REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Timnas Indonesia babak belur di Piala AFF 2014 di Hanoi, Vietnam. Boro-boro menargetkan juara di turnamen yang dulunya bernama Piala Tiger tersebut. Bahkan, untuk sekadar lolos dari fase grup saja, Boaz Salossa dan kawan-kawan tinggal menunggu keajaiban.
Itu lantaran skuat Garuda Jaya saat ini baru mengoleksi satu poin dari dua laga di Grup A. Adapun, Filipina dipastikan lolos dengan torehan enam poin, dan Vietnam mengemas empat poin. Sementara itu, juru kunci ditempati Laos yang belum mengoleksi poin, dan sudah tersingkir lebih dulu.
Meski peluang untuk lolos, menurut penulis, tinggal satu persen, yaitu Indonesia wajib menang telak melawan Laos sembari berharap Vietnam kalah dari Filipina, namun lebih baik tidak usah memimpikan datangnya mukjizat. Pasalnya, kalau hal itu sampai dilakukan sama saja penggawa timnas sedang berhalusinasi.
Cukup mudah mencari alasan kalau timnas Indonesia mendapat kegagalan. Apalagi, hasil buruk yang ditorehkan sangat tidak wajar. Kekalahan 0-4 dari Filipina jelas tidak bisa dimaafkan pecinta sepak bola Tanah Air.
Sebagai perbandingan, lebih satu dasawarsa lalu, Indonesia bisa meraih hasil gemilang dengan menenggelamkan Filipina, 13-1. Kemenangan 12-0 juga pernah diukir timnas pada 22 September 1972. Raihan itu menjadi catatan kemenangan terbesar sepanjang masa timnas.
Sayangnya, pendulum sangat cepat bergeser. Di saat negara Asia Tenggara terus menggenjot kualitas kompetisi dan kemampuan individu pemain, Liga Super Indonesia terlihat jalan di tempat, kalau tidak boleh disebut mengalami kemunduran.
Sebagai perbandingan, Vietnam, Filipina, Myanmar, dan Singapura, bahkan Malaysia pada awalnya bukan tandingan pemain kita. Hingga awal 2000-an, lawan sepadan Indonesia adalah Thailand. Hanya negeri Gajah Putih semata yang selalu menyulitkan langkah timnas.
Seiring berjalannya waktu, negara yang pada mulanya dipandang sebelah mata kini menjelma menjadi kekuatan menakutkan. Tidak salah, ketika Indonesia paling banter hanya menggenggam posisi runner up Piala AFF empat kali, negara tetangga sudah mampu menjadi juara.
Singapura, negara yang luasnya hampir sama dengan DKI Jakarta sudah meraih empat kali juara. Thailand mengumpulkan tiga trofi, serta Malaysia dan Vietnam masing-masing telah mengukir sejarah dengan sekali juara. Bayangkan, untuk berprestasi di tingkat ASEAN saja Indonesia sudah tertinggal jauh.
Terkait biang kegagalan di Piala AFF kali ini, apakah benar kesalahan berada di tangan pelatih Alfred Riedl? Pasalnya, Riedl sempat mengeluhkan persiapan anak didiknya yang terbilang mepet. Dia juga menyoroti kegagalan Indonesia pada masa lalu akibat dari rendahnya disiplin pemain.
Tidak cukup, juru taktik asal Austria itu mengungkapkan betapa buruknya kualitas kompetisi domestik yang cenderung brutal hingga mengkhawatirkan masa depan sepak bola Indonesia.
Atau, jangan-jangan kesalahan memang ada pada pemainnya? Setelah tenaga pemain terkuras di laga Liga Super Indonesia, performa yang ditunjukkan mereka di perhelatan internasional tidak sebagus ketika membela klub.
Atau jangan-jangan...Ah, sudah lah. Seperti adigum yang beredar di masyarakat, mudah menyalahkan dan mencari alasan saat sebuah tim mengalami keterpurukan, dan banyak alasan mencari pembenaran ketika sebuah tim meraih kemenangan, apalagi merebut juara.
Jika berbicara kutukan prestasi timnas Indonesia yang terakhir kali menorehkan juara di SEA Games 1991 di Filipina, mungkin ada akar masalah yang selama ini tidak pernah tersentuh untuk diselesaikan PSSI. Apa itu? Bisa jadi alasan ini belum tentu benar, namun penulis jadi teringat dan seketika langsung percaya dengan pendapat Jose Mourinho.
Pelatih Chelsea yang dikenal dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos tersebut menilai bahwa pemain timnas Indonesia tak memiliki potensi spesial. Hal itu diutarakan Mourinho usai the Blues mempermalukan skuat Indonesia, 8-1 di laga uji coba di Gelora Bung Karno pada 25 Juli 2013. Dari satu pertandingan itu saja, the Special One seolah bisa melihat masalah akut sepak bola Indonesia.
Karena itu, pada sesi konferensi pers usai pertandingan, ketika ditanya tentang penampilan tim yang saat itu diasuh Rahmad Darmawan, Mourinho memberikan jawaban yang membuat jurnalis kaget. "Jika Indonesia tidak punya potensi spesial, maka bermain lah dengan penuh kegairahan yang besar dan kebanggaan.”
Ketika penilaian Mourinho itu dikonfirmasi ke Rahmad Darmawan yang sangat mengidolakan pelatih asal Portugal tersebut, ia malah tidak mempercayainya. Entah bermaksud membela anak didiknya atau memiliki alasan lain, pria yang juga prajurit marinir itu menganggap wartawan yang hadir salah mengartikulasikan statemen Mourinho.
Meski masih perlu penelitian yang mendalam untuk membuktikan pendapat Mourinho, mengapa kita tidak mengkonfrontasikannya dengan penampilan pemain timnas pada era sekarang. Di luar pelatih yang menangani timnas memang belum memiliki prestasi membanggakan, mengapa kita tidak membuat perbandingan pemain timnas sekarang dengan era dulu ketika mereka masih belum mengenal kontrak dan bayaran tinggi?
Tapi, satu hal yang penulis percaya dari pemain timnas di era Peri Sandria dan kawan-kawan yang bisa mengharumkan bangsa, yaitu mereka dididik pelatih Anatoli Polosin untuk bermain spartan di lapangan. Para pemain dilatih keras sampai muntah-muntah. Pola latihan seperti itu menghasilkan penggawa yang tidak manja. Mereka akhirnya memiliki kebanggaan ketika membela panji Indonesia di ajang sepak bola internasional.
Sehingga, ketika bertanding di lapangan, tidak semata taktik yang menentukan, tapi mental juga berbicara. Hal itu yang menurut penulis tidak ditemukan dalam diri pemain timnas sekarang. Pola latihan yang pas-pasan dan belum menyatunya pemain dari klub berbeda, serta menganggap panggilan timnas seperti pertandingan rutin membela klub membuat kekuatan Indonesia rontok dan semakin tak diperhitungkan untuk sekadar level Asia Tenggara.