Ahad 13 Nov 2016 11:23 WIB

Denny JA: Ahok Tersangka, tidak, Tersangka, tidak?

Pimpinan advokat tim pemenangan Ahok, Sirra Prayuna (tengah-bawah) memberikan keterangan pers usai pemeriksaan Ahok di Mabes Polri, Senin (7/11).
Foto: ROL/Wisnu Aji Prasetiyo
Pimpinan advokat tim pemenangan Ahok, Sirra Prayuna (tengah-bawah) memberikan keterangan pers usai pemeriksaan Ahok di Mabes Polri, Senin (7/11).

Oleh: Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

Rakyat Jakarta, juga wilayah lain di Indonesia, sampai tanggal 18 November 2016 nanti seperti dalam tradisi di banyak daerah: menghitung bunyi tokek.

Ketika tokek berbunyi, kita menduga Ahok tersangka. Bunyi tokek berikutnya, kita menduga Ahok tidak tersangka alias bebas. Bunyi tokek setelah itu: Ahok tersangka. Dan seterusnya sampai tokek berhenti berbunyi.

Tersangka atau tidak tersangkanya Ahok akan ikut menentukan banyak hal. Yang akan terpengaruh bukan saja nasib Ahok pribadi dan pilkada Jakarta. Bukan pula mereda dan membesarnya aksi protes. Namun juga sikap publik kepada pemerintahan Jokowi sendiri.

Seriusnya masalah ini cukup dengan melihat hal yang paling kasat mata: Aksi Demo 4 November 2016. Itu people power yang mungkin terbesar yang pernah ada. Demo mengarah ke istana negara pula.

Ia people power karena umumnya peserta demo membiayai sendiri kedatangannya. Ada pula yang dibiayai komunitasnya. Mustahil terkumpul massa sebanyak itu jika tak ada girah. Mustahil manusia bersatu sebesar itu jika tidak dihayati dan meluasnya tuntutan  keadilan.

Jika suara satu manusia saja perlu didengar, apalagi suara mereka.

Nah, mari kita berhitung. Variabel apa saja yang menentukan Ahok tersangka atau tidak tersangka (dibebaskan). Variabel ini bisa memang seharusnya menjadi penentu. Bisa pula variabel itu justru dilarang dihitung namun dalam kenyataannya pasti berpengaruh. Setidaknya ada empat variabel penting.

VARIABEL PERTAMA: supremasi hukum. Karena ini kasus hukum, dengan sendirinya prinsip hukum yang seharusnya paling menentukan. Yang lain hanya  unsur meringankan atau memberatkan.

Problemnya dalam dunia hukum berlaku diktum: "jika dua ahli hukum berjumpa akan ada tiga pendapat." Pihak yang didakwa atau pihak yang mendakwa sama sama memiliki ahli hukum dengan tafsirnya masing masing.

Semata dari kaca mata argumen hukum, Ahok tersangka atau Ahok bebas bisa sama kuatnya. Namun jika dilihat yurisprudensi, kemungkinan Ahok tersangka lebih kuat.

Apa itu yurisprudensi? Itu istilah untuk kumpulan keputusan hakim sebelumnya untuk perkara yang kurang lebih sama, untuk perkara yang tak secara eksplisit kata per kata diatur dalam aturan yang ada,  yang umumnya dijadikan dasar keputusan hakim saat ini.

Sudah ada dalam tradisi hukum Indonesia beberapa kasus yang dianggap menista agama. Salah satunya kasus ibu Rusgiani (44 tahun). Ia  ibu rumah tangga dihukum 14 bulan karena dianggap menista agama Hindu di Bali.

Kasusnya di tahun 2012 ketika ibu Rusgiani lewat di rumah ibu Ni ketut Surati di Badung, Bali. Sambil lewat di rumah itu, ibu Rusgiani berkomentar: Canang di depan rumah ibu ketut najis. Canang itu adalah tempat sesaji untuk agama Hindu.

Ujar Rusgiani "Tuhan tak bisa datang ke rumah itu karena canang itu jijik dan kotor." Rusgiani menyampaikan opini karena keyakinanannya selaku orang Kristen, Tuhan tak membutuhkan persembahan.

Karena pernyataan pendek itu, Rusgiani dianggap menista agama dan dihukum. Ia berkomentar yang pejoratif, merendahkan ajaran agama lain.

Terlepas kita setuju atau tidak dengan hukuman ibu Rusgiani, namun fakta hukum itu terjadi. Dalam tradisi hukum, keputusan hakim ini menjadi yurisprudensi. Ia dijadikan bahan hakim dalam memutuskan perkara untuk kasus yang kurang lebih sama.

Yurisprudensi ini memberatkan kasus Ahok untuk surat Al Maidah karena Ahok dari penganut agama yang berbeda.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement