REPUBLIKA.CO.ID, Herri Cahyadi, Mahasiswa Doktoral Hubungan Internasional Istanbul University
Aksi kali ketiga umat Islam yang dilaksanakan di Monas dan jalan-jalan protokol di sekitarnya hingga Bundaran HI mendatangkan lautan massa yang diperkirakan mencapai lebih dari dua juta jiwa. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah kepala yang hadir.
Yang jelas, aksi ini berlangsung tertib, dengan pesan yang jelas, dan semua puas. Tuduhan media dan segelintir orang yang memprediksi aksi ini dengan pelbagai sentimen negatif lagi-lagi tidak terbukti.
Lalu, bagaimana media-media barat merespons Aksi Damai 212? Para peneliti dari Australia yang menulis buku Media Framing of the Muslim World, yaitu Halim Rane, Jacqui Ewart, dan John Martinkus, menyatakan mayoritas media barat melakukan framing terhadap dunia Islam dengan narasi kekerasan, fanatisme, ekstremisme, dan memusuhi peradaban barat.
Ini selalu disematkan dalam hampir setiap pemberitaan serta menegasikan kekayaan multikultural, etnis, dan pengalaman berislam dari umat Islam di negara-negara lain. Benar bahwa ada kekerasan yang membonceng doktrin Islam, ada aksi terorisme yang menyatut simbol-simbol Islam, ada ideologi yang mencampur-adukkan prinsip-prinsip dalam Islam.
Tapi melakukan framing secara parsial dapat menimbulkan bias dan kerancuan dalam interpretasi suatu peristiwa. Sikap yang bijak justru ditunjukkan oleh Paus Fransiskus yang menyatakan, "If I speak about Islamic violence, I need to speak about Catholic violence."
Rangkaian kata itu merupakan respons Paus terhadap pembunuhan seorang pendeta Katolik Roma di Normandy, Perancis, pada 16 Juli 2016. Mengidentifikasi Islam dengan kekerasan adalah fallacy (kekeliruan).
Menurut Paus, orang yang melakukan kekerasan ada di dalam setiap agama. Sikap Paus ini sebenarnya memberikan contoh framing yang berimbang. Tapi tentu ini tidak menarik bagi media, sebab terdapat kredo yang mahsyur, yakni bad news is (always) good news.
Pemberitaan media barat
Jika kita mengambil sampel beberapa media global yang mengkover berita Aksi Damai 212, kita akan mudah menemukan narasi-narasi yang disebutkan oleh Halim Rane, Jacqui Ewart, dan John Martinkus dalam buku mereka. Sebagai contoh, dua hari sebelum Aksi Damai 212 dilaksanakan, yakni pada 30/11, TIME menaikkan berita dengan judul “Hardline Islamist Protests In Indonesia Are Spreading Fear Among the Minority Chinese” yang intinya mengupas rumor potensi kerusuhan 1998 terulang.
Dalam berita ini ada porsi kerusuhan pada Aksi Damai 411 yang diangkat. Tanpa melihat latar belakang kerusuhan 1998 dan kondisi kekinian para peserta Aksi Damai 212, TIME menyambung-nyambungkan kedua kejadian menjadi satu rumor: kerusuhan etnik berpotensi terulang.
Sementara Voice of America (VOA) justru berfokus dengan tajuk oportunisme Front Pembela Islam (FPI) dalam merebut hati warga Luar Batang dan Pasar Ikan yang tergusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ada kepentingan lain yang dibawa oleh masyarakat ini dalam Aksi Damai 212 dan FPI dituding memanfaatkan momen ini untuk mendapatkan simpati.
Lain lagi dengan CNN yang menggunakan identitas Cina dan Kristen dalam judul dan //lead// beritanya. Meski jelas di dalam artikel, CNN mengutip komentar seorang peserta aksi, "It's not about ethnicity or religion.” "It's a matter of what he has done," ujar Agus yang dikutip CNN.
Para tokoh dalam aksi juga sudah sering menyatakan bahwa bukan urusan etnis atau agama, tapi murni penistaan. Penggunaan identitas ini konsisten dilakukan oleh CNN dalam mengkover berita semenjak aksi pertama kali diselenggarakan.
Aljazeera yang terkadang diharapkan mampu mengadvokasi umat Islam, justru tidak berbeda dalam melakukan framing. Reporter Aljazeera, Step Vaessen lebih jauh berujar tentang aksi ini, "An extremely big show of force by Islamist groups who have been gaining importance in Indonesia over the years.”
Ia menuding kelompok Muslim konservatif semakin kuat di tataran akar rumput dan merongrong secular state. Sejak kapan Indonesia jadi negara sekuler?
