REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Ilfan Zulfani *)
Saya percaya, setiap kejadian tidak sesederhana apa yang tampil di media. Tidak sesimpel apa yang diceritakan saat konferensi pers. Saya perlu menemukan riset lebih jauh. Tapi, izinkan saya melukiskan apa yang kiranya ada di dalam hati tanpa meninggalkan obyektivitas, tentang seorang ustaz bernama Felix Siauw dan musibah yang menimpanya di Kota Malang beberapa hari yang lalu.
Ustaz Felix Siauw ini mualaf, jiwanya masih muda, semangatnya berapi-api. Menjadi Muslim ketika ia bertemu dengan seorang aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, saat itu, ia berstatus sebagai mahasiswa IPB. Latar belakang hidayahnya yang ia dapat di dunia kuliah pun membentuk karakter dakwahnya yang enak dinikmati oleh kalangan muda. Peminat buku dan kajian Felix adalah mayoritas ikhwan-akhwat aktivis lembaga dakwah kampus.
Felix bukan kiai yang berkutat di dunia pesantren, melihat ketaatan santri dan sehari-hari mengajarkan kitab kuning. Ia bukan juga kiai yang sering diminta petuahnya mengenai negara dengan keberagamannya oleh pemerintah, apalagi bisa boro-boro memengaruhi bahkan mengendalikan kekuasaan untuk melaksanakan proyek khilafahnya
.
Felix ditakdirkan berdakwah di dunia anak muda yang dekat dengan hedonisme, materialisme, dan sekulerisme. Ia jelas tidak bertemu dengan anak-anak muda yang sudah rajin mengaji dan terhindar dari bahaya-bahaya isme-isme tersebut. Inilah yang kemudian memaksa Ia seringkali berdakwah tentang degradasi moral, menjelaskan betapa bahayanya pacaran maupun perzinahan.
Ia juga pernah menjadi sangat kontroversial (lebih tepatnya sengaja dibuat kontroversial) ketika ia membahas masalah selfie dan terkait bahayanya soal membanggakan diri. Di lain hal, Ustaz Felix juga pernah mengarang buku "Yuk Berhijab!" berisi tentang bagaimana cara berhijab yang benar menurut apa yang dipahami Felix.
Dia memang out of the box, blak-blakan, saat ustaz-ustaz lain jarang bicara tentang bahaya pacaran, ia berani. Sekali lagi, ini ialah buah dari lingkungan dimana Felix ditadirkan untuk berdakwah. Saking melihat betapa bahayanya sekulerisme, ustaz Felix pun menganggap khilafah adalah solusi. Bagaimanapun saya tidak setuju, tetapi saya juga tidak menyalahkan sepenuhnya.
Saya melihat itu adalah sebagai sebuah semangat yang terlalu membara. Sama ketika saya melihat sekelompok pejuang dakwah yang getol sekali memperjuangkan pemurnian ajaran Islam, saya pun menentang. Bagi saya mereka tidak melihat relevansi zaman dan relevansi dalil, tapi saya pun tidak menyalahkan sepenuhnya.
Pun sekelompok pejuang dakwah lain yang semangat sekali memperjuangkan ke-NKRI-an dan pancasila. Saking bergairahnya, mereka tidak melihat mafia-mafia yang seringkali bertameng Pancasila dan bertameng kebinekaan-lah yang justru lebih berbahaya karena diam-diam merenggut sumber daya negara.
Bagi saya, itu cuma masalah dosis yang berlebihan, tapi (semoga Allah membenarkan baik sangka saya) bahwa mereka itu memilki niat yang tulus. Selagi kita mempunyai niat yang tulus dan lurus pula, juga tetap berupaya untuk belajar mencari jalan yang benar, insya Allah kita akan diposisikan oleh Yang Maha Memosisikan pada jalan perjuangan yang tepat.
Terkait pembubaran ceramah ustaz Felix di Malang, saya pun bertanya: apa pasal mesti dibubarkan? Saat itu, ustaz Felix berceramah bukan tentang khilafah, tetapi bertajuk tentang "Cinta Mulia". Pun jika tentang khilafah, apakah itu salah? Apakah itu bisa disebut tindakan makar? Diskusi apapun, kita tidak bisa melarang. Kecuali, ia sudah mengarah ke bentuk tindakan-tindakan praktis yang sudah melanggar hukum atau ideologi tersebut sudah jelas dilarang seperti ideologi marxime.
HTI dan konsep khilafahnya, selalu begitu-begitu saja dan tidak perlu dikhawatirkan. NKRI dan Pancasila masih begitu kuat dipahami dan dipraktikan di negara ini. Selagi aparat benar-benar adil dan konsisten dalam menjalankan hukum termasuk menjaga dasar negara, hal-hak yang demikian tidak perlu dicemaskan.
Kata Voltaire, "Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakan itu." Semua bebas berpendapat.
Jika tak setuju dengan pendapat orang, caranya bukan dengan melarang apalagi membubarkan. Lawanlah gagasan dengan gagasan, lawanlah buku dengan buku. Kita tidak bisa mengekang hak orang berpikir, karena akal seperti burung yang terbang kesana kemari, bebas. Memenjarakan burung seperti berupaya menghilangkan hak alamiahnya untuk terbang.
Saya pernah begitu kesal ketika dalam suatu lembaga, saya dan teman-teman saya dilarang untuk mengundang seorang pemikir yang belakangan cukup kontroversial pendapatnya, yakni pendapat beliau bahwa penistaan agama yang digemborkan-gemborkan itu tidaklah terjadi. Padahal, saat itu kami mengundang beliau untuk berbicara hal yang lain, yang jauh sekali dengan pendapat beliau soal penistaan agama. Apa daya, atasan di lembaga tetap melarang karena pendapat beliau tentang kasus penistaan agama itu tidak sesuai visi dan misi lembaga. Diskusi itu pun gagal dilaksanakan.
Hal ini lah yang mirip terjadi dengan insiden pembubaran ceramah ustadz Felix di Malang. Saat itu, Ia tidak ceramah tentang khilafah tetapi tentang degradasi moral yang sudah banyak mencelakakan anak muda. Jika, alasan sekelompok ormas yang menekan polisi ini adalah bahwa ustaz Felix berasal dari HTI dan ia akan membawa seruan mendirikan khilafah, maka astaghfirullah.
Ketidaksetujuan kita terhadap satu pemikiran seseorang tidak lantas membuat kita tidak setuju terhadap semua pemikirannya. Anda boleh dan saya boleh tidak setuju soal gagasan khilafah-nya ustaz Felix, tetapi barangkali soal degradasi moral anak muda itu kita semua sepakat dan kita patut mendukung ustadz Felix.
Terakhir teman-teman semua, tentu kita tidak bisa kan memaksa setiap pendapat orang untuk sama dengan apa yang kita pikirkan?
*) Staf Forum Studi Islam FISIP UI