REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga daging sapi belakangan melonjak tajam. Dikatakan, naiknya harga tersebut lantaran dampak dari terbatasnya suplai daging di pasaran. Ini juga erat kaitannya dengan pembatasan kuota impor daging sapi dan minimnya produksi dalam negeri.
Berikut paparan Ekonom Sustainable Development-Indonesia (SDI), Dradjad H Wibowo mengenai penyebab naiknya harga daging sapi tersebut. Di sini juga akan dipaparkan permainan kelompok mafia yang mengatur ketersediaan daging. Mereka juga yang paling bertanggung jawab terkait harga daging di pasaran.
Sebelumnya telah dipaparkan mengenai penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan International Monetary Fund (IMF) pada Januari 1998. Ini merupakan tonggak sejarah yang berperan besar merusak sistem produksi pangan di Indonesia.
LoI ini juga yang membuat munculnya mafia daging sapi impor. Penangkapan pimpinan partai politik terkait impor daging sapi yang membuka mata rakyat Indonesia. Yaitu, bahwa mafia impor yang diteriakkan selama ini benar adanya.
Bahwa tidak sedikit oknum, baik dari partai politik atau non-parpol yang mengeruk rente uang haram besar-besaran dari impor pangan. Bahwa impor pangan itu bukan murni soal supply and demand. Tapi lebih kepada, "Bagaimana bisa mengeruk uang banyak dengan mudah dan cepat".
Orang sering menyalahkan politisi dan partai politik. Memang benar ada oknum politisi yang korupsi dari impor pangan. Namun, dengan atau tanpa politisi pun, pengerukan uang haram dari impor pangan tetap akan terjadi.
Beberapa modusnya antara lain, Pertama estimasi kebutuhan komoditi pangan dilebih-lebihkan. Yang penting terdapat gap besar antara supply and demand sehingga kesannya impor menjadi keharusan.
Kedua, membuat lonjakan harga komoditas pangan pada bulan-bulan tertentu. Sehingga, impor pangan terjustifikasi.
Ketiga, mendorong kemudahan perpajakan sehingga importir mendapat keuntungan besar dari pembebasan PPN, bea masuk dan PPh. Keuntungan besar ini yang kemudian dibagi-bagi kepada siapa saja yang membantu menjaga impor. Baik politisi, birokrat atau siapa saja.
Keempat, memainkan berbagai mekanisme pengaturan seperti kuota impor. Padahal faktanya, impor setiap komoditas pangan itu hanya dikuasai oleh segelintir pemain. Mekanisme kuota ini memudahkan membagi-bagi uang haram dari impor.
Saya sangat menyayangkan, mengingat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan alumnus pascasarjana IPB. Namun kebijakan pro-impor ini tidak dikoreksi total.
Saya berharap dalam sisa masa pemerintahan ini, Presiden SBY dan tim ekonominya, yang dikomandani ketum partai saya, mau mengembalikan orientasi kebijakan pangan menjadi pro-swasembada dan produksi dalam negeri seperti pada zaman Presiden Soeharto.