Jumat 30 Jun 2017 00:30 WIB

Mudik

Suwendi, pengamat pendidikan Islam
Foto: ist
Suwendi, pengamat pendidikan Islam

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Suwendi *)

Salah satu tradisi-kultural Indonesia di akhir Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri adalah mudik. Biasanya, mudik ini, bepergian dari rumah tinggal menuju kampung halaman tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan ketika waktu kecil atau. Ini yang diutamakan, menuju di mana posisi orang tua atau komunitas keluarga besarnya berada. Hampir dipastikan, hanyalah di Indonesia tradisi-kultural ini terjadi. Tentu, bagi sebagian orang yang “kurang peka” atas kekayaaan kultural keindonesiaan, mudik dinggapnya sebagai sesuatu yang kurang berarti.

Tradisi mudik dipandang dari aspek keagamaan, sosial, dan ekonomi sesungguhnya memiliki makna yang sangat strategis. Pada aspek keagamaan, tradisi mudik dipahami sebagai wujud dari semangat silaturahim dan menjalin hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, utamanya antara anak yang sudah mandiri dengan orang tua.

Bahkan, pada sebagian keluarga, tradisi mudik juga dilakukan untuk anjang sana antara satu keluarga dengan keluarga yang lain dalam satu komunitas keluarga besar. Sehingga, jalinan kekeluargaan terus terbina dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam konteks Islam, menjalin silaturahim dan kekerabatan ini, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pundi-pundi ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menyatakan bahwa “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menyambung keluarga (silaturahmi).” (HR. Bukhari).

Hadits di atas menegaskan bahwa silaturahin merupakan salah satu implementasi dari keimanan seseorang. Jika keimanan merupakan sesuatu yang bersifat dalam hati, maka pembuktiannya adalah bersilaturahim antar sesama secara sosial.

Bahkan, pada hadits lain, menjalin silaturahim tidak hanya terbatas dengan keluarga, dengan sahabat baik dari orang tua di luar dari hubungan keluarga pun sangat dianjurkan.”Sesungguhnya kebajikan yang utama ialah apabila seorang anak melanjutkan hubungan (silaturrahim) dengan keluarga sahabat baik ayahnya”.(HR. Muslim). Sebagian Muslim meyakini bahwa silaturahim tidak hanya memiliki dampak secara teologis semata, tetapi juga memiliki dampak psikologis dan ekonomi.

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menyatakan “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan.” Secara psikologis, orang yang suka bersilaturahim memiliki mental yang lebih terbuka, dewasa, dan beban-beban hidupnya terasa berkurang.

Melalui silaturahim, kita akan mendapatkan banyak informasi, sharing pengalaman dan pengetahuan dalam mengurai beban hidup serta tidak berwawasan sempit sehingga pada gilirannya kondisi mentalnya lebih sehat. Tentu, orang yang mentalnya sehat memiliki potensi usianya lebih panjang dibanding dengan orang yang bermental kurang baik.

Demikian juga, secara ekonomis, silaturahim berpotensi dapat menambah rizki. Dengan menjalin hubungan baik antar sesama, potensi-potensi ekonomi akan sangat terbuka diraih. Memasarkan sebuah produk akan mengalami kendala serius jika kita tidak memiliki relasi dan hubungan baik dengan orang tua.

Oleh karenanya, silaturahim benar-benar memiliki dampak yang sangat luas. Dalam konteks inilah, kita semakin memahami atas pernyataan Nabi Muhammad SAW, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (HR. Muslim)

Mudik sebagai tradisi kultural khas Indonesia, secara sosial, memiliki makna yang strategis, termasuk dalam konteks mobilisasi pembangunan di daerah. Mudik menanamkan cinta atas tanah kelahirannya di daerah. Kecintaan itu menghantarkan seseorang pada keinginan untuk bekiprah dan berkontribusi atas pembangunan yang dilakukan di tanah kelahirannya.

Jaringan dan peluang yang dimiliki tempat urbannya, tergerak untuk diarahkan demi pembangunan di tanah kelahirannya, sehingga ini akan berpengaruh positif atas mobilisasi pembangunan di daerah. Melalui mudik, kita akan mengetahui dan menilai seberapa besar tingkat fluktuasi pembangunan yang terjadi. Bahkan, mudik juga akan mampu mengetahui pergerakan budaya dan tradisi fenomena kultural yang terjadi dari satu waktu ke waktu berikutnya.

Tradisi mudik juga sangat positif pada aspek pemerataan ekonomi. Dengan mudik, berapa banyak rupiah yang digerakkan untuk pemerataan aspek pembangunan sektor ril di masyarakat, terutama untuk komunitas masyarakat daerah. Tidak hanya aspek transportasi, tetapi juga untuk sektor produksi dan daya kreativitas masyarakat daerah.

Berapa banyak rupiah yang dibawa oleh para pemudik dari kota menuju desa yang kemudian di-tasharuf-kan untuk keluarganya di desa, baik untuk sekedar oleh-oleh maupun untuk berbagi. Tentu, pergerakan ekonomi dari kota menuju desa sangat potensial untuk merangsang pembangunan di daerah. Atas dasar ini, mudik memiliki peran yang sangat penting.

Mudik merupakan kekayaan Indonesia. Mudik mengajarkan kita untuk terus mengkonsolidasi kebersamaan dan persatuan sebagaimana tercermin dari ajaran silaturahim dalam agama Islam. Mudik juga mengajarkan kita untuk selalu ingat akan tanah kelahiran, terutama untuk berkontribusi terhadap pembangunan di daerah.

Demikian juga, mudik memiliki makna untuk melakukan pemerataan ekonomi sehingga tidak hanya terpusat pada daerah tertentu saja. Intinya, mudik menggabungkan antara kekayaan kultural keindonesiaan dengan memanifestasikan ajaran keagamaan, demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat banyak. Selamat untuk Indonesia yang memiliki kekayaan tradisi dan kultur yang sangat produktif.

*) Alumni Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.

(QS. An-Nisa' ayat 136)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement