Kamis 10 Nov 2016 12:40 WIB

Menyikapi Posisi Presiden Saat Unjuk Rasa Damai

Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.
Foto: Halimatus Sa'diyah
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dodik Prasetyo *)

Demonstrasi besar gabungan organisasi massa (ormas) Islam memang telah usai. Namun, sejumlah pertanyaan masih mencuat ke permukaan. Ketika aksi demo menuntut mempercepat proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) telah direspons pihak Kepolisian, sebagian kalangan masih mempertanyakan ketiadaan Presiden Joko Widodo saat demo berlangsung.

Penjelasan Mensesneg Pramono Anung, bahwa sebenarnya Presiden Jokowi bermaksud menemui para pendemo, tetapi ada kendala yang disebabkan oleh kemacetan lalu lintas, sangat tidak dipahami para pendemo. Sehingga, hal itu memunculkan berbagai respons dan tanggapan yang bersifat negatif.

Apabila kita cermati secara jernih cuplikan isi pernyataan Presiden pada saat konferensi pers usai aksi demo, sangat jelas. Presiden menegaskan posisinya, yaitu telah memerintahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menerima perwakilan pengunjuk rasa.

Isi pernyataan tersebut sebenarnya merupakan penegasan Presiden atas Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pun telah menemui dan berdialog dengan perwakilan pengunjuk rasa. Wapres dalam dialog tersebut menegaskan kasus Basuki Tjahaya Purnama akan diproses secara hukum yang tegas dan cepat.

Dengan diterimanya wakil pengunjuk rasa yang kemudian berdialog dengan Wapres, pendapat yang mengatakan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab, tidak perlu muncul. Di sisi lain, tidak ada pula kewajiban atau keharusan Presiden menerima perwakilan pendemo. Presiden tidak seharusnya berada pada posisi diatur atau ditekan dalam menentukan kebijakan, termasuk di dalam kasus penanganan hukum BTP. Presiden pun telah menegaskan tidak akan mengintervensi proses hukum BTP yang sedang berlangsung

Presiden, beberapa hari sebelum demo berlangsung, telah terlebih dahulu menemui para ulama termasuk dari kalangan NU, Muhammadiyah, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pasca-demo Presiden juga menemui ulama dari NU dan Muhammadiyah, serta menerima sejumlah tokoh ormas Islam di Istana Negara.

Kendati dikritik terlambat, Presiden menerima kritikan itu dan menganggap sebagai masukan yang bagus dan membangun untuk perbaikan ke depan. "Saya manusia biasa yang penuh dengan kesalahan, penuh dengan kekurangan," ujar Presiden, di kantor pusat PP Muhammadiyah, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (8/11), dikutip Republika.co.id. Keterbukaan dan kesediaan Presiden menerima kritik dari para tokoh ormas Islam  cukup menggambarkan besarnya perhatian Presiden terhadap tokoh dan umat Islam.

*) Pengamat Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement