REPUBLIKA.CO.ID, ANALISIS Oleh : Sunarsip
Tahun 2016 lalu, perekonomian Indonesia masih tumbuh terbatas. Memasuki kuartal pertama 2017, laju pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih terbatas. Salah satu indikasinya terlihat dari laju pertumbuhan kredit yang masih bergerak lambat. Sampai dengan Februari 2017, pertumbuhan kredit mencapai 8,43 persen (year on year, yoy). Pertumbuhan kredit memang meningkat dibanding posisi Januari 2017 sebesar 8,28 persen (yoy) dan Desember 2016 sebesar 7,86 persen (yoy). Namun, pertumbuhan kredit tersebut tidak cukup kuat untuk mendorong lompatan pertumbuhan agar kita mampu keluar dari “jebakan” pertumbuhan ekonomi 5 persen.
Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen karena sejak 2010 daya serap pertumbuhan ekonomi terhadap tenaga kerja semakin menurun. Bila pada 2010-2012, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap tenaga kerja rata-rata sekitar 500 ribu orang, kini angka penyerapan tenaga kerja ini menurun menjadi kurang dari 200 ribu (2013-2016). Salah satu penyebabnya adalah sumber pertumbuhan ekonomi kita saat ini lebih banyak berasal dari sektor jasa (services). Di sisi lain, kebutuhan sektor jasa ini terhadap tenaga kerjanya terbatas.
Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki penyerapan tenaga kerja tinggi, seperti pertanian dan manufaktur pertumbuhannya cenderung lambat sehingga penyerapan tenaga kerjanya relatif kecil. Di sisi lain, masyarakat yang hidup dari kedua sektor ini masih tetap besar. Akibatnya, pengurangan jumlah orang miskin menjadi lebih lambat.
Bila kita melihat data-data kredit perbankan, misalnya, sektor-sektor ekonomi yang memiliki kontribusi tinggi terhadap perekonomian (PDB) justru kinerjanya tidak terlalu mengesankan. Kredit di sektor industri hanya tumbuh 2,08 persen (yoy) pada Februari 2017. Di sisi lain, kredit bermasalah (non-performing loan, NPL) di sektor industri cukup tinggi yaitu 3,64 persen pada Januari 2017. Kredit di sektor pertanian pertumbuhannya juga hanya 10,93 persen (yoy) turun dratis bila dibandingkan posisi Desember 2016 sebesar 12,03 persen (yoy) dan Desember 2015 sebesar 19,82 persen (yoy). Kredit di sektor perdagangan juga bergerak relatif lambat, yaitu hanya tumbuh 7,50 persen (yoy) pada Februari 2017 dengan tingkat NPL yang tinggi sebesar 4,64 persen pada Januari 2017.
Perbankan biasanya bersikap sebagai pengikut pasar (follow the market). Perbankan baru masuk bila di sektor tersebut tumbuh atau setidaknya terdapat insentif sektor tersebut dapat tumbuh. Dengan kata lain, lambatnya pertumbuhan kredit perbankan dan tingginya kredit bermasalah di sektor-sektor tersebut mengindikasikan bahwa secara umum perekonomian kita masih lesu. Tentu ini menjadi pertanyaan, dimana letak kekurangannya sehingga perekonomian kita tidak bisa tumbuh tinggi?
Betul bahwa perekonomian global saat ini masih lesu. Namun, tidak semua negara lantas tidak mampu tumbuh tinggi. Sebagai contoh, India konsisten mampu tumbuh tinggi di atas 7 persen. Tahun lalu, perekonomian India tumbuh lebih rendah dibanding sebelumnya. Namun, penurunan ini bukan disebabkan oleh krisis global, tetapi akibat kebijakan “kejutan” (shock therapy) yang diterapkan pemerintah India. Sebagai informasi, pada 2016 lalu, pemerintah India mengeluarkan kebijakan untuk menarik pecahan uang rupee berdominasi tinggi dari peredaran. Tujuannya, untuk memerangi korupsi di India.
