Sabtu 11 Jul 2015 06:30 WIB

Mestinya Malu

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Foto: Ist
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Angga Indrawan

Twitter: @indrawan_angga

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) memberhentikan tidak hormat Anggota Kehormatan PSSI, Djohar Arifin Husin. Mantan Ketua Umum PSSI itu dinyatakan melanggar kode etik lantaran menghadiri pertemuan dengan Menpora tanpa restu dari Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti.

PSSI juga menjatuhkan hukuman Djohar Arifin berupa larangan beraktivitas dalam kegiatan yang terkait dengan cabang olah raga sepak bola. Djohar, disemat 'haram' di lingkungan PSSI, AFC, dan FIFA sepanjang umur hidupnya.

Fenomena unik ini hanya terjadi di Indonesia. Organisasi yang mestinya mati suri kena sanksi negara, masih ngotot untuk tetap ada dan bisa beri sanksi sana-sini. Keberadaan PSSI, alhasil, antara tiada tapi ada. PSSI disebut tiada karena tak menggelar kompetisi, namun bisa dikatakan masih ada, karena kebisingannya, ancam mengancam, yang masih kerap terdengar.

Terekam jelas bagaimana La Nyalla Mattaliti berang bukan kepalang mengiringi sanksi untuk Djohar, awal pekan lalu. Manuver Djohar dinilai pengkhianatan. Djohar disebut gali kuburnya sendiri. Sejurus kemudian, borok Djohar pun diumbar oleh sosok yang menjabat ketua Kadin Jawa Timur itu. La Nyalla menyebut Djohar Arifin sebagai mafia.

Ini berkaitan dengan pernyataan La Nyalla menyoal kucuran dana APBN sebesar Rp 400 juta kepada kepengurusan Djohar Arifin pada PSSI periode sebelumnya. La Nyalla mengaku dana tersebut hanya bersifat 'numpang lewat' karena tidak digunakan untuk kegiatan PSSI. Semua mafia, termasuk Djohar, kata La Nyalla, berkumpul di kantor Kemenpora. Gaji Djohar Rp 50 juta per bulan di PSSI pun disoal.

Djohar pun tak kalah berambisi buka borok mantan duetnya di kepengurusan PSSI tersebut. La Nyalla, disebut Djohar, menjadi sosok sentral dalam aliran dana dari, untuk dan di PSSI. Semua kesepakatan kontrak komersial, sebut Djohar, berada dalam meja dan kewenangan La Nyalla. Wakilnya itu, sebut Djohar, sering main 'sendir-sendiri'.

Psikologi politik paling populer akhirnya disajikan dua sosok fenomenal tersebut. 'Tidak ada kawan atau musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan'. Djohar - La Nyala kini saling buka aib, padahal empat tahun lamanya mereka saling kuat menjaga. Djohar, padahal dulunya, rapat menutupi sesuatu yang kini ia sebut aib wakilnya itu di PSSI.

Maka kemudian wajar kiranya ketika salah satu Asprov di PSSI menyebut Djohar tak lebih hanya sekadar melacur ke Kemenpora. Hal itu dilakukan Djohar, mereka katakan, lantaran tak ada lagi jatah yang mungkin biasanya ia dapat dari PSSI. Seribu alasan bantahan Djohar, silakan, namun nurani publik tentu sudah punya penilaiannya sendiri.

Pastinya yang publik tahu, PSSI kini masih meneruskan konfliknya yang kini menyeret person by person. Tugas menata sepak bola tak lagi diindahkan. PSSI, yang didirikan oleh Ir Soeratin pada 1930, tak lagi sejalan ide dan gagasan persatuannya hari ini. PSSI hadir untuk berkonflik. Prestasi dan persatuan bangsa, sekian.

Revolusi sepak bola hari ini bergantung pada political will masing-masing pihak. Kemenpora melalui tim transisi, harus punya peran tangguh menyadarkan bahwa Negara telah hadir untuk sepak bola. Ketegasan sikap atas PSSI membangun kompetisi melalui Piala Kemerdekaan, ditunggu gaungnya. Sekali-kali, PSSI pun perlu diajarkan etika untuk patuh terhadap negara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement