Kamis 12 Nov 2015 05:30 WIB

TPP, Hegemoni, dan Paranoia

Perwakilan 12 negara yang terlibat dalam Trans Pacific Partnership (TPP) di Atlanta, negara bagian Georgia, Amerika Serikat.
Perwakilan 12 negara yang terlibat dalam Trans Pacific Partnership (TPP) di Atlanta, negara bagian Georgia, Amerika Serikat.

Oleh: Fitriyan Zamzami/ Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Ini adalah kisah tentang sekutip wilayah laut, lelayang perjanjian dagang bebas, hegemoni, dan barangkali paranoia. Ia adalah kelindan ketakutan dan keserakahan dalam tingkat tertentu, dan juga yang terjebak di tengahnya.

Mulanya ada sebuah peta tua. Ia dibuat selepas Perang Dunia II. Kaum Nasionalis Cina membuatnya sebagai upaya bangkit dari yang mereka sebut Seratus Tahun Penghinaan. Periode di mana kerajaan yang sempat jaya itu berulang kali diintervensi imperialis dari barat dan timur sepanjang 1839 sampai 1949.

Peta itu adalah upaya konsolidasi wilayah. Ia merangkum lagi kejayaan teritorial Kerajaan Tengah di darat dan di laut. Di darat, wilayah kekuasaan itu merentang sampai Himalaya di utara. Di laut, ia adalah garis putus-putus yang dimulai dari perairan Hainan di bagian barat, kemudian menyinggung perairan timur Vietnam, terus mengular ke selatan, akhirnya berbalik arah kembali ke utara saat mendekati Kalimantan.

Tak jauh di luar putaran arah itu, ada sebuah noktah kecil bernama Pulau Natuna Besar milik Indonesia. Jalan pulang garis itu menyisir bagian barat laut Filipina, kemudian berakhir di sebelah timur perairan Taiwan. Garis putus-putus di laut itu meliputi sebagian besar wilayah laut yang kita kenal dengan nama Laut Cina Selatan. Peta itu dibuat dalam senyap. Sesekali saja menyeruak saat negara lain yang wilayahnya terganggu keberatan.

Yang juga dibuat terselubung dalam tirai bambu adalah reformasi agraria dan pembagian lahan untuk jutaan warga Cina oleh Partai Komunis yang berkuasa, kemudian pembangunan infrastruktur yang dimulai sejak 1950. Ia jadi landasan kokoh saat Cina membuka diri pada perekonomian dunia 30 tahun kemudian. Jalan keluar dari ratusan tahun penghinaan kemudian jadi terang benderang.

Di bagian Bumi lainnya, ada hegemoni yang sudah sedemikian digdaya sejak Perang Dunia II usai, bernama Amerika Serikat. Sibuk menjadi polisi dunia, menumbangkan pimpinan-pimpinan yang terpilih secara demokratis untuk kemudian menaikkan tiran untuk mengamankan sumber pendapatan. Menggelar perang di wilayah-wilayah dengan cadangan minyak melimpah.

Soal Cina yang keluar dari tirai mulanya ia sambut senang. Ada potensi pasar di situ. Ada potensi menaikkan profit dari manufaktur-manufaktur dengan upah murah di sana. Tapi yang kuat biasanya juga tak jenak. Ia gugup dengan potensi adanya saingan yang setara. Saat Cina pelan-pelan menuju status tersebut menggantikan Uni Soviet yang bubar, 'sang penguasa' akhirnya merasa terancam.

Tahunnya 2006. Ia adalah titik mula kesadaran Amerika Serikat soal ancaman kebangkitan Kerajaan Tengah. Saat itu Pentagon melaporkan penambahan kekuatan militer Cina yang signifikan dan melihatnya sebagai potensi penggoyang kedigdayaan Amerika Serikat. Kemudia dimulailah politik penahanan laju Cina. Ia dirancang sebagai serangan frontal dari berbagai sisi. Politik, militer, dan ekonomi.

Dari segi politik, ia dibalut dengan retorika rebalancing atau penyeimbangan ulang kekuatan Amerika Serikat. Presiden Barack Obama kemudian secara resmi mengumumkan kebijakan pengubahan pivot AS dari Timur Tengah dan Afrika ke Asia-Pasifik.

Pemindahan armada tempur besar-besaran kemudian digelar. Sebanyak tujuh kapal tempur jenis destroyer (DGG) milik Angkatan Laut Amerika Serikat saat ini tengah bersandar di pangkalan militer di Hawaii, pintu keluar Amerika Serikat menuju Asia. Sedangkan, 20 lainnya disebar di seantero pangkalan militer AS dan pelabuhan militer negara-negara sekutu AS di Asia-Pasifik.

Di Korea Selatan, AS telah menyiagakan sampai 30 ribu pasukan di bawah seorang jenderal bintang empat. Kebijakan rotasi kapal tempur dan penempatan 12 ribu pasukan di Darwin, Australia, juga dimulai tahun ini. Program rotasi kapal tempur serupa diterapkan di Singapura, di mana lima kapal tempur akan segera diterjunkan.

Sementara jumlah kapal selam akan ditambah di pangkalan militer AS di Guam, wilayah AS di Pasifik Barat. Kapal induk baru, USS Ronald Reagan, dioperasikan di Pasifik musim panas tahun ini. Di Jepang, Angkatan Laut AS meningkatkan jumlah kapal destroyer dan cruiser, serta memperbarui sistem pertahanan misil balistik dan pertahanan udara.

Di Filipina, kapal-kapal tempur AS mulai disandarkan lagi. Tahun lalu, Presiden Filipina Benigno Aquino III dan Presiden AS Barack Obama menandatangani Enhance Defense Cooperation Agreement (EDCA). Salah satu isi perjanjian adalah diizinkannya kapal-kapal tempur AS melakukan rotasi di pangkalan militer Filipina selama 10 tahun ke depan.

Penambahan kekuatan militer tersebut belum termasuk yang tak diumumkan secara resmi. Nelayan Filipina sempat melaporkan penampakan dua kapal selam AS yang mengitari kawasan perairan negara tersebut sejak Januari lalu.

Kendati demikian, penambahan kekuatan militer jadi tak relevan jika tak ada Kurusetra, jika tak ada medan tempur. Laut Cina Selatan kemudian dipilih jadi lokasinya. Peta Nasionalis Cina soal klaim teritorial di wilayah tersebut dijadikan antagonis.

Penguasaan Cina atas sebagian besar Laut Cina Selatan dikampanyekan sebagai potensi pengganggu stabilitas regional dan jadi alasan pergeseran kekuatan militer AS ke Asia.

Secara resmi, pihak-pihak di Amerika Serikat menyatakan khawatir dengan klaim Cina di Laut Cina Selatan karena dianggap bakal mengganggu navigasi laut di salah satu jalur perdagangan laut paling sibuk di dunia tersebut. Sebaliknya, Cina menjamin kebebasan navigasi di wilayah laut itu. Masalahnya, kedua negara bicara soal kapal yang berbeda. Yang dimaksudkan Cina bebas berlabuh adalah kapal dagang. Yang diinginkan Amerika Serikat tetap bebas berlabuh, kapal tempur.

Cina menganggap klaim mereka absah merunut sejarah kendati ngawur jika mengacu pada regulasi batas terluar laut yang disepakati bangsa-bangsa. Bagaimanapun, penguasaan atas Laut Cina Selatan akan mendorong jauh ke selatan perimeter pertahanan Cina.

Sejak 1970-an negara-negara yang diklaim wilayah Laut Cina Selatan selain Cina sudah ramai membangun di pulau-pulau dalam wilayah yang disengketakan. Tapi Amerika Serikat baru mulai bergerak saat Cina ikut membangun dengan lebih masif sejak 2011.

Pada 2013, pengacara-pengacara dari Amerika Serikat membantu Filipina mengajukan gugatan ke tribunal internasional soal sengketa dan ketegangan kemudian menjadi-jadi.

Meski begitu, pergerakan dan agresi militer Amerika Serikat terikat kakinya oleh perekonomian mereka yang sudah terlanjur tergantung dengan Cina. Dari situ, masuk yang namanya Trans-Pacific Partnership (TPP).

Perjanjian dagang (bebas) tersebut mula-mula dirancang Singapura, Selandia Baru, dan Cili pada 2002. Negara-negara tersebut secara geografis terlihat acak. Namun Amerika Serikat masuk pada 2008 dan mengambil alih kepemimpinan negosiasi perjanjian dagang tersebut.

Negara-negara lain kemudian dirangkul. Sebagian negara-negara tersebut, membentuk pagar yang mengelilingi Laut Cina Selatan. Vietnam, Singapura, Malaysia, Brunei, dan Jepang. Ia akan jadi pagar sempurna bila dilengkapi Filipina (yang berencana bergabung), dan Indonesia (yang juga berencana bergabung). Negara-negara tersebut sedianya juga khawatir dengan agresi Cina.

Draf perjanjian tersebut, sepanjang negosiasi, dibuat dalam kerahasiaan. Tapi bocoran yang menguar mengindikasikan bahwa ia punya potensi besar mengalihkan ketergantungan Amerika Serikat dan anggota-anggota lain dari perekonomian Cina. Semisal nantinya Cina bergabung, gerak ekonominya juga terancam dibatasi dengan standardisasi ketenagakerjaan, perlindungan hak intelektual, dan pembatasan intervensi pemerintah terhadap investasi asing. Dalam hal ini, seperti dibilang Menhan AS Ash Carter, TPP sama pentingnya buat AS dalam strategi rebalancing dengan pengerahan kapal induk baru.

Barangkali bukan kebetulan, dua hari sebelum TPP disepakati parlemen Amerika Serikat untuk maju ke kongres pada pertengahan tahun lalu, pesawat tempur Amerika Serikat melintas di Laut Cina Selatan. Atau saat negara-negara anggotamenyepakati draf TPP awal Oktober silam, kapal-kapal tempur mulai merapat 12 mil laut dari pulau buatan Cina di Laut Cina Selatan.

Pada akhirnya, ini adalah permainan besar dari hegemoni lama yang gelisah dan hegemoni baru yang mencoba menancapkan kuku. Ia adalah cerita lama soal dua imperial yang sama-sama tak jenak dengan kehadiran satu sama lain. Cerita lama yang biasanya punya akhir tragis.

Pertanyaannya kemudian, apakah kita mau ikut-ikutan dalam permainan konyol tersebut? Atau kita mau jadi penengah yang adil? Kita adalah bangsa yang tak kecil. Keberpihakan kita pada salah satu sisi akan sangat mudah membuat teraju jadi miring sebelah.

Bagaimana kalau sekaranglah saatnya kita menegaskan kembali pesan Bung Hatta untuk mendayung di antara dua pulau? Kecuali jika Anda, Pak Presiden, sejatinya tak sedemikian percaya bahwa kita adalah bangsa yang besar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement