Kamis 25 Aug 2016 06:07 WIB

Antara Kemerdekaan dan Amil Zakat

Red: M.Iqbal
Petugas Amil Zakat saat melayani warga yang membayar zakat fitrah, Masjid Istiqlal, Jumat (1/7). (Republika/Tahta Aidilla)
Petugas Amil Zakat saat melayani warga yang membayar zakat fitrah, Masjid Istiqlal, Jumat (1/7). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Farid Septian (Amil BAZNAS RI)

Menjelang akhir Agustus ini, masih kita dapati sebagian masyarakat Indonesia di pelosok negeri yang menyelenggarakan berbagai acara dalam rangka memperingati hari proklamasi kemerdekaan RI ke-71 dengan segala bentuknya. Tujuh puluh satu tahun cukuplah dikatakan tua renta jika dilihat dalam konteks usia hidup manusia.

Sebaliknya, 71 tahun barulah seumur jagung jika dibandingkan dengan siklus peradaban. Oleh karenanya, menilai sukses atau gagalnya kemerdekaan berdasarkan usia kemerdekaan yang diraih sebuah negara menjadi relatif tergantung perspektif yang kita gunakan.  

Namun, yang perlu menjadi renungan adalah bukan tentang angka-angka berbilang puluh, ratusan, bahkan ribuan tahun itu. Juga bukan tentang selebrasi berlebihan bahkan melalaikan dalam memperingati kemerdekaan.

Melainkan sebuah refleksi tentang karya dan kontribusi besar apa yang sudah disumbangkan bangsa kita pada peradaban umat manusia. Bagi setiap pribadi yang menikmati kemerdekaan, pertanyaannya menjadi, kontribusi dan karya apa yang sudah kita berikan kepada bangsa?

Yang jelas kesyukuran harus senantiasa kita sampaikan atas berkah kemerdakaan yang telah kita raih ini. “La in syakartum la-aziidannakum wa la in kafartum inna ‘adzaabi lasyadiid”

Banyak pandangan negatif, sinis, bahkan sarkatis dalam mengomentari kondisi Indonesia hari-hari ini yang dianggap belum betul-betul merdeka. Baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan lain sebagainya.

Pandangan yang demikian tidak sepenuhnya salah. Sebab memang demikian realita dan fakta yang sama-sama kita rasakan.

Akan tetapi, selayaknya kita harus adil dalam menilai. Marilah kita ubah pandangan dan kacamata kita dalam perspektif yang lebih positif.

Sungguh terlalu banyak hal yang patut kita cintai dan syukuri atas negeri ini. Ada baiknya adagium 'better light a candle than curse the darkness' perlu kembali kita gaung-gaungkan di tengah kian menipisnya semangat dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Hakikat Kemerdekaan

Merdeka -sebagaimana disampaikan oleh para pendiri bangsa kita- bukanlah tujuan melainkan jembatan. Merdeka adalah gerbang.

Gerbang yang mengantar pada apa yang kita namai dengan kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan di seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesejahteraan sosial takkan mungkin dicapai tanpa keadilan sosial.

Keadilan sosial pun memiliki sejumlah asas. Diantaranya yang terpenting adalah kebebasan dan kemerdekaan jiwa manusia.

Mengenai hal ini, Sayyid Quthb panjang lebar menjelaskannya dalam buku al-‘Adallah al-Ijtimaiyyah fil-Islam yang telah diterjemahkan dalam buku “Keadilan Sosial Dalam Islam” mulai pada halaman 41-79 yang dapat kita petik intisarinya.

Intinya bahwa perjuangan Islam untuk melahirkan keadilan dan kesejahteraan dimulai dari pembebasan jiwa atas penghambaan manusia terhadap manusia lainnya menuju pada penghambaan yang total kepada Allah SWT. Sebagaimana pula yang disampaikan Rib'i bin Amir ats-Tsaqofi kepada panglima Rustum sesaat sebelum perang Qodisiah yang legendaris itu.

Dimana Rib’i menjawab pertanyaan Rustum tentang motivasi apa yang membuat pasukan kaum muslimin berusaha menginvasi wilayah kekuasaan Persia. Rib’i dengan gagahnya berkata salah satunya bahwa dakwah Islam adalah mengajak seluruh umat masusia dari sempitnya kehidupan dunia menuju luasnya kehidupan akhirat.

Inilah makna kemerdekaan yang keluar dari mulut seorang yang memiliki kejernihan dalam bertauhid. Dari keduanya kita memahami bahwa spirit kemerdekaan adalah spirit pembebasan.

Membebaskan manusia untuk hanya menjadi hamba Allah semata. Dan ini adalah prasyarat untuk mendapatkan apa yang kita namai kesejahteraan.

Merdeka dari Kekikiran dan Kefakiran

Dalam kitab klasik “Durro-tun Nasihin” (Mutiara Nasihat) yang ditulis oleh Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir al-Khaubury, halaman 17 dijelaskan bahwasannya bangsa, sebuah negeri, dan peradaban umat manusia di dunia ini akan tegak dan kuat, serta abadi, manakala di dalamnya ditopang dengan empat pilar, yang satu sama lainnya saling menguatkan.

Pertama, ilmunya para Ulama (bi ‘ilmil ulama’). Kedua, adilnya para penguasa (bi ‘adlil umaro).

Ketiga, dermawannya kaum aghniya (bi sakhowatil aghniya’). Keempat, doanya kaum dhu'afa (bi da'watil fuqoro).

Jika ditelisik lebih dalam sesungguhnya, dua dari empat pilar yang mampu mengokohkan eksistensi suatu bangsa dalam kancah peradaban adalah berkaitan erat dengan tugas dan fungsi amil zakat. Khususnya dalam hal menyeru dan mengajak orang-rang kaya di negeri ini untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekahnya sebagai implementasi kewajiban dan kedermawanannya.

Landasan untuk menumbuh-suburkan kedermawanan tersebut tentunya berbekal spirit “kayla yakuuna du latan bainal aghniyaa-i minkum”, agar harta kekayaan itu tidak hanya berputar-putar diantara orang kaya saja di antara kita.

Lebih jauh, tugas amil zakat yang menyeru bahkan memaksa orang-orang kaya untuk mengeluarkan zakatnya adalah dalam rangka memerdekaan orang kaya tersebut dari kemusyrikan, yakni membebaskan mereka dalam penghambaan dan menuhankan harta bendanya sendiri. Sebagaimana termaktub dalam surah Fushshilat ayat 6-7:

"...dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya. Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat”

Dalam spektrum penyaluran dana, amil zakat, memiiki peran untuk memuliakan dan memberdayakan dhu’afa. Meminjam istilah Prof Nassarudin Umar adalah sebagai sahabat spiritual mustahik.

Yang tidak hanya sekedar memungut, mencatat, menyalurkan, akan tetapi juga mendakwahkan zakat di muka bumi ini. Di sinilah Amil zakat berperan untuk memerdekakan mustahik dari belitan kesulitan dan kefakiran.

Dari penjelasan di atas, kita memahami bahwa kerja amil zakat adalah kerja untuk menegakkan pilar-pilar yang mengokohkan sendi bernegara dan berbangsa. Di dalamnya terkandung cita-cita besar tentang kerja peradaban yang panjang dan hanya sanggup disusuri oleh para pejuang.

Amil zakat adalah pejuang. Pejuang yang memerdekakan orang-orang kaya dari belenggu kekikiran di satu sisi, dan memerdekakan orang-orang miskin dari belitan kefakiran di sisi lain.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.

(QS. Al-Ma'idah ayat 6)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement