REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Cholil Nafis, Lc., Ph D *)
Kiai Ma'ruf Amin (KMA) yang ahli ilmu fikih itu memberi kesaksian tentang kasus penistaan Alquran di Pengadilan. Cerobohnya, pihak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menganggap sikap keagamaan (baca: fatwa) MUI adalah "pesanan" SBY unttk memenangkan paslon nomor satu. Maka, di pengadilan itu sang fakih ditanya: Apakah ada telepon dari SBY kepeda KMA?
Kiai MA yang harus bersaksi di bawah sumpah tentu tak boleh bohong, tapi pertanyaan itu menjebak. Bahwa jika mengakui ada telepon dari SBY bukan semata telepon biasa, tapi berarti mengakui bahwa keputusan MUI tentang Ahok menista agama adalah atas 'pesanan' bukan atas pertimbangan fakta dan dalil syariah. Inilah dilema jawaban yang harus dijelaskan saksi di bawah sumpah meskipun makna yang diinginkan adalah membangun opini sesat.
Sang Kiai MA yang jawara itu menjawab: tak ada telepon dari SBY. Ditanya berkali-kali pun tetap menjawab tak ada telepon dari SBY. Ahok dan para pembelanya yang awalnya memancing sang Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbalik mereka yang terpancing dan emosi sehingga ucapannya menusuk dirinya sendiri: melanggar hukum sadap dan tak beretika. Blunder!
Sebenarnya apa yang terjadi? SBY tak menelepon sendiri secara langsung tetapi melalui sambungin telepon stafnya lalu dilanjutkan dengan SBY. Namun, pembicaraannya berkenaan dengan kunjungan paslon gubernur nomor satu ke PBNU. Di situ tak ada pembicaraan apalagi permintaan soal fatwa penista Alquran itu. Lha kalau begitu berarti memberi keterangan palsu kalau jawaban KMA tak ada telepon dari SBY?
Menurut ulama fikih, bersaksi di bawah sumpah di pengadilan adalah sesuai dengan konteks pembicaraan. Jadi, meskipun pertanyaannya apakah ada telepon dari SBY, tapi maknanya adalah telepon SBY yang meminta untuk menetapkan fatwa penista agama dan Kiai Ma'ruf/MUI terpengaruh dalam keputusannya.
Tentu jawaban KMA tidak palsu. Hal ini sama dengan orang bersumpah tidak akan makan daging selama sehari, sedangkan kata daging yang masyhur di masyarakat adalah daging sapi. Maka, dia tidak dianggap melanggar sumpah jika makan daging kambing dan daging ayam apalagi hanya makan daging ikan. Ia melanggar sumpah kalau makan daging sapi karena makna yang masyhur di masyarakat kata daging artinya adalah daging sapi.
Pertanyaan berikutnya: Apakah orang yang bersumpah di depan hakim arti katanya seperti yang diniatkan hakim atau orang yg bersumpah? Menurut mazhab Hanafi sumpah mengikuti niat yang bersumpah jika dizalimi dan mengikuti kehendak hakim jika yang bersumpah zalim. Jelas menurut pendapat ini keterangan KMA adalah sesuai makna yang dikehendakinya buka hakim karena KMA sedang dizalimi dengan tuduhan 'menjual sikap keagamaan MUI untuk kepentingan politik seseorang. Ini kezaliman karena telah menuduh lembaga keagamaan tercemar dan merendahkan para ulama di MUI.
Menurut Pendapat mazhab Maliki dan Syafi'i: keterangan saksi diartikan sesuai dengan kehendak hakim. Menurut Mazhab Hambali: sumpah saksi sesuai dengan arti yang dikehendaki oleh saksi selama ia tidak zhalim.
Dari mayoritas pendapat mazhab fikih dapat dicerna, bahwa keterangan saksi di depan pengadilan adalah sesuai kehendak saksi bukan hakim selama saksi bukan orang zalim. Meskipun mau diartikan sesuai pendapat bahwa makna keterangan saksi sesuai kehendak hakim tetap saja KMA tidak memberi keterang palsu. Sebab, konotasi telepon dari SBY itu bukan telepon biasa, tetapi pesanan fatwa sesuai permintaannya.
Kini arogansi Ahok dan pengacaranya telah menuai masalah dari berbagai pihak. Secara hukum menjadi catatan untuk diusut, dari aspek kesopanan yang dilanggar banyak menuai kecaman. Sedangkan elektabilitas politik berpotensi akan drastis menurun karena warga NU di DKI Jakarta diimbau jangan memilih paslon yang menyinggung warga NU.
Ahok dan pengacaranya berkilah untuk membangun opini bahwa sikap keagamaan MUI yang dipimpin Kiai Ma'ruf Amin tidak murni berdasarkan kajian keagamaan. Namun, kilah Kiai MA bahwa tidak menerima telepon dari SBY (yang memengaruhi sikap keagamaan MUI) membuat mereka geram dan emosinya meledak. Itulah fenomena siasat ahli hukum positif melawan tahqiq ahli hukum Islam di Indonesia.
*) Dosen Pascasarjana UI
Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat.