REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep K Nur Zaman
Saya bingung, harus menuliskan apa lagi tentang kegaduhan yang dipicu manuver Tri Rismaharini. Seakan terbawa suasana melankolis dan gelombang solidaritas, sejuta rasa berkecamuk di dalam dada tentang wali kota wanita pertama dalam sejarah Surabaya, Jawa Timur, ini. Oh Risma, ada apa gerangan?
Saya mendengar dia menangis dan mengaku tertekan. Lalu sempat menghilang beberapa hari karena jatuh sakit. Oh, dramatis sekali. Apa gerangan yang menekanmu, Risma?
Isu akan lengser pun berhembus, malah dia diberitakan telah mengemas barang-barang pribadi dari ruang kerjanya. Tapi jawabannya mengambang. Elite Banteng sibuk meredam ngambeknya sang Wali Kota. Oh, ada apa gerangan, Risma?
Kegaduhan makin menjadi. Sosok Risma -- yang "tertekan" -- laksana erupsi eksplosif yang menerjang sumbat lava di danau kawah Gunung Kelud. Suara ledakan dan abunya memancar hingga ratusan kilometer. Publik negeri ini pun, terutama jagat politik, gempar. Ada apa gerangan, oh Risma?
***
Saya terkenang pada saat mulai mengenal Risma pada 2009-2010 ketiga bertugas di Surabaya. Insinyur lulusan Arsitektur dan pascasarjana Manajemen Pembangunan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu mengundang penasaran, meski hanya sayup-sayup terdengar perannya dalam derap pembangunan dan penataan Kota Surabaya.
Sebagai Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya, ketika itu, dia vermak wajah Kota Buaya dari suasana garang dan gersang menjadi cantik dan ramah lingkungan. Taman-taman kota ditata sedemikian rupa, penghijauan tampak di mana-mana, dan membangun pedestrian dengan konsep modern.
Namun ketika itu pamornya masih tertutup oleh "kebesaran" nama Wali Kota Bambang DH.
Menjelang Pemilihan Wali Kota Surabaya 2010, ambisi Bambang DH kandas di Mahkamah Konsitusi (MK) untuk bisa mencalonkan diri lagi. Tadinya ia merasa masih berhak maju sebagai kandidat wali kota karena sebelumnya dia hanya menjalani 1,5 periode.
Awalnya Bambang naik ke kursi wali kota menggantikan Sunarto Sumoprawiro yang meninggal dunia di tengah masa jabatan. Karena itu dia merasa belum genap mencapat batas kekuasaan dua periode dan menuntut dapat maju satu periode lagi.
Bambang lalu terpaksa menyorongkan Risma -- yang birokrat murni -- ke PDI Perjuangan untuk diusung sebagai calon wali kota. Tokoh PDIP Jatim, Sutjipto, memberi lampu hijau. Restunya kemudia disetujui oleh DPP PDIP. Bambang sendiri, sebagai kader tulen PDIP, rela turun tahta menjadi calon wakil wali kota dari anak buahnya itu.
Menang di pilkada, bulan madu pasangan Risma-Bambang tak berlangsung lama. Konon, sikap Risma tak membuat nyaman. Di hadapan sang mentor, Risma menjelma menjadi pemimpin yang perkasa. Dia lepas kendali dan cenderung tak bisa didikte mantan bosnya.
Bambang tak betah menjadi orang nomor dua. Dia "menggertak" dengan mengajukan mundur. Tapi batal dan coba bertahan, sambil berangan-angan dapat menyabet kursi gubernur.
Bambang akhirnya betul-betul lengser dari kursi wakil wali kota untuk bertarung pada Pilkada Jatim 2013. Sayang, meski diusung PDIP dan mendatangkan Jokowi sebagai jurkam, dia kalah telak.
Keperkasaan Risma juga ditunjukkan saat DPRD mencoba mendongkelnya lewat pengajuan hak angket. Motor gerakan ini antara lain Ketua DPRD Whisnu Wardhana (Partai Demokrat) dan Wakil Ketua DPRD Wisnu Sakti Buana (PDIP). Semua fraksi mendukung pemakjulan, kecuali PKS.
Mereka tidak setuju atas kebijakan Risma yang menaikkan pajak sewa reklame sebesar 25 persen. Berkembang juga isu bahwa upaya pelengseran Risma itu dipicu oleh kekecewaan elite PDIP Surabaya yang merasa tidak diakomodasi sejumlah kepentingannya oleh Risma.
Sialnya, Wisnu Sakti Buana, kini disorongkan PDIP menjadi wakil wali kota, menggantikan Bambang DH. Terkesan dipaksakan memang, karena terpilihnya anak bungsu Sutjipto itu secara aklamasi, dinilai mengandung cacat prosedur.
Di awal kepemimpinannya, hubungan Risma dengan Gubernur Jatim Soekarwo pun kurang harmonis. Pertama, karena Risma menolak proyek amanah pemerintah pusat berupa pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya. Ini menjadi persoalan berkepanjangnan hingga sekarang.
Kedua, Risma keberatan atas keinginan Soekarwo menggusur begitu saja lokalisasi Dolly, yang merupakan kampung prostitusi terbesar di Asia Tenggara.
Tapi segala rintangan telah cukup mulus dilewati Risma sambil berkarya untuk Kota Surabaya. Atas kepemimpinannya, pada 2012 Citynet menggelari Surabaya sebagai kota partisipan terbaik se-Asia Pasifik dalam mengelola lingkungan yang melibatkan masyarakat.
Kota Surabaya juga meraih Future Government Awards 2013 tingkat Asia-Pasifik. Tak tanggung-tanggung, mencakup dua bidang sekaligus, data center dan inklusi digital, menyisihkan 800 kota. Luar biasa!
***
Dari sekelumit rekam jejak di atas, masya Allah, Risma sebenarnya laksana batu karang. Dia adalah pemimpin yang maskulin. Bahkan licin dalam menghindari suap. KPK menyebutnya sebagai sosok pimpinan yang dapat dipercaya.
Tapi, belakangan tangis Srikandi yang satu ini menonjolkan sifat feminimnya. Terkesan cengeng. Cenderung pula hiperbolis dalam menghadapi masalah yang membelitnya.
Itu tidak lazim bagi dia. Sedangkan tekanan-tekanan yang digaungkannya masih diliputi misteri: seberapa besar dan menyeramkan sebenarnya?
Puncak beratnya tekanan itu hanya tercermin dari isyarat bahwa dia mengancam mundur. Tapi kedengarannya naif. Itu seperti melawan hukum kekuasaan, terutama bagi kultur Indonesia: tidak ada yang rela mundur, kecuali terpaksa atau dipaksa!
Semoga yang tengah terjadi bukan sebuah games politik, by design, bukan by natural. Namun satu hal, "manuver" Risma telah efektif menimbulkan mobilisasi dan solidaritas yang luar biasa bagi ''sang tertindas".
Fenomena itu membuat ngiler parpol-parpol yang tengah cari muka untuk merengkuh suara rakyat menjelang pemilu yang tinggal dua bulan lagi. Seiring dengan itu, terkuak pula bahwa di kalangan internal PDIP ada masalah akut.
Tapi sudahlah. Save Risma! Jangan menangis dan gundah lagi. Mari lanjutkan kerja keras, cetak lagi prestasi, tanpa aduh, tanpa gaduh. Kembalilah tegar seperti karang, jangan terbawa arus permainan di tahun politik yang memuakkan ini!