Oleh: Ananda Puja Wandra S.Ikom
(Pengurus Depinas SOKSI Departemen Bid. Luar Negeri)
Media sosial heboh dengan batalnya Presiden Indonesia Joko Widodo untuk menyampaikan pidato dalam pertemuan Mission Inovation di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Paris pada 30 November 2015 lalu. Keputusan batal berpidato itu dilakukan Jokowi setelah lokasi pertemuan tiba-tiba menjadi sepi karena kepala-kepala negara yang hadir meninggalkan ruangan mengikuti Presiden Amerika Serikat Barrack Obama.
Obama meninggalkan ruangan setelah berpidato tentang energi. Kepergian Obama diikuti pimpinan negara lainnya seperti PM Jepang Shinzo Abe, PM Norwegia Erna Solberg, PM Arab Saudi, Presiden Kanada dan Presiden Korea. Padahal saat itu giliran Presiden Jokowi untuk berpidato. Staf alih bahasa pun sudah siap untuk menerjemahkan pesan-pesan Jokowi kepada kepala negara yang hadir, tapi ternyata keadaan berkata lain.
Presiden Indonesia harus mengurungkan niatnya karena para pimpinan negara banyak yang meninggalkan ruangan mengikuti kepala negara adidaya itu. Tidak tahu apakah ini momen yang disengaja atau tidak, cuma memang Jokowi mendapat giliran berbicara setelah Obama, meski setelahnya masih banyak kepala negara lain yang akan berpidato. Ibaratnya Jokowi “ketiban sial” mendapat giliran berpidato setelah Obama.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengambinghitamkan panitia penyelenggara acara yang tidak tertib dalam mengatur kelangsungan acara. Perginya Obama beserta beberapa kepala negara lain yang “ngintil” di belakangnya membuat acara jadi berantakan. Menurut Teten, seharusnya penyelenggara bisa mengantisipasi hal-hal semacam ini.
Tapi lebih jauh, kita sebagai bangsa Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lain sebenarnya harus sadar betapa direndahkannnya bangsa ini di forum-forum internasional. Pengamat politik Zainal Abidin mengatakan bahwa Jokowi sudah tidak dihargai dunia internasional. Kita bisa pandang dari dua perspektif, pertama dari sosok digjayanya Obama sebagai pimpinan negara adikuasa. Kedua, bangsa-bangsa dunia ketiga yang tidak mampu berdiri sederajat dengan kedaulatan negara-negara maju.
Kedaulatan negara-negara berkembang masih dipandang sebelah mata, sehingga dalam ajang-ajang pertemuan internasional, pimpinan atau delegasi kita sering kali tidak diposisikan sebagaimana perwakilan dari sebuah negara berdaulat yang memiliki derajat sejajar.
Tindakan Obama yang pergi meninggalkan ruangan sebenarnya kurang beretika, karena sebelumnya ia ditunggu oleh pimpinan negara lain, tapi ketika selesai berpidato, malah langsung melengos pergi. Masalah etika dalam komunikasi juga datang dari kepala-kepala negara lain yang “ngintilin” Obama sehingga membuat tokoh lain yang hendak berpidato jadi mengurungkan niatnya. Apakah saking hormatnya para pimpinan negara-negara ini pada Obama, hingga melupakan jati diri mereka juga sebagai sosok yang penting untuk kaumnya?
Setiap negara memiliki kepentingan masing-masing untuk saling menjaga etika komunikasi antara satu negara dengan negara lain. Perekonomian dunia juga tergantung pada hubungan harmonis antar negara. Amerika sendiri memiliki kepentingan menjadikan negara-negara kelas tiga sebagai pasar konsumen bagi berbagai macam barang produksi dalam negeri mereka. Jika tidak ada negara berkembang seperti Indonesia ini, maka Amerika dan negara-negara maju di Eropa pasti akan kehilangan target market yang besar, mengingat tingginya tingkat konsumerisme masyarakat negara berkembang.
Selain itu, Amerika juga punya Freeport yang menangguk kekayaan alam Indonesia dan terus menjadi lumbung uang bagi negara elite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu. Obama seharusnya memiliki etika komunikasi yang tidak menimbulkan perasaan merasa direndahkan dari negara manapun.