Masih banyak lagi media global yang menggunakan narasi negatif untuk aksi ini seperti The Guardian, BBC, ABC, dan sebagainya. Mayoritas mereka seperti sepakat menggunakan terminologi yang sama.
Bahkan, nyaris dengan angle pemberitaan yang sama. Bagaimana ini bisa terjadi?
Agenda setting
Ini mengingatkan kita akan teori agenda setting yang menyatakan bahwa media memiliki kemampuan untuk memengaruhi publik di dalam topik-topik yang sengaja dipilih. Ada dua basis utama dari agenda setting, yaitu (1) Media dan pers tidak merefleksikan realitas; tapi mereka memilahnya. 2) Konsentrasi media terhadap suatu isu memaksa publik percaya bahwa isu itu penting dibandingkan isu yang lainnya.
Setidaknya, ada beberapa stereotype yang mungkin telah menjadi standar agenda setting terhadap isu yang berbau keislaman, baik media global maupun media nasional. Khususnya, dalam Aksi Damai 411 dan 212, beberapa spot tema yang selalu ada dalam pemberitaan bisa kita rangkum sebagai berikut:
1) Anarkis. Seluruh aspek acara dalam aksi akan berujung kepada anarkisme bahkan semenjak acara tersebut belum dilangsungkan. Dalam Aksi Damai 411 atau 212, misalnya, media-media ini akan berupaya mem-framing bahwa: a) Sebelum acara diadakan: diprediksi akan rusuh, ada upaya pelengseran Presiden, peringatan untuk tidak mendekat, serta polisi dan tentara disiapkan untuk mencegah anarkisme.
b) Selama acara berlangsung: sudut-sudut kecil dari acara akan digunakan sebagai frame anarki seperti taman yang terinjak, sampah berserakan, wajah gahar pendemo yang sedang teriak, pendemo yang membawa tongkat bendera. Media-media ini mendapatkan momentum saat kerusuhan kecil pecah di malam hari jelang peserta bubar.
c) Sesudah acara berlangsung, framing masih tetap sama, tapi dengan gaya bahasa yang seolah mengapresiasi seperti The Washington Post yang memberi judul “Indonesia Blasphemy Protest Draws 200,000; Ends Peacefully”. Uniknya, media-media nasional justru menggiring isu ini berbarengan dengan upaya makar.
2) Kelompok radikal. Memaksa pembaca agar percaya bahwa aktivitas keislaman yang menonjol dan membawa isu besar selalu ditunggangi oleh kelompok garis keras. Mereka sering menggunakan terminologi conservative Muslims, hardline, far-right parties, radical, dan sebagainya. Media ini tidak pernah bisa move on dari labeling terhadap umat Islam.
Labeling adalah salah satu cara untuk mengotakan masyarakat dalam kelompok-kelompok. Mungkin umat Islam adalah kelompok masyarakat di dunia yang paling banyak memiliki label; radikal, fundamental, ekstremis, garis keras, konservatif, moderat, bla bla bla. Ada lagi?
3) Intoleran. Buzzer media sosial dengan enteng menyebarkan isu Aksi Damai 411 dan 212 seolah memecah-belah bangsa, merusak kebinekaan, dan anti-Pancasila. Ini adalah isu paling absurd yang disebar oleh mereka yang justru ingin memecah-belah bangsa.
Parahnya diamini oleh media-media dengan terus memutar isu kebangsaan, kebinekaan, dan semisalnya. Seolah aksi ini bermasalah dengan itu semua.
Padahal, sampai aksi yang ketiga ini pun tidak ada yang terbukti. Yang ada, seluruh masyarakat dari Aceh sampai Papua ikut menuntut keadilan.
Ini juga yang dibawa oleh CNN, TIME, dan sebagainya ketika menyebutkan identitas minoritas dalam narasi pemberitaan mereka. Seolah ada masalah dengan toleransi.
Media-media ini cenderung mengaburkan esensi dari suatu kejadian dan mem-framing dengan angle semau mereka—yang bahkan terkadang jauh dari realita. Framing dan agenda setting adalah kata kunci dari perilaku media-media ini.
Bagi yang paham isu yang dibawa, mungkin akan mengenyutkan dahi ketika membaca. Solusinya adalah jangan marah sebab memang begitu mereka bekerja. Mereka punya hak dan kuasa. Perihal ada yang percaya lalu menelan mentah-mentah, itu urusan mereka.
Yang bisa dilakukan adalah melawan dengan citizen journalism. Membangun kesadaran sosial untuk memberikan informasi yang benar melalui media alternatif yang bisa dipertanggungjawabkan.