Rabu 08 Feb 2017 06:07 WIB

Mengasah Logika Demokrasi

Red: M.Iqbal
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta, Mega Saputra
Foto: Dokpri
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta, Mega Saputra

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh : Mega Saputra *)

Rangkaian babak baru ihwal perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) telah menjadi isu seksi yang dinikmati oleh para petinggi negara. Bahkan riuh kontestasi ini juga menyeret di tengah-tengah obrolan warung kopi. Antusiasme masyarakat semakin memuncak di kala percaturan politik untuk suksesi kepala daerah dibumbui oleh persoalan-persoalan sensitif, seperti agama, suku, dan isu-isu lainnya. 

Tampaknya pilkada hari ini bukan sekadar perkara lalu lintas pemikiran dan tukar tambah gagasan dalam membangun daerah. Pilkada juga menjadi cermin dari barometer nalar dan logika politik masyarakat dalam berdemokrasi. Bahkan patut kita akui, energi kita terkuras habis untuk menyelesaikan isu-isu recehan yang sama sekali tidak berkontribusi bagi pembangunan daerah yang berkemajuan. 

Masyarakat dalam 24 jam selama sehari bahkan asyik disibukkan dengan meng-counter tembakan peluru-peluru opini musuh politiknya di ranah media sosial yang hari ini banyak menyuguhkan berita, foto, sampai artikel hoax. Bahkan, dalam hitungan hari masyarakat berbondong-bondong fasih menafsirkan ayat suci walau hanya menyadurnya bahkan meng-copas-nya dari alat pencarian di internet semata.  

Semua hiruk pikuk permasalahan yang ada berpotensi melahirkan segregasi mental yang mengakibatkan perpecahan. Terminologi demokrasi bahkan telah terpenjara hanya dalam persoalan agama, ras, dan isu-isu sempit lainnya. Parameter demokrasi begitu luas dan bukan sekadar mewakili suara mayoritarianisme, tetapi bagaimana demokrasi mampu memberikan ruang publik bagi kepentingan kedaulatan rakyat yang didasari pada prinsip citizenship.

Salah satu potongan kalimat Bung Hatta dalam tulisannya yang berjudul “Arti Kedaulatan Rakyat bagi Pergerakan Sekarang" telah mengingatkan kita: "… Negeri ini hanya dapat maju kalau rakyat turut menimbang mana yang baik dan mana yang buruk bagi dia. Pendeknya, kalau rakyat tahu memerintah sendiri, tahu mempunyai kemauan dan melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh."

Sejak awal, demokrasi telah menempatkan manusia dalam derajat yang sama di mata hukum dan memberikan hak berpartisipasi dalam memajukan negaranya. Jhon Locke sendiri menggambarkan manusia alamiah sebagai tuan yang berkuasa atas dirinya sendiri dan apa yang dimilikinya. Keadaan alamiah ini dalam pandangan Locke kemudian terpinggirkan lantaran lahirnya manusia-manusia yang menyerang dan menyerbu karena banyak manusia yang melanggar persamaan dan keadilan. 

Untuk melindungi diri dari serbuan manusia-manusia lain lahirlah komunitas masyarakat bersama yang saat ini kita sebut sebagai negara yang keberadaannya untuk saling melindungi dan menjaga. Keberadaan negara inilah sejatinya yang harus mampu merawat demokrasi agar selalu tumbuh dan terhindar dari usaha-usaha memecah belah. Singkatnya, demokrasi bukan persoalan mewakili hegemoni mayoritas ataupun tirani minoritas, melainkan demokrasi adalah pemerintahan semua untuk semua.

Lembaran sejarah bahkan menggambarkan bahwa demokrasi adalah tatanan pemerintahan yang baik dengan mengakui setiap indivudi yang terlahir sebagai manusia merdeka dan memilki martabat. Meminjam istilah Cak Nun, demokrasi la roiba fih (tidak ada keraguan). Dalam persoalan keagamaan demokrasi memang menjadi hal yang sensitif. Namun, patut disadari, dalam praktik citizenship (kewarganegaraan) dan dihadapan konstitusi, demokrasi lebih tinggi dari kepada Tuhan itu sendiri. 

Warga negara tidak akan pernah dipenjara karena dia membohongi Tuhannya, tapi warga negara akan dipenjara karena menghina dan menista Pancasila. Dalam bingkai demokrasi, agama adalah hak warga negara. Tuhan adalah konsumsi pribadi warga negara yang berada di ruang privat dan demokrasi adalah kewajiban bersama dengan berpayungkan konstitusi. 

Jika agama berusaha untuk mengatur negara bahkan memaksa warganya untuk beriman kepada agama tertentu, itu tidak hanya melecehkan martabat manusia itu sendiri, melainkan menganggap Tuhan lemah karena tidak mampu membuat manusia patuh kepada-Nya, hingga Tuhan memerlukan bantuan negara.   

Selanjutnya, Demokrasi bukanlah pemerintahan untuk melahirkan efisiensi, tapi untuk menumbuhkan tanggung jawab dan keputusan berupa konsensus yang berasal dari kesepakatan publik. Wajar saja kemudian jika ongkos demokrasi memang tinggi. Dalam kontestasi pilkada, persaingan untuk meraup atensi masyarakat disuplai dengan kebutuhan materi yang tidak sedikit. 

Dengan ongkos yang mahal tidak jarang membuat para pasangan calon berafiliasi dengan para pemodal bahkan hingga memproyeksikan proyek-proyek APBD ke depan. Ketergantungan politik uang inilah yang dapat mendangkalkan praktik demokrasi. Padahal demokrasi sejatinya menyuguhkan transaksi politik yang substantif, yakni transaksi ideologis dan jual beli gagasan dengan argumen sebagai mata uangnya. 

Logika demokrasi acapkali berbenturan dengan logika kekuasaan. Dibutuhkan masyarakat sipil dan komunitas sosial yang kuat dan cerdas untuk menjadi pengawal demokrasi. Masyarakat yang melek demokrasi dan menyadari hak kewarganegaraannya adalah amunisi untuk menghindari kembalinya otoritarianisme negara ataupun anarkisme pasar. 

Masyarakat sipil bukan lagi persoalan kalkulasi statistik untuk menggambarkan jumlah konstituen dalam pemilu. Demokrasi telah memberikan kepercayaan kepada negara untuk menjalankan kekuasaan politik terbatas. Dengan interaksi negara dan masyarakat sipil yang juga terepresentasikan dalam asosiasi-asosiasi kultural, keagamaan, profesional, akademisi tentu dapat mendorong, mengawasi, memberikan gagasan, dan memantapkan demokrasi untuk terus berpihak kepada kepentingan bersama.  

Keberadaan demokrasi selalu mendapatkan gempuran masalah untuk terwujudnya tatanan negara yang sejahtera, adil, dan makmur. Namun, demokrasi selalu memperbarui dirinya sendiri. Berbahan bakar aspirasi rakyat, demokrasi akan terus tumbuh. Setidaknya demokrasi membuka keran dan kesempatan kepada seluruh warga negara tak terkecuali untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. 

Dalam pemilihan umum, kaum minoritas mendapatkan hak yang sama dengan mayoritas lainnya. Penting bagi kita untuk melihat rekam jejak pasangan calon kepala daerah dan partai pengusungya, memerhatikan agenda politik, dan kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat. 

*) Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement