Senin 20 Feb 2017 06:07 WIB

Dilarang Memilih Pemimpin Berdasarkan Agama?

Red: M.Iqbal
 Jutaan Jamaah Aksi Bela Islam III menjelang pelaksanaan Shalat Jumat memadati area Monumen Nasional Jakarta, Jumat (2/12). Shaf jamaah meluber hingga ke jalan-jalan di sekitar area Monas dan hingga ke Jl MH Thamrin, dan kawasan Patung Tani.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Jutaan Jamaah Aksi Bela Islam III menjelang pelaksanaan Shalat Jumat memadati area Monumen Nasional Jakarta, Jumat (2/12). Shaf jamaah meluber hingga ke jalan-jalan di sekitar area Monas dan hingga ke Jl MH Thamrin, dan kawasan Patung Tani.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Danang Aziz Akbarona *)

Tiba-tiba, pejabat yang menyandang status terdakwa penistaan agama itu membuat pernyataan yang membuat heboh lagi. "…Anda melawan konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, kalau memilih orang berdasarkan agama." Itu disampaikan pada forum resmi serah terima jabatan dari pejabat Gubernur DKI Jakarta di Balaikota, sehari sebelum masa tenang Pilkada DKI Jakarta 2017.

Sontak pernyataannya kembali memicu polemik. Saya tertegun mendengar ucapannya itu, lalu mengatakan dalam hati, "Yah dia off side lagi!" Secara mafhum mukholafah (pemahaman terbaik), orang ini sebenarnya sedang (lagi-lagi) mengeksploitasi SARA (khususnya agama) untuk kepentingan politik praktis, sama seperti ketika dia mengatakan “Jangan mau dibohongi pakai surat al-Maidah Ayat 51” yang menghebohkan itu. Karena konteksnya adalah pilkada, pesannya bisa saja ditafsirkan orang: “Jangan pilih berdasarkan agama atau jangan hiraukan kandungan makna Al-Maidah 51 ketika memilih pemimpin.”

Sayangnya, dia gagal paham, ahistoris, dan menyalahi konstitusi sehingga menyesatkan dan potensial membuat gaduh (lagi). Imajinasinya terlalu liar terhadap konstitusi yang sejatinya sama sekali tidak memuat itu. Sehingga tidak salah jika banyak orang mempertanyakan konstitusi negara mana yang dia maksud. Kalau merujuk UUD 1945, pasal berapa yang dilanggar jika memilih pemimpin berdasarkan agama?.

Sesat Pikir Yang Harus Diluruskan 

Banyak tokoh bereaksi dengan pernyataannya itu, sampai sekelas menteri agama republik ini membuat status 'untuk meluruskan sesat pikir itu'—meski tidak secara langsung menjelaskan latar belakang cuitan itu dibuat. Katanya melalui akun @lukmansaifuddin: "Kita bangsa religius yg menjadikan agama sebagai acuan bersikap. Memilih cagub berdasar keyakinan agama sama sekali tak langgar konstitusi."

Anehnya, penasehat hukum terdakwa justru balik menyerang menteri agama atas cuitannya itu. Ia menilai kicauan Menag bisa ditafsir "melakukan suatu bentuk kampanye terhadap paslon tertentu." Bahkan pihak penasehat hukum meminta Presiden menegur menterinya itu. Ini seperti peribahasa: lempar batu sembunyi tangan. Dia melempar isu lalu menuduh orang lain biang kesalahan.

Sama seperti saat ulama dan umat bereaksi dalam kasus “Al-Maidah 51”, justru aksi-aksi yang menuntut penegakan hukum yang adil malah dituduh macam-macam: sebagai pembuat gaduh, penyebar intoleransi, pemecah belah persatuan, antikebinekaan, merongrong kewibawaan Pancasila, dan NKRI. Kasihan ulama dan umat di negeri ini, sudah jatuh tertimpa tangga, sudah jadi korban malah disalahkan. Dalam bahasa sosiologi namanya blamming the victim.

Penulis hanya mengamini pendapat banyak tokoh dan pakar yang menyatakan bahwa pikiran tentang "memilih berdasarkan agama melawan konstitusi" perlu diluruskan karena bukan saja tidak benar, tapi juga mendekonstruksi jati diri kita sebagai bangsa yang religius, sebaliknya terindikasi mengarahkan pada paham sekularisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Tidak ada larangan memilih karena agama dalam UUD NRI Tahun 1945, apalagi disebut berlawanan. Memilih itu hak yang dijamin konstitusi (Pasal 27 dan Pasal 28), apapun alasannya. Yang ada justru konstitusi mendeklarasikan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 Ayat 1). Negara juga tegas memberikan jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat 2). 

