Jumat 27 Oct 2017 04:15 WIB
Refleksi Sumpah Pemuda

Antara Aku, Kamu, dan Kita

Salamun
Foto: dok. Pribadi
Salamun

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Salamun*)

Sebagian banyak elemen anak Bangsa ini, baik secara individual maupun komunal, masih relatif dijangkiti pola pikir (mindset) antara aku dan kamu. Pemikiran aku dan kamu membentuk semangat egoisme (ke-aku-an dan ke-kami-an) yang tinggi, sehingga jika bukan aku atau bagian dari aku, maka dianggap orang lain.

Dalam banyak konteks kehidupan sosial apakah dalam masyarakat organisasi atau dalam kehidupan sehari-hari misalnya menyisakan berbagai catatan penting untuk menjadi bahan renungan kita sebagai sebuah negara bangsa yang majemuk.

Entah mengapa, saat ini, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita seperti sangat terkotak-kotak. Perbedaan suku dan lingkungan tempat tinggal bahkan lembaga pendidikan sekalipun  sering menjadi sekat-sekat kehidupan bermasyarakat yang kemudian memicu terjadinya konflik (tawuran) yang dalam banyak kasus menimbulkan korban (meninggal).

Konsolidasi organisasi massa dan terutama parpol sebagai bagian dari sendi-sendi kehidupan berdemokrasi suatu bangsa juga sering terhambat dengan politik saling meniadakan antara faksi yang satu terhadap lainnya. Sehingga, ciri khas dari kehidupan demokrasi ialah keberagaman pemikiran dan sikap dengan berbagai dinamikanya menjadi terbunuh.

Penegakan hukum juga belum sepenuhnya berjalan dengan baik yang menjamin rasa keadilan dengan diposisikannya seluruh warga negara setara dihadapan hukum (equality before the law). Penegakan hukum masih sarat dengan muatan politik kepentingan dan sarat dengan nuansa pesanan (by order) sehingga terkesan pilih tebang.

Begitulah cara berpikir aku dan kamu, jika aku yang berkuasa maka terserah aku sedangkan kamu silakan menikmati konsekuensinya sebagai yang tidak berkuasa. Karenanya, bersiaplah untuk dikriminalisasi, diintimidasi, dan bahkan disingkirkan baik secara politik maupun yang lebih ekstrim sekalipun.

Untuk menjadi sebuah bangsa yang besar tentu kita harus mengubah mindset kita dari aku dan kamu menjadi kita. Bahwa Indonesia ialah terdiri dari eksistensi ke-aku-an baik dalam konteks suku bangsa, agama, pandangan politik dan sebagainya. Indonesia merupakan negara bangsa paling plural dimuka bumi dengan 740 suku dan lebih dari 596 bahasa daerah yang tersebar di hampir semua pulau yang berjumlah tidak kurang dari 17.548.

Dengan keberagaman yang teramat sangat banyak dan sumber daya alam yang melimpah sesungguhnya merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa, tentu menjadi potensi tersendiri bagi bangsa Indonesia yang akan menjadi kekuatan baru di dunia jika kita bisa mengelolanya dengan baik.

Meneguhkan semangat ke-kita-an

Untuk menjadi bangsa yang besar dan kuat tentu harus dibangun dan dikedepankansemangat  ke-kita-an sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurcholis Madjid (1995) bahwa masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada satu sama lainnya bukan saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup demokratis, tapi juga dapat menjurus kepada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai asasi demokrasi.

Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarianisme), dan tingkah laku penuh percaya kepada itikad baik orang dan kelompok lain mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan yang positif dan optimis.

Kecurigaan dan terlebih lagi kebencian yang berlebihan terhadap satu elemen anak bangsa ini hanya akan melukai kebhinekaan kita. Propaganda yang berlebihan bahwa ada kelompok (Islam misalnya) yang bersikap intoleran sejatinya merupakan pandangan yang keliru dan berlebihan.

Bagi umat Islam, keberagaman suku bangsa dan agama merupakan sunnatullah dan bersikap untuk saling membangun interaksi yang baik. Itu adalah merupakan perintah suci dari Tuhan Yang Maha Esa sekaligus dicontohkan oleh Rasul Yang Agung Nabi Muhammad SAW dalam membangun negara demokratis berketuhanan dengan Piagam Madinahnya.

Prof Jimly Ash-Shiddiqie dalam banyak kesempatan menyebutnya sebagai konstitusi tertulis pertama dimuka bumi yang menjamin keberlangsungan keberagaman etnis dan bahkan kepercayaan sekalipun. Dimana antara satu dengan yang lain berkomitmen untuk saling melindungi dari ancaman pihak asing.

Oleh sebab itu, maka ketika kemudian ada seruan aksi serentak dalam rangka memperingati 28 Oktober yang mengusung tema “4,5 Juta Mahasiswa Bergerak Melawan Radikalisme dan Intoleransi” yang sejauh ini banyak dialamatkan kepada Islam menjadi kurang relevan dan tentu salah alamat. Ada banyak hal yang lebih mendasar dan tidak kalah penting dari issue tersebut. Misalnya, soal makin terkotak-kotaknya elemen anak bangsa ini, diskriminasi penegakan hukum, beban hidup rakyat yang makin sulit, ancaman neo-kolonialisme, dan liberalisme serta ancaman menjadi tamu dirumah sendiri dan semacamnya.

Jika pendahulu kita menegaskan Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku bertumpah darah yang satu Tanah Indonesia, Berbangsa yang satu Bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia, maka hendaknya kita juga belajar meneguhkan semangat mereka dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam konteks kekinian dan selamanya.

Jika pendahulu kita dari Jong Java, Jong Soematra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Batak Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaum Betawi dan Perhimpoenan Peladjar Indonesia menyebut diri mereka dengan KAMI karena ada penjajah (kolonial) sebagai KAMU-nya, maka mengapakah hari ini justru kebanyakan anak bangsa ini begitu longgar terhadap para neo-kolonialis dan antek-anteknya. Namun, menempatkan saudara-saudara kita yang ada di gang-gang sebelah, kampung sebelah, kampus bahkan fakultas sebelah, sekolah sebelah, dan saudara kita yang berbeda ormas, parpol, faksi, suku bangsa serta agama sebagai KAMU dan kadang kala kita begitu galak dan beringas kepada sesama??

Satu hal yang sangat mendasar untuk menjaga keberagaman (kebinekaan) kita ialah tidak boleh satupun elemen anak bangsa ini baik secara individual maupun komunal melontarkan ujaran –apalagi bersikap—yang bermuatan kebencian dengan berbagai latar belakang dan argumentasi apapun. Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. Email: [email protected]

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement