Selasa 02 Feb 2016 18:55 WIB

Konflik Pemikiran di Dalam Nahdlatul Ulama

Pengasuh Pesantren Tebuireng Salahuddin Wahid.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Pengasuh Pesantren Tebuireng Salahuddin Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Salahuddin Wahid/Pengasuh Pesantren Tebuireng

Perbedaan tafsir suatu ajaran atau aturan adalah hal lumrah terjadi di banyak organisasi, bahkan di dalam negara. Namun, bila perbedaan itu amat berbeda atau bertentangan, organisasi itu akan mengalami guncangan, bahkan mungkin perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. Sebagai contoh, kita bisa melihat Uni Soviet atau Sarikat Islam pada 1930-an.

Di dalam jam'iyyah Nahdlatul Ulama menjelang 1990, terjadi perubahan mendasar di dalam sekelompok anak muda NU dalam menafsirkan ajaran Ahlussunah waljamaah (Aswaja) yang menjadi ajaran dasar bagi NU. Perbedaan ini konsekuensi logis dari banyaknya anak muda NU yang tamat dari berbagai pesantren dan lalu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ke negara Barat dan Timur Tengah. Mereka mendapat dorongan dan pengayoman serta diilhami Ketua Umum PBNU (1984-1999) Abdurrahman Wahid.

Aswaja an-Nahdliyah yang selama ini menjadi ajaran dasar dan acuan berpikir bagi organisasi NU, tercantum dalam Qanun Asasi yang disusun KH Hasyim Asy'ari. Secara sederhana, Aswaja NU dirumuskan sebagai ajaran yang dalam fikih mengikuti imam empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali). KH Bisri Mustofa menambah rumusan itu: dalam akidah mengikuti Imam Asy'ari dan Imam Maturidi, dan dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement