Rabu 05 Aug 2015 00:01 WIB

Ahlul Halli Wal Aqdi dan Benih Konflik di Tubuh NU

Red: M Akbar
Logo Muktamar NU ke-33
Foto: NU
Logo Muktamar NU ke-33

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy

Pemerhati NU dan Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Muktamar NU telah dibuka oleh Presiden Joko Widodo, 1 Agustus 2015. Ada beberapa agenda muktamar yang dibahas. Di antaranya Program Satu Abad NU, perubahan Anggaran Rumah Tangga (ART), sampai pemilihan Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah. Dua agenda terakhir ternyata yang sungguh menarik. Perhatian muktamirin seperti deras mengalir.

Dalam materi muktamar terkait perubahan ART, ada tawaran perubahan fundamental terkait pemilihan Rais Aam. Di mana Rais Aam yang sejak Muktamar Yogyakarta 1989 sampai Muktamar Makassar 2010 dipilih secara langsung akan dipilih melalui mekanisme Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA). Sementara untuk pemilihan Ketua Tanfidziyah praktis tak ada perubahan, yaitu dipilih secara langsung oleh muktamirin, setelah mendapat persetujuan dari Rais Aam terpilih.

NU dan AHWA

AHWA sesungguhnya merupakan salah satu model pemilihan khalifah masa Khulafaul Rasyiddin. Model ini pernah diterapkan pada pemilihan Abu Bakar dan Utsman bin Affan. Abu Bakar dipilih melalui AHWA oleh perwakilan umat yang saat itu berkumpul di Balai Pertemuan (Tsaqifah) Bani Saidah. Namun ada juga yang menyebut dengan istilah ‘bay’ah terbatas’. Naiknya Utsman bin Affan sebagai khalifah murni dilakukan dengan AHWA.

Saat sakit Umar bin Khattab semakin parah akibat ditikam Abu Lu’luah, sebagai antisipasi vakumnya kekuasaan, Umar membentuk AHWA. Di dalamnya beranggotakan enam sahabat: Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubeir Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah (mempunyai hak bicara dan hak suara), ditambah Abdullah bin Umar (hanya mempunyai hak bicara). Sidang AHWA ini berhasil memilih Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar.

Praktek AHWA ini sebenarnya juga pernah diterapkan di dalam NU. Saat itu, menjelang Muktamar Situbondo, dalam tubuh NU diselimuti konflik. Tarik-ulur itu muncul sebagai imbas dari perseteruan kubu Cipete (KH. Idham Cholid) dan Kubu Situbondo (KH. As’ad Syamsul Arifin). Munculnya dua kubu berawal dari konflik di PPP menjelang Pemilu 1982 terkait kebijakan Ketua Umum PPP HJ. Naro dalam penentuan nomor urut kursi DPR RI yang banyak merugikan kiai sepuh.

Konflik ini ternyata terus merembet ke dalam NU. Kubu politisi yang diuntungkan oleh kebijakan Naro, kemudian mendukung kebijakan Naro. Sementara kiai sepuh yang banyak dirugikan, tentu saja menentang kebijakan Naro. Perseteruan ini kian runyam setelah Kiai Idham menyatakan mundur sebagai Ketua Tanfidziyah. Keputusan itu dilakukan atas “desakan” kiai-kiai sepuh yang dipimpin Kiai As’ad. Tapi secara mengejutkan, beliau mencabut pernyataan pengunduran dirinya hanya berselang kurang lebih seminggu setelah pengunduran dirinya.

Walau kubu-kubu dalam tubuh NU dianggap selesai namun faktanya masih tetap saja terjadi. Masalah ini dikhawatirkan bakal muncul dalam Muktamar Sitobondo. Untuk menghindari hal ini, Muktamar Situbondo memakai mekanisme yang berbeda dari muktamar-muktamar sebelumnya, yaitu AHWA. Mekanisme ini dianggap tepat untuk meredam benih-benih perseteruan yang masih terjadi.

Dan benar, kubu-kubuan ternyata muncul kembali. Terutama ketika sidang untuk memilih siapa yang bakal dan pantas menjadi ketua dan anggota AHWA. Pada sidang ini, peserta terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama yang menghendaki Kiai As’ad sebagai ketua. Kubu lainnya, menghendaki Kiai Idham sebagai ketua AHWA. Namun perpecahan bisa dihindari setelah Kiai Idham meminta supaya peserta memilih Kiai As’ad sebagai ketua AHWA. Dengan pengunduran diri ini, Kiai As’ad pun ditunjuk sebagai ketua AHWA.

