REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferly Norman *)
Kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah terbukti berjasa besar untuk perekonomian Indonesia, selama kurun sepuluh tahun terakhir. Sektor ini berhasil meraup lebih dari 100 miliar dolar AS devisa dan menyerap jutaan tenaga kerja. Dengan kinerja fantastis ini, sudah sepatutnya pemerintah memacu TPT lebih kencang lagi dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi berkualitas, terutama daya serap perkonomian terhadap penciptaan lapangan kerja.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, pada 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10 ribu orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017 dari Agustus 2016 sebesar 7,03 juta orang. Dilihat dari tingkat pengangguran terbuka pada Agustus ini turun 0,11 poin dari 5,61 di Agustus 2016 menjadi 5,50 di periode yang sama tahun 2017.
Menurut Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, “Jumlah angkatan kerja yang masuk mencapai 3 juta orang per tahun, jadi komposisi pekerja dan penganggurannya akan terus naik seiring jumlah penduduk,” ujarnya.
Jika kita menilik profil pendidikan yang ditamatkan penduduk usia 15 tahun keatas, data BPS tahun 2017 menunjukan ada total 42,16 persen penduduk yang paling tinggi menamatkan SD, seterusnya 21,84 persen penduduk menamatkan SMP. Dari data literasi penduduk, sampai sekarang masih ada 9,25 persen penduduk buta huruf di rentang usia produktif 10 - 44 tahun.
Dengan fakta yang mengenaskan diatas, suka tidak suka pemerintah harus mencari profil industri yang tepat untuk mengurangi jumlah pengangguran dengan karakteristik; a. Bisa menyerap tenaga kerja secara masif. b. Sesuai kondisi struktur mayoritas penduduk yang berpendidikan rendah dan buta huruf.
Menurut penulis, industri yang bisa menjawab tantangan diatas salah satunya adalah TPT. TPT memiliki potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembang pada masa depan. Modal terbesar TPT saat ini adalah industri ini sifatnya padat karya, menggunakan teknologi sedang ke rendah, telah terintegrasi, berorientasi ekspor dan melibatkan usaha mikro hingga besar.
Jangan anggap TPT adalah industri sunset dan hanya cocok untuk negara dengan upah buruh murah. Terbukti, industri TPT di Uni Eropa masih eksis dan nomor dua terbesar di dunia di bawah Cina. Tahun 2016, total nilai ekpor TPT negara-negara Uni Eropa adalah 182 miliar dolar AS (WTO, Trade Statistical Review 2017). Negara AS pun tidak kalah saing, pada tahun yang sama total ekpor TPT mereka USD 23 miliar (Otexa, 2017).
Dari olahan data Kemenperin tahun 2016, kontribusi TPT terhadap PDB nasional cukup signifikan yaitu sebesar 1,16 persen. Nilai ekspor mencapai USD 11,87 miliar, menduduki peringkat 4 (8,22 persen) dari total ekspor migas dan non-migas Indonesia (144,49 miliar dolar AS), dan meraih 1,57 persen pangsa pasar TPT dunia.
Capaian ini menempatkan TPT masuk dalam kelompok elit industri nasional yang membukukan nilai ekspor 10 miliar dolar AS ke atas. Hanya ada lima industri dalam kelompok elit ini yaitu; minyak sawit (18,1 miliar dolar AS), pertambangan (18,1 miliar dolar AS), migas (13,1 miliar dolar AS), TPT dan terakhir bahan kimia dan barang dari bahan kimia (10,2 miliar dolar AS).
Istimewanya TPT sudah berada dan bertahan di kelompok elit ini sejak tahun 2007, saat itu nilai ekspor menembus angka 10,06 miliar dolar AS. Ini menunjukan nilai ekspor TPT relatif stabil dalam situasi naik-turunnya perekonomian global, dibandingkan dengan komoditi berbasiskan sumber daya alam seperti minyak sawit, pertambangan dan migas. Dengan nilai impor yang jauh dari ekspor, surplus perdangan TPT menduduki peringkat 3 sebesar 4,73 miliar dolar AS, di bawah minyak nabati dan pertambangan.
Kesimpulannya dari segi nilai perdagangan kinerja TPT sangat impresif. Ditandai dengan nilai ekspor yang stabil walaupun cendrung stagnan selama satu dekade terakhir, selain itu ikut menyumbangkan surplus yang besar bagi neraca perdagangan kita.
