Senin 06 Jul 2015 05:34 WIB

Mengkritisi (Lagi) Islam Nusantara (1)

Red: M Akbar
Peta Kesultanan Islam nusantara.
Foto: Wordpress.com
Peta Kesultanan Islam nusantara.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faisal Ismail (Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

John L Esposito, profesor dari Georgetown University, Amerika Serikat, pernah menulis buku berjudul Islam: The Straight Path. Jika diterjemahkan, buku ini berjudul Islam: Jalan Lurus (bahasa Indonesia) atau Islam: Shiratal Mustaqim (bahasa Arab).

Di Indonesia pernah diintroduksi Islam Rahmatan lil Alamin (Islam Rahmat bagi Seluruh Alam). Menurut saya, predikat ”the straight path ” dan ”rahmatan lil alamin” yang diberikan kepada Islam sepenuhnya dapat diterima, dapat dipahami, dan tidak problematik.

Hakikat ”jalan lurus” dan ”rahmat bagi seluruh alam” sesungguhnya esensi yang sangat fundamental dalam ajaran Islam. Islam memang memiliki visi-misi menunjukkan jalan lurus (shiratal mustaqim ). Selain itu Islam juga mempunyai visi-misi sebagai rahmat bagi alam semesta. Visi-misi inilah yang dibawa dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW yang diutus Tuhan menyiarkan agama Islam.

Lalu, bagaimana dengan konsep Islam Nusantara? Ini problematik dan perlu diberi catatan kritis. Untuk mendiskusikan poin ini, pendapat Abul Ala Al-Maududi perlu dikutip. Dalam bukunya, Toward Understanding Islam (1966), Al-Maududi mengatakan bahwa Islam tidak dapat dinisbatkan kepada pribadi atau kelompok manusia mana pun karena Islam bukan milik pribadi, rakyat, atau negeri mana pun.

Islam bukan produk akal pikiran seseorang, bukan pula terbatas pada masyarakat tertentu, dan tidak diperuntukkan untuk negeri tertentu. Islam adalah agama universal yang melintasi dan melampaui batas-batas etnisitas, lokalitas, dan nasionalitas.

Misi Islam adalah untuk menciptakan dan memelihara kualitas dan sikap keislaman dalam diri manusia. Karena itu, salah besar kalau Islam disebut Muhammadanisme (paham, pikiran, atau ciptaan Nabi Muhammad SAW). Kesalahan ini terjadi pada HAR Gibb (tokoh orientalis Barat) yang menulis buku tentang Islam dan diberi judul Muhammadanisme.

Juga salah besar jika Islam disebut dan diidentikkan dengan Arabisme atau Islam (Tanah) Arab atau varian turunan lainnya. Sebutan atau nama Muhammadanisme, Arabisme, Islam Arab, Islam Timur Tengah (dan label atau predikat turunannya) tidak pernah dikenal dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam.

Nama Islam adalah nama satu-satunya yang resmi dan baku seperti termaktub dalam Alquran dan diajarkan oleh Nabi Muhammad sendiri. Selain merujuk pendapat Al-Maududi, saya akan mengacu pada pendapat Prof Koentjaraningrat.

Dalam bukunya, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1974), Koentjaraningrat mengatakan: ''Religi dan agama sulit juga untuk [disesuaikan] dengan sengaja menurut sifat-sifat khas Indonesia. Agama adalah Titah Tuhan; maka sebaiknya janganlah kita berusaha untuk mengembangkan suatu agama Islam khas ala Indonesia...''

Saya sangat setuju dengan pendapat Prof Koentjaraningrat. Menurut saya, terminologi Islam Indonesia atau Islam Nusantara masih problematik. Jika ada Islam Nusantara, logikanya ada pula Islam Jawa Tengah, Islam Jawa Timur, Islam Sunda, Islam Minangkabau, Islam Kalimantan, Islam Sumatera, Islam keraton, Islam nonkeraton, Islam Bali, Islam Yogya, dan sebagainya.

Ada pula Islam Amerika Serikat, Islam Eropa, Islam China, Islam Rusia, dan seterusnya. Terlalu banyak varian dan jenis agama Islam, padahal sumbernya hanya Alquran dan Sunah Nabi. Berpegang pada pendirian Maududi dan Koentjaraningrat, saya berpendapat bahwa penamaan Islam Nusantara dengan segala muatan, varian, dan turunannya tidak tepat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement