REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mansyur Faqih
Twitter: @m_faqih
Memilih orang yang akan menjadi menteri jadi tugas pertama Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden RI. Namun, tampaknya ini tak menjadi pekerjaan mudah bagi mantan gubernur DKI Jakarta itu.
Hingga Rabu (22/10) siang, Jokowi belum juga menentukan siapa-siapa saja orang yang akan menjadi pembantunya menjalankan roda pemerintahan.
Sebelumnya, beredar kabar kalau Jokowi akan mengumumkan kabinetnya pada Selasa (21/10). Atau sehari setelah pelantikan presiden dan wapres.
Namun, rencana itu kemudian dibatalkan karena ada beberapa nama menteri yang diberi tanda kuning dan bahkan merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kami tidak pakai istilah lolos atau tidak lolos, tapi memberikan masukan sesuai yang diminta. Yang berisiko tinggi kami anggap merah, yang kami anggap kurang kami beri warna kuning," kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain, Senin (20/10).
Rabu petang di Istana Negara, Jokowi pun mengakui alasan penundaan karena adanya beberapa nama yang dinyatakan 'cacat' oleh KPK dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Malah, ia dengan terbuka menyebut kalau ada delapan orang yang mendapat catatan khusus dari dua lembaga itu. Karena itu, perlu ada waktu untuk mencari nama pengganti hingga akhirnya kuota 33 menteri dan empat menteri koordinator terpenuhi.
"Karena kemarin kita menyampaikan itu kepada PPATK dan KPK dan ada delapan nama yang tidak diperbolehkan. Sudah itu. Tidak boleh saya sebutkan," katanya di halaman tengah kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu.
Jokowi menyatakan, sengaja melibatkan KPK dan PPATK sebagai bentuk keseriusan untuk mendapatkan kabinet yang bersih. Yaitu, kabinet yang diisi oleh orang-orang yang tak memiliki indikasi masalah hukum atau korupsi.
Cara ini cukup menarik karena pada dasarnya pemilihan menteri merupakan hak prerogatif presiden. Artinya, Jokowi berhak memilih siapa pun untuk menjadi pembantunya di pemerintah.
Alih-alih, Jokowi malah memilih untuk melakukan seleksi melalui KPK dan PPATK. Tak hanya itu, seluruh calon menteri dan pembantu kabinet Jokowi juga mesti menandatangani kontrak tidak menambah kekayaan.
Mereka hanya boleh menambah kekayaan dari gaji sebagai pejabat negara. Setiap tahun pun disebut akan ada audit terhadap harta kekayaan pejabat negara di pemerintahan Jokowi.
Ini menjadi wajar jika melihat pengalaman pada periode pemerintahan sebelumnya. Yaitu ketika banyak menteri yang terindikasi atau bahkan didaulat menjadi tersangka kasus korupsi yang merugikan negara.
Sebut saja nama Andi Mallarangeng yang kemudian memutuskan mundur dari posisi menpora karena tersangkut kasus hambalang. Kemudian Suryadharma Ali yang disebut melakukan korupsi dana haji.
Atau Jero Wacik yang terpaksa turun dari posisi menteri ESDM dengan nama tercoreng karena diduga merugikan negara hingga Rp 9,9 miliar.
Tapi di sisi lain, tampaknya langkah ini menjadi cara Jokowi untuk melepaskan diri dari tekanan politik terkait penentuan menteri. Karena sudah menjadi rahasia umum kalau berbicara menteri, akan menyinggung soal pembagian kekuasaan.
Intinya, bagaimana mengakomodasi kepentingan mereka yang telah memberikan dukungan untuk pemenangan pada pilpres yang lalu. Sudah jamak terdengar kalau akomodasi itu antara lain dengan memberikan jatah menteri di jajaran kabinet yang nanti akan dibentuk.
Sebenarnya, adanya 'titipan' itu tak melulu harus menjadi masalah. Baik bagi pemerintah maupun rakyat dan negara. Syaratnya, orang titipan itu memang benar-benar mereka yang mumpuni di bidangnya.
Serta, mampu memberikan kesejahteraan bagi sekitar 250 juta rakyat Indonesia. Namun, bagaimana kalau ternyata titipan itu ternyata memiliki catatan yang tidak bersih?
Bagaimana memastikan agar titipan itu tidak malah menjadi masalah di kemudian hari? Baik masalah hukum dengan para penegak hukum maupun masalah lain yang dapat merugikan bangsa dan negara.
Bisa saya katakan, mekanisme seleksi menteri melalui KPK dan PPATK yang dilakukan Jokowi menjadi cara yang cukup efektif. Tak hanya itu, langkah itu juga elegan seandainya orang titipan itu ternyata masuk daftar hitam para penegak hukum.
Sehingga, Jokowi dapat menolak nama titipan itu tanpa menyinggung para pendukungnya. Ia bisa beralasan menyatakan setuju dengan nama itu. Tapi, mereka memiliki masalah sehingga tidak lolos dari para gatekeeper yang sebagai penyaring awal untuk menjadi pembantu presiden.
Dengan begitu, Jokowi bisa menolak usulan nama itu tanpa harus melalui tangannya sendiri. Dia bisa menggunakan KPK dan PPATK yang berfungsi menjadi algojo para calon menteri yang bermasalah.