Oleh: DR Fuad Bawazier
Pekan lalu saya menulis bahwa kemenangan Brexit di Inggris dan Donald Trump di Amerika bisa jadi awal dari proses deglobalisasi ekonomi dunia yang dipelopori kedua negara kuat tersebut. Dahulu kedua negara ini juga, dalam kepemimpinan PM Margareth Thatcher dan Presiden Ronald Reagan, yang memelopori globalisasi.
Deglobalisasi bukan berarti meninggalkan sistem ekonomi pasar dengan kapitalismenya. Perdana Menteri baru Inggris Theresa May dan Presiden baru Amerika Serikat Trump hanya ingin melepaskan negaranya dari ikatan atau berbagai kesepakatan global dalam bidang ekonomi, khususnya berbagai perjanjian mengenai free trade and free investment, serta arus buruh dan imigran lintas negara, serta perlindungan lingkungan yg dirasakan merugikan kepentingan ekonomi nasionalnya dan mengurangi kebebasannya dlm mengatur ekonomi negerinya sendiri.
Amerika dan Inggris tiba tiba menyadari bahwa globalisasi atau internasionalisasi ekonomi yang digelorakan selama tiga dekade ini ternyata mengurangi kedaulatannya sendiri dalam mengatur berbagai kebijakan nasionalnya terutama dalam bidang ekonomi. Negara negara di Eropa misalnya, karena pembentukan Uni Eropa, telah melepaskan mata uang nasionalnya kecuali Inggris dan Swiss yg tetap mempertahankan mata uangnya sendiri. Karena menjadi anggota UE kini masing-masing negeri anggotanya tidak bebas atau leluasa mengatur kebijakannya sendiri dalam bidang investasi, perburuhan, pengungsi, arus keluar masuk barang ke negerinya dan lainnya.
"Pertukaran kedaulatan" seperti ini tentu saja memberikan keuntungan dan kerugian yang berbeda-beda bagi anggotanya. Sementara itu karena globalisasi, instrumen-instrumen koreksi konvensional seperti tarif dan pelarangan atau pengaturan arus buruh asing sudah dihapuskan. Padahal sistem tarif bea masuk sudah lazim digunakan sebagai koreksi atas perbedaan kekuatan antarnegara (antarnegara eksportir dan negara importir), atau dengan kata lain untuk melindungi produksi dalam negeri dari serbuan produk produk asing yang dapat mematikan produsen dalam negeri.
Prinsip utama yang terkandung dalam pengaturan ekonomi yg berasaskan perbedaan batas batas negara (prinsip nasionalisme atau kebangsaan) adalah perlindungan terhadap produsen atau produksi dalam negeri. Aliran ini berpendapat bahwa dalam jangka panjang negara produsen akan lebih kuat dan unggul atau memenangkan pertarungan global, sebab lebih mandiri. Dengan kata lain, membayar sedikit lebih mahal untuk produksi nasional (dalam negeri) itu lebih baik dari pada membeli murah produksi impor.
Orang Jepang misalnya, lebih suka membeli beras produksi petaninya sendiri meski jauh lebih mahal daripada beras impor. Tapi rakyat Jepang menyadari pentingnya mandiri beras daripada sekedar dijadikan pasar produk bangsa lain yg sewaktu waktu bisa saja mengembargo atau gangguan lainnya.
Tegasnya, salah satu perbedaan penting antara pengaturan ekonomi atas dasar pengakuan batas batas negara (nasional) dengan sistem global (meniadakan batas negara) adalah tarif untuk melindungi produksi nasionalnya versus sistem global yg mengutamakan pokoknya murah demi keuntungan konsumen.