Dari sisi jumlah tenaga kerja, data BPS tahun 2015 industri TPT menyerap 2,37 juta orang, setara dengan 17 persen total tenaga kerja di seluruh industri pengolahan. Istimewanya, menurut Kepala BKPM, Thomas Lembong, TPT delapan kali lebih efektif menyerap tenaga kerja dibandingkan rata-rata sektor investasi lainnya, yaitu 17.900 tenaga kerja langsung per Rp 1 triliun realisasi investasi (10/1/2017).
Angka-angka diatas hanya mencerminkan industri inti TPT, belum lagi jika kita menghitung industri penopang TPT antara lain; zat kimia tekstil, mesin tekstil dan garmen, asesoris garmen, hingga distribusi dan perdagangan. Ditambah lagi dengan efek ganda ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik TPT seperti usaha makanan minuman, transportasi hingga indekos.
Potensi TPT sebenarnya sudah diidentifikasi pemerintah dan masuk dalam rencana jangka panjang untuk dikembangkan. Dengan PP No 14 Tahun 2015, TPT ditetapkan sebagai industri prioritas dalam Rencana Induk Pembanguan Industri Nasional 2015-2035 (RIPIN). Bersama 10 industri lain, TPT ditempatkan di piramida teratas bangun industri nasional, menjadi mesin utama manufaktur di masa depan.
Selain itu dalam dokumen RPJMN 2015-2019, dalam rangka menciptakan pekerjaan yang berkualitas (decent job), investasi padat pekerja menjadi salah satu strategi untuk memperluas kesempatan kerja di sektor industri. Untuk wilayah Pulau Jawa, Pemerintahan Joko Widodo menetapkan TPT sebagai salah satu industri prioritas.
Dalam pelaksanaannya, perhatian Pemerintah kepada industri TPT belum optimal sampai sekarang. Beberapa kebijakan pemerintah terkesan tidak menempatkan TPT sebagai industri andalan, termasuk Kementerian teknis menangani TPT yaitu Kementerian Perindustrian.
Inkonsistensi perhatian pemerintah pada TPT terlihat pada serial cuitan Menperin Airlangga Hartarto di Twitter pada awal tahun 2018 ini. Pada cuitan 2 Januari, disematkan sebuah infografis dengan judul “Sektor Manufaktur Andalan Tahun 2018”, disebutkan pada tahun ini Kemenperin akan fokus pada subsektor yang diproyeksikan yang mempunyai pertumbuhan diatas pertumbuhan nasional yaitu industri baja dan otomotif, elektronika, kimia, farmasi, serta makanan dan minuman. Keenam subsektor tersebut diharapkan mampu mencapai target pertumbuhan industri tahun 2018 yang ditetapkan sebesar 5,67 persen. TPT tidak masuk dalam fokus Kemenperin sebab diproyeksikan hanya tumbuh sekitar 2-3 persen pada tahun ini.
Pada cuitan 4 Januari, infografis dengan judul “Sektor Penyerap Tenaga Kerja Terbanyak 2017”, TPT masuk dalam 4 besar subsektor industri yang menyerap tenaga kerja sebanyak 2,73 juta orang atau sekitar 16 persen dari seluruh jumlah tenaga kerja di sektor Industri pada tahun 2017 (sekitar 17 juta orang). Airlangga menjelaskan pencapaian ini mendorong pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang cukup signifikan.
Dari dua cuitan Airlangga diatas, tampak jelas inkonsistensi cara pandang pemerintah kepada TPT. Di satu sisi TPT diakui sebagai penyerap tenaga kerja dan berjasa mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan nasional tetapi disisi lain tidak masuk dalam fokus Kemenperin pada 2018 hanya karena diproyeksikan tumbuh rendah dibawah pertumbuhan nasional.
Padahal mengutip berita daring yang ditautankan Airlangga pada cuitannya 2 Januari itu, ia meyakini sektor manufaktur masih menjadi kontributor terbesar bagi perekonomian nasional. Di antaranya melalui peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor. Jika menilik tiga alasan yang dikemukan Airlangga diatas, sudah barang tentu TPT memenuhi ketiga kriteria tersebut.
Dalam jangka pendek, pemerintah perlu mencari solusi empat permasalahan mendesak yang dihadapi TPT sekarang, yaitu; penurunan tarif energi listrik dan gas, perlindungan pasar dalam negeri dari importasi ilegal, membuka akses pasar luar negeri, terakhir melanjutkan program restrukturisasi mesin.
