REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Edi Priyanto *)
Beberapa waktu lalu, Presiden RI, Joko Widodo kembali mempertanyakan soal dwelling time yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok apakah sesuai yang diharapkan yakni di bawah 3 hari. “Saya tanya sama Dirut Pelindo II tentang dwelling time katanya 3,2 hari, saya tanya Menhub katanya 3,7 hari, yang mana yang benar,”? Tanya Presiden Jokowi, saat memberikan kata sambutan pada peresmian NPCT 1, Selasa, 13 September 2016. “Saya meminta untuk dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok 2 koma hari saja, dan harus diikuti oleh pelabuhan pelabuhan lain di Indonesia,” tegas Jokowi.
Itu merupakan penggalan kalimat Presiden Joko Widodo kembali angkat suara soal dwelling time di Pelabuhan untuk kesekian kalinya.
Ketika berbicara istilah tersebut, sebelum membahasnya kita harus mengetahui definisi dengan segala problematikanya terlebih dahulu agar tidak menimbulkan salah persepsi.
Berbicara tentang kinerja di pelabuhan ada dua parameter, yaitu waiting time (WT) dan dwelling time (DT). Pada prinsipnya ketika berbicara waiting time dan dwelling time adalah dua hal yang sangat berbeda baik secara definisi maupun parameter serta ruang lingkupnya.
Definisi waiting time adalah waktu tunggu kapal untuk dapat bersandar di dermaga dan melakukan proses bongkar-muat barang. Semakin kecil atau nol (zero) “waiting time-nya” maka kinerja bongkar muat di Terminal/Pelabuhan semakin baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi waiting time diantaranya ketersediaan fasilitas (kecukupan) dermaga, peralatan bongkar muat yang memadai serta fasilitas pendukung lainnya seperti lapangan penumpukan dan peralatan angkat dan angkut yang digunakan untuk kegiatan haulage dan lift on dan off di lapangan penumpukan dan yang idak kalah pentingnya juga adalah kinerja atau produktivitas bongkar muat yang biasa dilakukan oleh crane di dermaga.
Sedangkan dwelling time merupakan sebuah proses yang dibutuhkan sejak barang/petikemas turun dari kapal atau barang/petikemas ditumpuk di lapangan penumpukan hingga barang/petikemas keluar dari terminal/pelabuhan. Berbicara dwelling time ada tiga proses utama yaitu : pre-clearance, customs-clearance dan post-clearance. Pada proses import barang/petikemas yang masih terhitung lama dwelling timenya, dibandingkan dengan kegiatan eksport.
Apabila didetilkan satu persatu sesuai urutan prosesnya, beberapa kendala yang dihadapi pada proses pre clearance adalah kesadaran importer/forwarder untuk mempercepat pengurusan import barang sangat minim. Sehingga, hal itu cenderung tidak segera mengurus izinnya setibanya barang/petikemas di Pelabuhan. Kurang koordinasi antar instansi terkait perijinan Lartas (barang larangan dan/atau pembatasan) serta sering terjadinya gangguan pada Indonesia Nasional Single Window (INSW) juga memberikan kontribusi penyebab lamanya dwelling time pada tahap awal proses tersebut.
Pada proses pre clearance ini yang terlibat adalah importir dengan kementrian/lembaga terkait penerbit izin eksport/import di antaranya: Kementrian Perdagangan, BPOM, Karantina Tumbuhan, Karantina Hewan, Kementrian Kesehatan, Ditjen Sumber Daya & Perangkat Pos & Informatika (SDPPI), Karantina Ikan, Kementrian Pertanian, kementrian Perindustrian, Kementrian Lingkungan Hidup, Bapeten, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Polri, Kementrian Kehutanan dan Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Selanjutnya pada proses custom clearance, kendala yang dihadapi biasanya masalah lamanya waktu penyerahan hardcopy dokumen jalur kuning dan jalur merah. Juga, masih lamanya penarikan kontainer untuk diperiksa fisik. Demikian juga lamanya pengurus barang dalam pendampingan periksa fisik serta kesiapan penerbitan Delivery Order (DO) dari pelayaran dan perbankan pada hari-hari libur. Pada proses ini yang terlibat adalah custom (bea cukai) dan terminal operator pelabuhan.
Pada tahapan post clearance, kendala yang dihadapi di antaranya masih adanya tempat penimbunan sementara, shipping line, trucking dan depo kontainer yang belum buka 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (24/7). Selanjutnya, belum diterapkannya penyerahan Delivery Order (DO) secara elektronik (online) serta lamanya pemilik barang mengeluarkan barangnya yang telah mendapatkan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) dari Bea dan Cukai. Pada proses ini, terlibat di antaranya terminal operator, jasa pengurus transportasi / forwarder / pemilik barang, trucking, perusahaan pelayaran dan gudang/pabrik diluar pelabuhan.
Beberapa upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk memperbaiki dwelling time pada setiap prosesnya. Pada proses pre clearance, di antaranya perlu diupayakan pemanfaatan fasilitas prenotification untuk jalur prioritas, perceparan importer untuk percepatan penyampaian pemberitahuan import barang (PIB), perlunya inisiatif strategis stakeholder mini-lab, juga perlu dilakukan koordinasi secara berkala dengan penerbit lartas serta perlunya dilakukan perbaikan sistem Indonesia Nasional Single Window (INSW).
Pada proses customs clearance bisa dilakukan percepatan penyerahan hardcopy PIB, mandatory program dokap online, mendorong percepatan zonasi Tempat Penimbunan Sementara (TPS) dan penerbitan petugas lapangan perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK).
Dan upaya yang bisa dilakukan pada proses post clearance di antaranya mendorong tempat penimbunan sementara (TPS), shipping line, trucking dan depo petikemas memanfaatkan layanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (24/7), perlu mengimplementasikan Delivery Order (DO) online pada Shipping line dan perlunya regulasi yang mengatur untuk pengeluaran barang dapat oleh TPS apabila pemilik barang belum keluarkan barang dalam waktu 1 x 24 jam.
Permasalahan yang perlu dipahami oleh masyarakat dan semua pihak, bahwa tujuan memangkas dwelling time adalah untuk dapat menurunkan biaya logistik / efisiensi biaya logistik. Khusunya, terkait pengeluaran barang setibanya di terminal/pelabuhan. Sebuah proses layanan di pelabuhan yang terkelompok dalam subproses-subproses tertentu yang masing-masing merupakan tanggung jawab pihak/instansi/lembaga tertentu yang berdiri sendiri.
Dengan demikian, untuk mengatasi masalah dwelling time diperlukan peran dan partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat. Tak hanya dari kementrian/lembaga terkait penerbit ijin eksport/import, bea cukai, operator terminal, namun juga para pelaku usaha baik para importir, eksportir, PPJK, shipping agent, dan forwarder, tapi juga pelaku-pelaku usaha pelabuhan lainnya.
Tidak terlalu efektif apabila hanya pihak-pihak tertentu saja yang berupaya keras menurunkan dwelling time. Namun di lain pihak, para pengusaha menganggap bahwa waktu yang masih cukup panjang tersebut masih bisa ditolerir dari perspektif bisnis mereka, sehingga mereka merasa tidak perlu bergegas mengeluarkan barangnya dari kawasan pelabuhan.
*) Pemerhati Maritim