REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arif Supriyono
Usulan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, agar mengosongkan kolom agama bagi penganut kepercayaan mendapat tanggapan beragam. Ada yang menolak keras dan tentu saja ada sebagian yang bersetuju.
Ide pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan itu antara lain didasarkan pada terbatasnya pengakuan negara atas keberadaan agama di Indonesia. Secara resmi --sesuai Ketetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 -- Indonesia hanya mengakui keberadaan enam agama: Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Pertimbangan lain pengosongan kolom agama adalah sebagai bentuk toleransi atas kelompok minoritas (di luar enam agama) yang ada. Karena itu, memaksakan mereka agar dimasukkan ke dalam salah satu dari enam agama di atas, tentu bukan suatu jalan keluar yang baik.
Sebagian lain malah berpendapat, sebaiknya kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) ditiadakan saja. Mereka berdalih, ketika mengurus segala sesuatu, sering kali pertimbangan agama menjadi salah satu kendala untuk kelancaran urusan tersebut.
Menghapus kolom agama di KTP bukanlah tindakan yang tepat. Sila pertama dari dasar negara kita (Pancasila) jelas menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna lain dari kalimat itu berarti, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Ini sesuai pula dengan pasal 29 (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menghapuskan kolom agama di KTP, bisa dimaknai sebagai upaya menjauhkan kehidupan beragama dari sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Jika ada seseorang yang dipersulit urusannya lantaran memeluk agama tertentu, maka sikap orang yang mempersulit itu yang harus menjadi perhatian, bukan kemudian malah KTP-nya yang dipersoalkan. Sudah semestinya pemerintah memberi peringatan atau bila perlu sanksi terhadap person atau lembaga yang mempersulit urusan tersebut.
Apa pun agama seseorang, tak layak dia dipersulit karena keyakinan yang dipeluknya. Ini harus dibedakan untuk urusan mencari pekerjaan pada jenis-jenis profesi tertentu: guru agama, petugas kantor urusan agama (KUA), pembina kerohanian, dan lain-lain.
Mengosongkan kolom agama bagi pemeluk agama di luar enam agama yang diakui pemerintah, menurut saya, juga bukan keputusan yang baik. Keputusan itu justru menunjukkan sikap diskriminatif pemerintah terhadap pemeluk agama minoritas. Mereka akan mendapat cap atau tanda sebagai kelompok masyarakat yang memeluk agama yang tidak (belum) diakui pemerintah. Masyarakat akan mudah menyimpulkan hal itu setelah melihat kolom agama di KTP mereka tak diisi alias kosong.
Di Malaysia berlaku kondisi seperti itu. Dalam KTP (kad pengenalan) warga Malaysia, kolom agama akan dikosongkan jika mereka bukan pemeluk Islam. Bila mereka seorang Muslim, maka akan tertera kata ‘Islam’ di KTP mereka.
Andai ini diterapkan di Indonesia, saya khawatir kondisi itu akan memperuncing persoalan antara Islam dan non-Islam. Kemungkinan munculnya sikap tak bersahabat antara pemeluk Islam dan agama lainnya akan bisa kian melebar. Padahal, tugas dan kewajiban kita adalah kian memperbaiki hubungan antaragama serta meningkatkan rasa saling menghormati antara para pemeluk agama, tanpa harus menafikan bahwa ada perbedaan di antara agama-agama tersebut.
Saya lebih setuju agar negara tak membatasi hanya pada enam agama. Tentu ini memiliki konsekuensi perlunya perubahan terhadap definisi atau kriteria agama di Indonesia. Jika memang suatu kepercayaan bisa memenuhi unsur sebagai agama --sesuai kesepakatan yang dibuat pemerintah dan para ahli agama-- maka tetapkan saja aliran kepercayaan atau apa pun namanya sebagai agama.
Pada pasal 29, ayat 2, UUD 1945 jelas menyebutkan, bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ini juga sesuai dengan Deklarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang hak asasi manusia dan beragama yang tertera pada pasal 18.
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat, dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. Itulah bunyi Deklarasi Universal PBB pasal 18.
Mengacu pada UUD 1945 dan Deklarasi PBB tadi, pemerintah seyogianya segera melakukan kajian untuk menata kembali keberadaan agama di Indonesia. Beri kesempatan semua agama ada dan hidup di bumi Indonesia, tak peduli apakah pemeluknya hanya berjumlah sedikit atau bahkan --ekstremnya-- tak lebih dari seribu orang.
Jika memang suatu kepercayaan bisa memenuhi unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah agama, tak perlu ragu lagi untuk mengakuinya sebagai suatu agama. Dengan begitu, tak hanya enam agama saja yang mendapat pengakuan dari Negara. Agama lain juga bisa memperoleh pengakuan yang sama.
Para pemeluknya tak perlu ragu untuk mencantumkan agama mereka di KTP. Dengan pencantuman itu justru harus bisa membuat penganut agama lain saling bertenggang rasa, menghargai, dan menghormati. Tak jarang kita membuat tindakan yang bernada melecehkan keberadaan pemeluk agama lain. Situasi saling menghargai akan lebih bisa terjaga, jika kita tahu identitas orang lain tersebut.
Bisa jadi, kelak akan ada agama Baha’i, Jawi Wetan, Sunda Wiwitan, Ahmadiyah, dan lain-lain. Itu tak masalah, karena sesuai prinsip dasar bernegara di Indonesia, yang hingga saat ini tidak boleh adalah kelompok tak beragama.