Sebenarnya perhatian Presiden Joko Widodo terhadap TPT cukup baik. Dalam Rapat Terbatas tentang Tata Niaga TPT, 6 Desember 2016, di Kantor Presiden, Jakarta, Presiden menginstruksikan seluruh kementerian terkait untuk melakukan langkah-langkah terobosan dalam mengatasi permasalahan yang ada di industri TPT. "Harus terus diupayakan kebijakan yang mendukung industri TPT dalam negeri sehingga lebih kompetitif," ujar Presiden dalam pidato pengantar.
Presiden juga membeberkan permasalahan TPT antara lain harga gas, importasi ilegal dan akses pasar luar negeri. Sayangnya hampir setahun instruksi Presiden berlalu, respon para menteri penanggung jawab masing-masing kebijakan bervariasi.
Kementerian ESDM yang berwenang menetapkan penurunan harga gas industri, sampai sekarang tidak kunjung menetapkan TPT, walaupun Kemenperin telah mendesak berkali-kali tentang ini. Bagi industri hulu dan antara TPT, biaya energi sangat besar karena komponen energi menyita 15-25 persen dari total ongkos produksi.
Untuk importasi TPT ilegal, usaha gigih aparat Kemenkeu memberantas praktek penyelundupan pakaian bekas serta impor TPT ilegal patut diacungi jempol. Sebab banjirnya produk impor ilegal adalah salah satu penyebab utama stagnasi kinerja industri tekstil dalam lima tahun terakhir. Modus utamanya adalah impor borongan dan rembesan dari kawasan berikat.
Puncaknya pada 12 Juli 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membentuk Satgas Penertiban Impor Beresiko Tinggi yang diketuai Menkeu melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Panglima TNI, Kementerian Perdagangan, Kepala KSP, dan Kepala PPATK.
Menurut Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APsyFI), pasca pelarangan praktik impor borongan oleh SATGAS tersebut, produsen kain tenun dan rajut lokal mulai mendapatkan peningkatan pesanan. Asosiasi optimistis industri hulu tekstil bisa tumbuh 10-15 persen di semester dua tahun ini.
Sedangkan upaya akses pasar keluar negeri, melihat perkembangan perundingan dagang yang lambat, Wapres Jusuf Kalla turun tangan dan menginstruksikan Kementrian Perdagangan sebagai lead sector untuk mempercepat perundingan atau negosiasi perdagangan bebas dengan sejumlah negara (11/1/2017).
Perundingan yang sudah sejak lama ditunggu pengusaha TPT adalah European Free Trade Association (EFTA). Sebab kawasan EU adalah pengimpor terbesar TPT di dunia sebesar USD 244 miliar di tahun 2016. Selain itu seperti yang dikemukan Presiden dalam Ratas, Indonesia masih kalah dengan Vietnam di pasar Eropa dan Amerika, karena kita masih dikenakan tarif 5-20 persen, sedangkan Vietnam 0 persen.
Terakhir Pemerintah perlu melanjutkan program restrukturisasi mesin TPT yang terhenti di tahun 2015. Selama periode 2007-2014, anggaran yang berhasil terserap mencapai Rp1,18 triliun dan program ini mampu mendongkrak produktivitas sebesar 6-10 persen, efisiensi energi sebesar 5-9 persen, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 241.835 orang.
Sayangnya memasuki tahun 2016 Kemenperin tidak menganggarkan bantuan tersebut dalam pagu anggarannya dengan alasan menghemat anggaran belanja dan ingin mengevaluasi terlebih dahulu. Padahal dengan rata-rata bantuan “hanya” Rp 168 miliar per tahun, tenaga kerja yang diserap mencapai rata-rata 34.500 orang per tahunnya.
Kesimpulannya, TPT adalah industri menyuplai kebutuhan dasar manusia dan bersifat padat karya, sangat tepat dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian Indonesia sekarang dan masa depan. Dalam jangka pendek dibutuhkan sedikit insentif fiskal dan konsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan RIPIN 2015-2035. Dalam jangka menengah dan panjang, diperlukan kedalaman struktur industri lebih lanjut serta kolaborasi yang solid antara industriawan, lembaga riset dan perguruan tinggi tekstil untuk menelurkan inovasi unggul.
*) Ketua Bidang III Kebijakan Industri Ikatan Alumni ITT-STT Tekstil Bandung