REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Chalid Muhammad (Ketua Institut Hijau Indonesia)
Peristiwa kebakaran hutan dan kebun terus terulang hampir setiap tahun. Lima belas tahun terakhir titik panas (hot spot) hampir tidak pernah berubah. Masih di provinsi yang sama dan dalam konsesi atau wilayah kerja perusahaan Hutan Tanaman Industri serta perkebunan skala besar yang juga sama.
Pengulangan bencana asap yang sebagian besar disebabkan oleh korporasi ini seolah menghina akal sehat bangsa. Energi yang dibutuhkan untuk merespons peristiwa ini selalu besar. Ini disebabkan dampaknya tidak tangung-tanggung. Kesehatan warga terdampak adalah prioritas. Kemudian disusul kerugian ekonomi yang juga terbilang besar. Belum lagi cibiran internasional lantaran negara jiran menjadi sangat terganggu dan juga isu pelepasan karbon ke atmosfir menjadi isu yang dituding menjadi penyebab pemanasan global.
Tanggap Darurat
Pernyataan tegas Presiden RI Joko Widodo untuk mencabut izin perusahaan pelaku pembakaran serta menyeret mereka ke meja hijau patut diapresiasi. Kesigapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutana Siti Nurbaya dan Kepala BNPB dalam mengerahkan sumber daya untuk tanggap darurat bencana juga patut diapresiasi.
Namun semua upaya itu belum cukup untuk mencegah peristiwa yang sama tidak terulang tahun mendatang. Pasalnya pelaku yang diduga aktor pembakaran dan atau lalai mengamankan wilayah konsesinya dari kebakaran adalah perusahaan besar yang sangat terlatih menghindari penalti dari negara.
Celah hukum sekecil apapun bisa dipakai untuk membebaskan mereka dan sanksi pencabutan izin dan atau sanksi pidana. Pengacara ternama dan "intelektual tukang" mudah mereka kerahkan dalam memenangkan perkara. Belum lagi dukungan politik yang seringkali mereka dapatkan bila posisi terdesak.