REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mulya E Siregar, Komisaris Utama Bank Syariah Mandiri, Konsultan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan, OJK, periode 2014-2017.
Pada akhir Juli lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51 /POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Dalam POJK tersebut, definisi keuangan berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan (SJK) untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Selanjutnya, Pasal 2 dari POJK tersebut mengatur lembaga jasa keuangan (LJK), emiten, dan perusahaan publik wajib menerapkan keuangan berkelanjutan dalam kegiatan usahanya.
Untuk itu, OJK harus memiliki peran untuk mengawasi dan mengatur proses dan aktivitas bisnis dari seluruh pelaku SJK yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial, serta peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Dengan ketentuan ini, OJK memiliki instrumen peraturan mengikat untuk memberikan perlindungan pada konsumen dengan mengawasi SJK untuk tidak menghasilkan produk-produk yang mendatangkan kerugian ekonomi, kesenjangan sosial,dan kerusakan lingkungan hidup.
Merujuk laporan UNEP Finance Initiative (2014) tentang pengembangan regulasi keuangan berkelanjutan di dunia, Indonesia adalah negara pertama yang memiliki peta jalan keuangan berkelanjutan bagi seluruh SJK termasuk sektor pasar modal, perbankan, dan nonperbankan.
Tindak lanjut peta jalan ini adalah POJK Nomor 51 /POJK.03/2017 yang merupakan peraturan mengikat bagi seluruh SJK. Sementara itu, negara-negara lain, seperti Jepang sebagai representasi negara maju, belum memiliki peraturan mengikat.
Walaupun begitu, mereka telah mengeluarkan petunjuk teknis sukarela tentang pengelolaan risiko lingkungan dan sosial untuk lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi di negaranya. Begitu pula, negara-negara Uni Eropa.
Belum ada negara Uni Eropa yang memiliki peraturan mengikat tentang keuangan berkelanjutan. Sedangkan untuk negara sedang berkembang, Cina yang dianggap progresif untuk isu lingkungan, memiliki peraturan mengikat yang hanya fokus untuk kredit hijau.
Sementara Bangladesh, baru mengeluarkan petunjuk teknis mengenai pengelolaan risiko sosial dan lingkungan. Prestasi tersebut dapat meningkatkan posisi tawar Pemerintah Indonesia guna meningkatkan kredibilitas dan komitmen politik Indonesia di panggung internasional.
Terutama yang terkait dengan pelaksanaan dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030.
Syaratnya adalah POJK Keuangan Berkelanjutan harus ditempatkan di dalam konteks, pelaku SJK melalui operasi dan proses bisnisnya dapat memobilisasi sumber dana dan pembiayaan sektor swasta untuk mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan agenda SDGs, yang mengacu pada triple bottom line (profit, people, and planet// atau 3Ps).
Hal ini relevan karena implementasi keuangan berkelanjutan di Indonesia bukan hanya menonjolkan aspek lingkungan, melainkan juga aspek ekonomi dan sosial.
Selanjutnya, prinsip pengelolaan risiko sosial dan lingkungan dan prinsip inklusif adalah bagian dari prinsip keuangan berkelanjutan yang ditetapkan di dalam POJK ini.
Implikasinya, implementasi POJK ini akan mendukung paling tidak sembilan dari 17 tujuan SDGs, yaitu tujuan ke 1, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, dan 15.
Dalam implementasi POJK Keuangan Berkelanjutan, OJK harus secara efektif mendorong pelaku SJK dalam menciptakan, mengembangkan inovasi produk hijau, serta mendukung pembiayaan aktivitas produksi yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan peningkatan kualitas lingkungan.
Ketika sumber pembiayaan dari sektor publik tidak cukup membiayai seluruh upaya negara dalam pencapaian tujuan SDGs, pilihan yang sangat potensial adalah mobilisasi dana swasta.