REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Joko Sadewo, jurnalis Republika
Proses rekapitulasi suara Pemilu Legislatif 2014 ternyata telah memunculkan protes dari para calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai parpol peserta pemilu. Pasalnya banyak di antara mereka yang merasa ada pencurian suara antar caleg dalam satu partai.
Tudingan akan adanya pencurian suara antar caleg di internal parpol ini begitu masif. Dan hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Seperti pengaduan pencurian suara yang disampaikan caleg Partai Gerindra daerah pemilihan (Dapil) Lampung Timur untuk DPRD Provinsi Lampung Conie. Berdasar hitungan dari formulir C1 (hitungan di TPS) di Kecamatan Marga Sekampung, suaranya mencapai 1.308. Tetapi ketika sampai di tingkat kabupaten suaranya menyusut menjadi 600 suara.
Dugaan pencurian suara antar caleg, yang juga sangat mencolok terjadi di Cilangkap, Depok, Jawa Barat. Di wilayah ini ada seorang caleg yang rekapitulasi suara di TPS hanya 697 suara bisa melonjak menjadi 2.040 suara.
Praktik jual beli suara dalam rekapitulasi suara, yang melibatkan oknum petugas KPPS maupun PPK sebenarnya sudah terjadi sejak Pemilu 2009 lalu. Namun pada pemilu kali ini terjadi lebih masif lagi.
Sistem caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak membuat caleg menempuh berbagai cara agar suaranya bisa tertinggi di banding caleg lain dalam satu partai. Yang sangat disesalkan, mereka lebih suka 'membeli suara' saat proses penghitungan suara, dibandingkan habis-habisan dalam sosialisasi di proses kampanye.
Pencurian suara diproses rekapitulasi memang relatif lebih mudah. Sebab sekalipun menerapkan suara terbanyak, saksi di pemilu sebagian besar adalah saksi parpol. Hanya sedikit bahkan tidak ada saksi untuk suara caleg.
Akibatnya, saat suara dari TPS (formulir C1) dibawa ke tingkat kecamatan ataupun kabupaten, oknum petugas KPPS maupun PPS bisa mengubah perolehan suara sesuai pesanan caleg tertentu.
Modusnya sederhana, oknum ini menyalurkan suara pemilih yang hanya memilih tanda gambar parpol ke caleg tertentu. Bahkan mereka berani memindahkan suara caleg A ke caleg B. Semua bisa dilakukan karena secara resmi tidak ada saksi caleg.
Kasus-kasus pencurian suara antar caleg ini semestinya menjadi pelajaran bagi pegiat demokrasi di Indonesia. Semua pihak harus menyadari bahwa penerapan sistem caleg terpilih ditentukan berdasar suara terbanyak ternyata juga membawa dampak yang tidak sehat.
Sistem yang longgar membuat praktik suara terbanyak justru menjadi celah atas maraknya praktik kotor dalam Pemilu 2014. Sangat naik jika memaksakan suara terbanyak dengan alasan demokrasi tetapi justru membunuh demokrasi itu sendiri.
Kenapa membunuh demokrasi?. Sebab praktik kotor suap dan money politik dalam demokrasi adalah virus mematikan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. Demokrasi menjadi tidak berharga manakala tidak menghasilkan pemerintahan berkualitas, dan menjamin kesejahteraan masyarakatnya.
Bukan hanya memunculkan praktik jual beli suara di tubuh oknum penyelenggara pemilu, penerapan keterpilihan berdasar suara terbanyak juga menyebabkan tersingkirnya caleg berkualitas tapi miskin dan tidak populer.
Caleg-caleg pemikir yang banyak berkutat dengan kerja-kerja internal parpol sudah pasti akan tersingkir. Mereka akan dikalahkan oleh figur-figur populer atau berduit, yang semula hanya hendak dijadikan vote gatter oleh partainya.
Naif jika masalah ini dibiarkan dengan alasan bahwa rakyat berhak memberikan pilihan sesuai nurani mereka. Sementara di sisi lain, kita selalu berteriak atas ketidakbecusan eksekutif maupun legislatif dalam mengelola negara ini.