REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Luqyan Tamanni, M.Ec, RFP-I dan Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc
(Sakinah Finance, Colchester - Inggris)
Secara makro, tahun 2015 adalah tahun penuh ujian bagi ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi melambat. Permasalahan klasik masih menghantui, seperti tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, lemahnya nilai tukar rupiah, hingga terpuruknya harga komoditas yang menjadi andalan ekonomi nasional.
Hal yang sama juga diperkirakan akan berlaku pada 2016. Penyebab utamanya karena faktor eksternal dan kondisi global, misalnya saja penyesuaian suku bunga Federal Reserve dan melambatnya ekonomi Cina.
Saat ini, tingkat kemiskinan Indonesia masih berkisar sekitar 11-12 persen dari total jumlah penduduk. Artinya, lebih dari 30 juta penduduk Indonesia masih hidup dengan pendapatan pas-pasan, yakni kurang dari 2 dolar per hari.
Meski secara persentase tingkat kemiskinan terus menurun, jumlah riil penduduk miskin ternyata meningkat. Misalnya, penduduk miskin tercatat naik sebesar 8-9 juta orang pada 2015 dibandingkan 2014.
Sementara itu, tingkat penggangguran terbuka juga mengalami hal yang sama. Kadar pengangguran pada akhir 2014 adalah 5,81 persen. Lalu, naik menjadi 5,94 persen pada awal 2015. Separuh dari angka pengangguran itu adalah lulusan sekolah dasar, disusul oleh mahasiswa baru lulus, dan siswa sekolah menengah/kejuruan (Sumber: BPS). Menurut sumber yang sama, penyerapan tenaga kerja paling populer adalah pada sektor pertanian, bisnis usaha, jasa sosial, dan manufaktur.
Dari sisi ekspor dan impor, data dari OECD menunjukkan bahwa neraca perdagangan Indonesia terus mengalami defisit dari 2012 hingga sekarang. Pada 2014 angka defisit berada pada posisi -2 persen. Diperkirakan, angka tersebut akan membaik karena pada kuartal I-III 2015 telah terjadi kenaikan positif terhadap neraca perdagangan Indonesia.