Kebijakan tersebut memang berdampak pada perekonomian India yang melambat, karena sebagian besar transaksi di India masih menggunakan tunai. Namun, kebijakan ini bertujuan untuk menyehatkan perekonomian India dari korupsi. Ini mengingat, sekitar 20 sampai 40 persen dari perekonomian India diperkirakan berada dalam ekonomi hitam (korupsi) yang memakan sistem ekonomi India dan itu terjadi pada transaksi-transaksi besar yang dilakukan secara tunai. Meskipun pertumbuhan ekonomi India melemah pada 2016 lalu, pada tahun 2017 ini diperkirakan kembali tumbuh cukup tinggi, yaitu sekitar 7,2 persen.
Keberhasilan India dalam membangun perekonomiannya berada dalam jalur pertumbuhan ekonomi tinggi tidak lepas dari keberhasilannya dalam melakukan reformasi struktural dengan fokus kepada pertumbuhan ekonomi, investasi dan aliran modal. Pemerintah India menciptakan kemudahan berusaha agar banyak investasi tertanam, terutama yang bersifat padat karya. Sehingga bisa mendorong lebih banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Struktur ekonomi India lebih banyak didominasi oleh sektor jasa, sekitar 45 persen dari PDB pada tahun 2016 sedangkan kontribusi sektor pertanian tinggal 17 persen dan sektor industri 30 persen.
Meskipun sektor jasa mendominasi, tetapi kontribusi terhadap ketenagakerjaan masih didominasi oleh sektor pertanian yaitu sekitar 53 persen (2013). Meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun di sisi lain menjadi tumpuan tenaga kerja dalam jumlah yang besar, tingkat pengangguran di India relatif rendah yaitu sekitar 5,0 persen. India memang memiliki defisit anggaran (fiscal deficit) yang cukup yaitu sebesar 3,5 persen terhadap PDB. Namun, India memiliki peringkat surat utang (sovereign rating) yang baik. Peringkat utang India sudah masuk layak investasi (investment grade) dari Standard & Poor’s (S&P) sejak 2014.
Pemerintah Indonesia sebenarnya melakukan kebijakan yang serupa dengan India. Kebijakan fiskal kita telah mengarah pada alokasi ke sektor produktif yang lebih tinggi, melalui peningkatan alokasi anggaran ke sektor infrastruktur. Pemerintah juga sedang mengejar hilirisasi industri berbasis sumber daya untuk meningkatkan nilai tambah. Pemerintah juga memiliki perhatian besar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi di kawasan timur Indonesia dalam rangka mengurangi ketimpangan spasial. Dengan kata lain, berbagai kebijakan pemerintah sebenarnya berada dalam jalur yang tepat (on track). Yang menjadi pertanyaan, mengapa hasilnya “kurang menggigit”? Tentunya, ini perlu ditelusuri faktor penyebabnya.
Saya memperkirakan bahwa penyebab “kurang menggigitnya” hasil yang diperoleh dari serangkaian kebijakan pemerintah salah satunya berasal dari kurang tepatnya sasaran kebijakan pemerintah. Pertama, alokasi anggaran modal pemerintah memang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Namun, selain porsi belanja modal yang diperbesar, alokasinya juga perlu lebih diarahkan untuk mendorong produktivitas sektor-sektor ekonomi yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi, seperti sektor pertanian (dalam arti luas) dan industri.
Kedua, tingginya tingkat kesenjangan ekonomi juga menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi. Sebagai informasi, Indonesia telah sejak 1993 telah beralih dari kelompok low income menjadi lower middle income. Namun, akibat krisis ekonomi 1997/98, Indonesia kembali menjadi low income countries. Dan kita tahu bahwa krisis 1997/98 antara lain juga dipicu oleh faktor kesenjangan ekonomi. Bila ketimpangan struktur ekonomi tidak mengalami perbaikan, laju pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang Indonesia diperkirakan hanya sekitar 6 persen.
Dalam kaitan ini, reformasi struktural, khususnya yang berupaya untuk meningkatkan produktivitas perekonomian dan pemerataan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan afirmatif (affirmative policy), menjadi sangat penting agar ekonomi kita lebih tertenaga dan membawa ke tingkat yang lebih tinggi sehingga dapat lebih banyak menyerap tenaga kerja.