Masyarakat Indonesia “sebagian” marah (realitasnya sebagian lagi malah mengumpat Jokowi), simbol negara tidak dianggap pada pertemuan internasional. Batalnya Jokowi berpidato juga bisa dimaknai sebagai kurangnya penghargaan dunia internasional pada pimpinan negara berkembang umumnya, dan Indonesia secara khusus. Meski mau tidak mau kesenjangan derajat antar negara itu pasti ada secara realita, tapi hendaknya pimpinan negara maju seperti Obama menempatkan kepala negara lain sejajar sederajat dengan dirinya.
Proses menghargai yang baik akan meningkatkan kualitas hubungan bilateral maupun mulilateral. Kejadian gagalnya pidato Jokowi gara-gara Obama membuat polemik dan pro kontra di tanah air. Efek pemilihan umum lalu ternyata masih terasa. Mereka yang kontra terhadap Jokowi akan menganggap presiden sebagai sosok yang remeh. Meski semestinya di saat-saat seperti inilah persatuan dan kedaulatan serta rasa nasionalisme kita harus bangkit. Saat pimpinan negara kita, entah sering disebut di media sosial tidak tegas, plin-plan, memble, kurus dan ejek-ejekan lainnya “dilecehkan” di forum internasional, kita harus bangkit membela. Mau di dalam negeri kita berserak, terpecah belah, tapi untuk keluar seharusnya kita junjung tinggi simbol negara untuk dianggap penting oleh dunia internasional.
Selanjutnya, negara-negara berkembang harus memiliki kesadaran bahwa kedaulatannya kerap dipandang sebelah mata oleh negara-negara maju. Kelompok negara ketiga ini harus berani tampil, berkarya, berproduksi, sehingga Obama dan sekutunya bisa melihat dengan baik bahwa negara-negara berkembang itu eksis dan penting.
Indonesia juga harus memiliki daya tawar yang tinggi sehingga penghormatan dan penghargaan pimpinan negara lain terhadap presiden Indonesia bisa jauh lebih baik. Ekonomi kita harus maju, infrastruktur harus terawat, terjaga, dan terus dilakukan pembangunan, sistem pertahanan dalam negeri harus dimodernisasi, teknologi dan ilmuwan harus difasilitasi, dan hasil produksi dari pengusaha lokal tradisional harus didorong penuh untuk bisa bersaing dengan produk-produk dari negara-negara maju seperti Amerika dan kawasan dunia Barat lain.
Angkuhnya Obama dan tradisi negara Amerika terhitung sudah dua kali selama kepemimpinan presiden Jokowi ini. Pada Oktober lalu juga rombongan kepala negara Indonesia ini tidak disambut langsung ketika turun dari pesawat saat berkunjung ke Amerika. Simpel memang hanya masalah penyambutan, tapi penting jika ini bicara tentang hubungan antara satu negara dengan negara lainnya. Semestinya presiden harus disambut presiden, menteri disambut menteri, yang menandakan adanya equalisme dalam kedaulatan. Tapi etika yang ditunjukkan Obama setidaknya memberikan tanda kepada kita bahwa mereka memang menganggap negaranya sejengkal lebih tinggi dibanding Indonesia atau negara lainnya.
Presiden Jokowi harus berani memberikan shock theraphy pada Obama, Amerika dan negara sekutunya bahwa Indonesia memiliki kedaulatan penuh yang tidak bisa ditukar dengan apa pun. Momen paling tepat menurut Saya adalah dengan memutus kontrak karya Freeport di Indonesia yang akan segera berakhir beberapa waktu mendatang. Sudah cukup bangsa ini hanya dijadikan target market. Indonesia punya potensi untuk menghilangkan kesenjangan antarnegara-negara di dunia. Kita punya sejarah gemilang dengan membentuk Gerakan Non-Blok selama perang dunia berlangsung. Indonesia juga menggagas kekuatan Konferensi Asia-Afrika yang menjadi antitesa dominasi kekuasaan Barat.