REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Aang Afandi *)
Bila dicermati, jalan utama Surabaya-Semarang merupakan jalan utama lintas utara Pulau Jawa. Ruas jalan itu bukan saja menghubungkan Surabaya-Semarang, namun juga menghubungkan dari Merak sampai Banyuwangi. Jalur vital di Jawa ini dibangun sejak masa penjajahan Belanda (Dandaels) yang membangun lintas Anyer-Panarukan. Jalur ini dilalui berbagai kendaraan, baik kendaraan kecil, sedang maupun berat.
Salah satu rute kendaraan di lintas utara Pulau Jawa ini adalah menghubungkan antara Surabaya dan Semarang. Dua ibukota provinsi yang sama–sama memiliki tingkat kesibukan dan mobilitas yang tinggi. Jarak kedua kota ini, yaitu 308 km. Jika secara matematis, maka kendaraan dari Surabaya–Semarang atau sebaliknya dengan kecepatan 60 km/jam maka hanya membutuhkan waktu sekitar 5,1 jam.
Persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Perjalanan ini mesti melewati beberapa kota yang notabene akan terhambat perjalanannya karena kawasan perkotaan, pasar tumpah, ataupun kawasan perkantoran. Sehingga realitanya yang terjadi adalah waktu tempuh yang mencapai sekitar tujuh jam bahkan bisa lebih. Kondisi ini secara umum akan dirasakan oleh para penumpang bus, travel, atau kendaraan pribadi yang melaju pada siang hari.
Di sisi lain jika menggunakan moda kereta api, maka waktu tempuhnya adalah 3 jam 23 menit dengan rangkaian KA Argo Bromo Anggrek, atau 4 jam 12 menit untuk KA Maharani atau rata–rata sekitar empat jam untuk rangkaian KA Jayabaya, Gumarang, Harina, dan Sembrani. Sehingga waktu tempuhnya hanya berkisar 60 persen dari waktu tempuh kendaraan di jalan raya.
Yang mempersingkat perjalanan adalah adanya jalur double track yang memungkinkan tidak terjadinya persimpangan dan berpeluang menambah frekuansi perjalanan kereta. Bila dicermati, dari 24 jam tersedia, rangkaian kereta yang melewati ada sembilan rangkaian kereta penumpang dan lima rangkaian kereta barang. Untuk rangkaian KA barang ini masih dengan kapasitas 160 TEU (twenty foot equivalent units) per hari dan dapat ditingkatkan menjadi 15 trip perhari dengan kapasitas 500 TEU.
Kapasitas ini dimungkinkan akan meningkat dua sampai tiga kali lipatnya. Dengan asumsi sembilan rangkaian kereta ini mengangkut 400 penumpang, maka pada moda ini mampu mengangkut 3.600 penumpang. Sedangkan pada moda transportasi bus, bila setiap 15 menit sekali ada bus yang berangkat dari Surabaya dan 30 menit sekali ada bus patas berangkat, maka terdapat 144 bus. Jika ini dapat terkurangi, maka frekuensi bus ini dapat ditekan menjadi 48 perjalanan saja sehingga harus tergantikan oleh KA tersedia yang mampu menampung sebanyak 2.800 penumpang. Dengan kata lain dapat menyediakan dua KA bisnis/eksekutif dan dua KA Ekonomi.
Tantangan berikutnya pada persebaran jam yang tidak merata, di mana rangkaian kereta ini hanya berangkat pada waktu tertentu saja. Hal ini dapat diatasi dengan mengganti dua KA Bisnis dan dua KA ekonomi tersebut menjadi KA komuter modern dengan kapasitas 280 penumpang. Itu artinya dibutuhkan sekitar 10 rangkaian kereta. Yang secara riil kebutuhannya tidak sebanyak itu karena satu rangkaian kereta bisa digunakan beberapa rit untuk tujuan Surabaya–Semarang PP dengan pilihan 10 jadwal di luar sembilan jadwal reguler yang ada maka memungkinkan jadwal ini tersedia setiap jamnya.
Bagaimana halnya dengan harga tiket? tiket KA saat ini sebesar Rp 280 ribu (eksekutif), Rp 70 ribu (bisnis), Rp 50 ribu (Ekonomi PSO), sedangkan untuk tarif bus sebesar Rp 85 ribu, Rp 70 ribu (patas), dan Rp 51.500,- (ekonomi). Secara sederhana, maka penumpang bus patas dapat beralih pada kereta bisnis/komuter AC. Kalau toh KA ini dinaikkan fasilitasnya maka dimungkinkan harga yang terbentuk pada kisaran Rp 70 ribu hingga Rp 100 ribu. Sebuah besaran harga yang dimungkinkan masih pada willingness to pay (kemauan membayar) dari konsumen.
Apa PR utamanya? Jikalau skenarionya adalah pengurangan jumlah bus beroperasi, maka peran pemerintah yang mesti memikirkan hal ini. Intinya tidak merugikan PO, melalui beberapa mekanisme, misal pengalihan rute, perubahan fungsi menjadi bus wisata atau alternatif lainnya. Selama ini yang menjadi ganjalan ketika PT KAI mengoperasikan KA rute baru, biasanya ada bentuk reaktif dari bus umum atau angkutan umum yang ada di jalan raya. Sehingga hal itu yang harus diselesaikan.
Jika skenario tadi dijalankan maka tentunya juga tidak secara tiba–tiba. Mungkin melalui penyediaan kereta api komuter satu rangkaian kapasitas 280 penumpang, yang ini bisa menggantikan 18 bus dalam sehari. Karena kereta tersebut mampu beroperasi tiga rit perhari. Dan peran pemerintah adalah insentif apakah yang mesti dilakukan pemerintah kepada PO dan awak busnya yang tidak lagi mengoperasikan 18 busnya. Termasuk peluang dampak lainnya.
*) Dosen Politeknik Negeri Malang