Kiai As’ad kemudian menunjuk enam kiai sebagai AHWA. Mereka adalah KH. Ali Maksum (Yogyakarta), KH. Masykur (Jakarta), KH. Syamsuri Baidlawi (Jombang), KH. Achmad (Sumatera Utara), KH. Romli Ahmad (Kalimantan Timur), dan KH. Rofi’i Mahfudz (Sulawesi Selatan). Tim AHWA ini berhasil memilih KH. Ahmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid sebagai Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah. Muktamar NU pun berlangsung mulus. Mekanisme AHWA terbukti berhasil menyelamatkan NU dari konflik berkepanjangan.

Saatnya Kembali ke AHWA

Ketika Muktamar Yogyakarta 1989, NU memutuskan mengubah mekanisme pemilihan dari AHWA menjadi one man one vote. Konteks saat itu bisa dipahami. Apalagi Gus Dur adalah Ketua Tanfidziyah yang dikenal sebagai pegiat demokrasi. Tentunya ia berusaha mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Tapi ternyata dengan dalih demokrasi justru telah membawa mafsadat bagi NU.

Pertama, menurunkan wibawa kiai. Kiai (ulama) itu pewaris para nabi. Pantang berebut jabatan (Rais Aam). Namun dengan one man one vote jutru berhasil “memaksa” para kiai untuk terlibat “perebutan” jabatan. Kedua, money politics menjadi sulit dihindari. Siapapun pun yang menghadiri Muktamar Makassar 2010, tentu merasakan betul aroma money politics. Muktamar NU nyaris bak muktamar atau kongres partai.

Ketiga, rawan intervensi. Tentu publik masih ingat pelaksanaan Muktamar Cipasung 1994, ketika rezim Soeharto secara demonstratif mengacak-acak Muktamar NU. Keempat, berpotensi memecah belah. Muktamar Yogyakarta hampir-hampir kembali mengoyak-koyak NU, ketika Kiai Idham yang tak diunggulkan menduduki Rais Aam hampir saja mengalahkan Kiai Ahmad Siddiq.

Begitu juga ketika KH. Ali Yafie yang tidak diunggulkan menduduki Wakil Rais Aam berhasil mengalahkan KH. Sahal Mahfudz dengan selisih suara yang jauh. Maka tepat ketika NU mencoba kembali menggunakan AHWA. Di sinilah maka berlaku qaidah ushul, dar ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashalih, menghindari kerusakan lebih utama daripada memperoleh manfaat yang sedikit.

Dalam rancangan ART Bab XIV Pemilihan dan Penetapan Pengurus Pasal 40 disebutkan (1) Pemilihan dan Penetapan Pengurus Besar NU sebagai berikut: a. Rais Aam dipilih secara langsung melalui musyawarah mufakat melalui sistem AHWA. b. AHWA terdiri dari 9 ulama yang dipilih secara langsung oleh muktamirin. e. Ketua Umum dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar dengan terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapat persetujuan dari Rais Aam terpilih.

Meskipun terlambat, kesadaran untuk kembali menggunakan AHWA patut mendapat apresisi. Hanya saja perubahan yang ditawarkan sepertinya masih terkesan setengah-setengah. Mestinya kalau mau menggunakan AHWA secara utuh, pemilihan Ketua Tanfidziyah jangan diserahkan kepada muktamirin. Selepas memilih AHWA, berilah kewenangan juga kepada Tim AHWA untuk memilih Ketua Tanfidziyah. Sebab ketika Ketua Tanfidziyah masih dipilih langsung oleh muktamirin maka berbagai kemungkinan terkait intervensi atau money politics, misalnya, masih sangat mungkin dan rawan terjadi.

Sementara terkait penerapan AHWA andai disetujui oleh muktamirin dalam Sidang yang membahas ART, sebaiknya penerapannya harus bijaksana. Jangan sampai penerapannya menimbulkan gejolak. Saya yakin semua muktamirin sepakat dengan AHWA. Hanya saja soal penerapannya, sepertinya ada dua kubu yang saling bersebarangan. Ada kubu yang menghendaki penerapannya saat ini juga. Namun ada kubu yang menghendaki agar AHWA diterapkan pada muktamar mendatang. Masalah ini harus disikapi secara bijaksana oleh seluruh muktamirin, termasuk –- dan ini yang lebih penting -– oleh kandidat Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah. Semoga.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement