Oleh: Soenarwoto Prono Leksono
(Penggagas Majelis Pengajian Al-Waqiah di Madiun)
Arif, sebut saja begitu nama jamaah saya. Ia tiba-tiba mendekap dadanya dan meringis kesakitan saat tawaf di putaran kelima. Wajahnya mendadak pucat dan tubuhnya lemas. Ia megap-megap terjepit di antara rombongan jamaah kulit hitam bertubuh besar asal Afrika. Arif terlihat sedang sulit bernafas.
Melihat kejadian ini saya langsung menyambar tubuhnya. Beruntung saya berada tak jauh darinya. Jika ia jatuh di pusaran tawaf itu, dipastikan bisa mengancam jiwanya. Arif bisa terinjak-injak jamaah lain yang sedang tawaf dengan jumlah berjibun itu.
Jika sudah jatuh dan terinjak-injak, catatan yang sering terjadi adalah mereka akan menjadi korban; luka atau bahkan meninggal dunia. Alias mampus, begitu bahasa slank yang kerap dimahfumi publik.
Setelah berhasil membawa keluar dari pusaran tawaf, saya kemudian mengajak Arif duduk di tepi barisan orang salat. Dengan begitu ia bisa lebih aman dan bernafas lega. Sejenak saya ajak istirahat dan minum air zam-zam. Agar badannya segera kembali segar.
Hukum tawaf juga membolehkan jamaah berhenti dulu jika kondisi tak memungkinkan. Misalnya mendadak jatuh sakit atau tiba-tiba batal karena kentut. Maaf. Kemudian setelah sehat dan bersuci (wudhu), jamaah bisa melanjutkan tawaf kembali hingga putaran ke tujuh selesai.
"Akhlak tamu Allah, kok gitu," ucap Arif mengolok orang kulit hitam saat duduk. Loh, memangnya kenapa? Tanya saya. "Orang kulit hitam bertubuh besar itu yang membuat dada saya sakit. Ia menyodok dada saya saat tawaf. Ibadah kok caranya begitu," gerutu Arif dengan wajah mbureng sembari pringisan menahan dadanya yang masih sakit.