Kamis 26 Jan 2017 07:00 WIB

Bangun dari Pingsan Literasi

Pengunjung membaca koleksi buku. (Republika/Wihdan Hidayat)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pengunjung membaca koleksi buku. (Republika/Wihdan Hidayat)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Sri Nurhidayah *)

 

Kerisauan tentang pentingnya membangun kesadaran literasi, sudah banyak disuarakan sejak lama. Hampir 20 tahun, sejak 1997, budayawan Taufiq Ismail pernah mengungkapkan keresahan tentang ketiadaan buku sastra yang dibaca para lulusan SMA/SMK di Indonesia. Jika teman-teman sebayanya di berbagai negara telah membaca minimal lima judul buku (ini yang terendah di Thailand), alumni-alumni SMA kita nol buku. Penerbit-penerbit buku pun pada awal 1990-an, di bagian pengantar senantiasa menekankan pentingnya membaca buku; bukan hanya manfaat untuk pribadi, melainkan juga untuk budaya masyarakat ke arah yang lebih baik.

Abai tehadap kerisauan buruknya kesadaran literasi itu, sekarang kita tuai hasilnya. Mudah terprovokasi tanpa menganalisis masalah secara utuh menjadi gambaran mayoritas anak-anak muda kita. Buruknya prestasi literasi kita memang tergambar jelas di data Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun.

PISA dilakukan sejak 2000 dan diukur setiap tiga tahun sekali. Jika skor rata-rata untuk literasi di tingkat internasional 500, Indonesia hanya memiliki rata-rata 402 di ranking 57 dari 65 negara di 2009. Sementara di 2012, Indonesia berada di nomor 64 dari 65 negara dengan rata-rata 396, sedangkan rata-rata internasional adalah 496.

Gambaran serupa juga ada di orang dewasa. Survei Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC) yang dilakukan pada orang dewasa usia 16 – 65 tahun, hasilnya serupa. Lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian paling bawah) dalam hal kemampuan literasi. Indonesia baru pertama kali mengikuti survei ini, dan Indonesia menjadi negara dengan rasio orang dewasa berkemampuan membaca terburuk dari 34 negara.

Pemerintah yang diwakili Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, cukup memahami masalah ini. Mendikbud yang lalu, Anies Baswedan, telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 21/2015 tentang Penerapan Budi Pekerti yang salah satunya mengatur tentang upaya membangun kesadaran literasi melalui kewajiban membaca selama 15 menit setiap hari di sekolah, membaca buku nonpelajaran. Permendikbud ini jelas angin segar, namun tetap dibutuhkan beberapa hal untuk keberhasilannya.

Prasyarat pertama yang dibutuhkan adalah buku bacaan. Saat ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud telah mencetak lebih dari 70 judul buku. Buku-buku yang sudah dicetak dalam bentuk paket buku itu sudah siap disebar ke lebih dari 20 sekolah di Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan DKI Jakarta. Kelima provinsi ini pilot project program pembiasaan membaca 15 menit di sekolah.

Jumlah 70 judul buku cukup untuk membangkitkan minat awal membaca. Namun, jika dalam waktu tiga bulan tidak ada tambahan judul buku, maka minat baca yang sudah meningkat dapat dipastikan menurun kembali. Karenanya, prasyarat berikutnya perlu segera dilakukan pemerintah, yakni regulasi agar harga buku menjadi murah.

Iri rasanya mendengar kebijakan pemerintah India membuat buku murah dan mudah diakses. Fenomena buku murah di India ini, bahkan diangkat New York Times pada 200 lewat artikel “Getting Textbook Cheaper from India”. Untuk itulah keberanian pemerintah dibutuhkan. Murahnya buku akan menarik minat masyarakat. Tidak serta-merta memang, namun stimulasi awal yang telah diberikan di sekolah akan menemui tempat terbaik untuk berkembang. Di sekolah boleh membaca hanya 15 menit, namun di rumah bisa lebih dari itu.

Pekerjaan rumah berikutnya adalah memastikan rumah menjadi tempat nyaman untuk membaca. Godaan yang paling berat hari ini ada di televisi. Dibutuhkan kebijakan agar televisi menayangkan tayangan edukasi di jam-jam saat anak menonton. Juga larangan menggunakan dubbing untuk film-film mancanegara yang masuk ke televisi nasional.

Dengan adanya larangan tersebut, seorang anak akan belajar membaca teks (subtitle) secara cepat untuk mengetahui isi perbincangan dari tayangan televisi yang ia tonton. Hari ini, tepat di jam belajar anak, tayangan sinetron mendominasi. Ibu dan anak sama-sama asyik menonton televisi. Di sinilah kebijakan pemerintah akan langsung mendidik ibu dan anak. Namun, jelas bukan kebijakan yang mudah, karena pasti akan mendapat tentangan keras pemilik televisi yang mengutamakan rating.

Memang cukup berat membangunkan masyarakat yang pingsan untuk sadar literasi. Kemendibud sudah memulai, dan jelas tidak bisa sendirian. Perlu kemauan keras dari semua pihak, karena jika kita tidak mulai sekarang bonus demografi di 2028 akan menjadi kejutan yang tidak kita inginkan. Penduduk usia produktif adalah mereka yang tumpul pemikirannya, yang akan mudah mengambil kesimpulan dari sebuah masalah tanpa menganalisis dan mencari alternatif dari berbagai sudut pandang. Ya, membudayakan membaca bukan soal hobi. Ini adalah soal membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan. 

*) Ketua Pusat Pengembangan Pendidikan & Pesantren Baznas

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement