulirkan belum mampu menambah lingkup hunian secara signifikan. Jumlah anggaran yang turun untuk membangun ruang hunian belum sebanding dengan banyaknya penghuni yang terus bertambah. Dari total anggaran yang dikucurkan selama 4 tahun yang mencapai angka Rp 1,5 triliun hanya mampu menambah kapasitas hunian sebanyak 8.157.
Jangan heran mengapa bisa terjadi seperti itu. Untuk membangun lapas dan rutan tidak sekedar mendirikan blok hunian tetapi juga harus disertai dengan sarana pendukung lainnya. Contohnya saja mengapa di tahun 2012, anggaran Rp. 98,54 miliar hanya menambah 790 hunian. Tahun 2012, alokasi pembangunannya sebagian besar bukan untuk blok hunian, tapi untuk tembok keliling, sarana lingkungan, dapur, kantor dll.
Lonjakan penghuni, anggaran tinggi
Fakta yang tak bisa dipungkiri, laju peningkatan penghuni yang masuk tidak berbanding dengan penghuni yang bebas. Dalam kurun waktu dua setengah tahun (31 Desember 2011 s/d 17 Juli 2014) penambahan jumlah tahanan dan narapidana mencapai angka 31.018 orang. Yang tersisa dari selisih angka yang masuk dengan yang keluar inilah yang saat ini memenuhi isi lapas/rutan. Selisih Angka ini menjadi “lonjakan penghuni” di dalam lapas/rutan.
Dan lonjakan penghuni ini sangat dipengaruhi dengan besarnya vonis yang dijatuhkan hakim kepada terpidana. Data SDP menyebutkan periode dua tahun terakhir kecenderungan hakim menjatuhkan pidana diatas 2 tahun, menunjukan angka yang cukup tinggi.
Setiap tahun setidaknya ada sekitar 25 ribu terpidana baru dengan vonis diatas 2 tahun. Dan mereka akan menunggu selama bertahun-tahun di dalam lapas, menunggu saatnya dibebaskan.
Jangka waktu yang lama di dalam lapas bukan saja berimplikasi pada semakin sesaknya ruang gerak narapidana hidup di dalam lapas. Namun, berdampak juga terhadap anggaran yang akan dikeluarkan negara untuk mencukupi kebutuhan dasar penghuni lapas/rutan, mulai dari perawatan makan hingga pelayanan kesehatan.
Idealnya, standar indeks kebutuhan perawatan dan pelayanan kesehatan seorang penghuni lapas/rutan membutuhkan Rp. 58.863,-/hari. Jadi, jika seorang terpidana dihukum selama 3 tahun, maka setidaknya pemerintah harus menyediakan anggaran sebesar Rp 64.5 juta/orang. Bisa kita bayangkan alangkah besarnya beban yang akan ditanggung negara untuk merawat penghuni lapas/rutan yang jumlahnya lebih dari 165 ribuan dan harus menghuni selama lebih dari 2 tahun.
Akan tetapi dalam catatan di Subbag Penyusunan Rencana dan Anggaran, tahun 2014 pemerintah hanya sanggup menyediakan anggaran Rp. 29.189,-/hari/penghuni. Masih di bawah 50% dari indeks ideal.
Akibatnya tidak semua pelayanan terhadap penghuni dapat terpenuhi dengan baik. Contohnya saja untuk biaya makan, budget yang tersedia untuk makan penghuni hanya berkisar diangka Rp. 7.500,-/orang/hari. Jauh dibawah standar biaya hidup masyarakat umumnya. Pun masih jauh dibawah nilai yang pemerintah kucurkan bagi tahanan di instansi tetangga. Seorang yang mendekam di Rutan Kepolisian, Kejaksaan ataupun KPK, bisa makan dengan anggaran 40 ribu/harinya.
Itu baru bicara soal pelayanan makan, padahal mengurus penghuni penjara tidak sekedar diberi makan dan selesai. Mengacu pada Standart Minimum Rules for Prissoners adalah kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak-hak dasar penghuni penjara dari mulai makanan, pakaian, kesehatan, identitas yang tercatat, bahkan akses untuk mendapatkan informasi pun di atur di dalamnya.
Bukankah seharusnya pemerintah tetap bertanggung jawab atas konsekuensi memenjarakan warganya yang melanggar hukum. Karena saat negara menjatuhkan pidana tidak serta merta mengabaikan hak-hak dasarnya.