Deklarasi konstitusi kita itu sejatinya menegaskan ciri khas Indonesia sebagai negara-bangsa yang religius (religious nation state). Indonesia memang bukan negara agama dalam arti ada satu agama yang menjadi agama negara, tapi Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan urusan negara (public) dan agama (privat). Indonesia jelas bukan negara atheis (tidak beragama) sebagaimana dianut negara komunis. Agama di Indonesia—agama apapun—menempati posisi yang penting bahkan vital dalam kebangsaan kita.

Jaminan terhadap hak beragama, tidak hanya berupa perlindungan atas pilihan keyakinan seseorang, tetapi juga menjamin ekspresi keagamaan yang merupakan bagian dari peribadatan dan ritual keagamaan yang bersumber dari kitab sucinya. Jadi sah jika pemilih memilih berdasarkan agamanya dalam sebuah kontestasi demokrasi. Jika itu dipahami sebagai kewajiban agama ya itu bagian dari ekspresi keberagamaan (religiusitas) yang mendapatkan tempat terhormat di negeri ini.

Makanya, masyarakat kita tidak gaduh atau heboh mendapati realitas bahwa mayoritas (hampir 95-100 persen) pemilih Jakarta yang beragama Nasrani dan beretnis Tionghoa memilih pasangan Ahok-Djarot pada pilkada 15 Februari lalu (berdasarkan data quick count SMRC). Respon kita biasa saja. Betapapun pilihan itu misalnya diarahkan oleh pemuka agama dan etnis tersebut. Justru menjadi bermasalah ketika hal itu dieksploitasi dengan pernyataan bahwa "memilih berdasarkan agama melawan konstitusi", padahal itu jelas tidak benar.

Kalau umat Nasrani atau etnis Tionghoa memilih pemimpin dari kaumnya apa salahnya? Kalau Muslim menginginkan dipimpin oleh Muslim, lalu memilih pemimpin yang seiman, di mana salahnya? Menganjurkan untuk memilih pemimpin yang agamanya sama sudah semestinya tidak menjadi masalah. Berbeda pilihan karena preferensi apapun itu biasa saja di alam demokrasi. Termasuk upaya memperjuangkan kebijakan negara/regulasi yang sesuai dengan syariat agama yang diyakini lebih tepat dan maslahat untuk rakyat sah-sah saja asal ditempuh secara demokratis.   

Anehnya, ketika sebagian besar muslim semakin menemukan kompatibilitas perjuangan Islam melalui demokrasi, orang-orang (yang mengaku) liberal-sekuler justru memaksakan kehendak layaknya kaum diktator, seolah mengatakan: "Islam no, liberalisme/sekularisme yes!" Lah katanya demokratis, kok melarang-larang orang punya aspirasi dan preferensi? Kenapa, takut berkontestasi? 

Rasa-rasanya orang-orang yang berpikiran semacam itu perlu banyak membaca sejarah. Dalam konteks ini, beruntung Profesor Mahfud MD mengingatkan kita tentang Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di BPUPKI. Mungkin saja banyak orang hanya ingat pidato itu berkenaan dengan usulan nama Pancasila yang akhirnya diterima secara aklamasi sebagai nama dasar negara kita (dan beberapa tahun ini diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila). Tapi, banyak orang lupa bahwa dari pidato Bung Karno yang panjang itu ada penggalan menarik tetang bagaimana aspirasi (politik) Islam dan agama-agama lain bisa diperjuangkan dalam negara Indonesia merdeka. Berikut penggalan pidato tersebut sebagaimana adanya.

 “Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapat lihat tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan.

Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. 

Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. 

Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. 

Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibir saja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat.  

Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. 

Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter didalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. 

Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya"

Dus, memilih pemimpin berdasarkan agama sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi. Orang yang mengatakan sebaliknya sejatinya tidak benar-benar paham konstitusi atau punya imajinasi yang terlampau liar tentang konstitusi Indonesia atau sekadar menjustifikasi ambisi politiknya saja. 

*) Pemerhati Masalah Kebangsaan

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement