REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Firkah Fansuri
Festival Ekonomi Syariah atau "Indonesia Sharia Economic Festival" (ISEF) digelar di Surabaya 25 hingga 30 Oktober 2016. Inilah salah satu festival terbesar ekonomi syariah di Tanah Air yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Festival yang dibuka oleh Presiden Joko Widodo tersebut menargetkan Indonesia menjadi pusat pengembangan ekonomi syariah.
Sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, keinginan menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah sebenarnya sah-sah saja. Sebab, ekonomi syariah selama ini sudah dipercaya tidak saja oleh warga Muslim, namun juga non-Muslim. Kepercayaan terhadap ekonomi syariah di beberapa negara-negara Eropa karena ekonomi syariah sudah teruji tahan terhadap goncangan krisis. Tentunya, bila warga non-Muslim saja percaya dengan sistem ekonomi ini maka harusnya warga Muslim lebih mempercayainya lagi.
Untuk itu, Indonesia sebagai negara dengan Muslim terbesar sangat realistis jika menargetkan dirinya sebagai tempat pengembangan ekonomi syariah. Masalahnya keinginan dan cita-cita Indonesia sebagai kiblat ekonomi syariah saat ini masih seperti mimpi. Itu bisa tercermin dari jumlah pangsa pasar perbankan syariah yang akhir 2015 lalu belum menyentuh angka 5 persen setelah 20 tahun perbankan syariah di kembangkan di negeri tercinta ini.
Bila kita mencoba menengok negara tetangga Malaysia, ekonomi syariah mereka jauh lebih berkembang dibandingkan kita. Pangsa pasar perbankan syariah di negara itu sudah mencapai di atas 20 persen. Sebuah angka yang cukup besar jika dibandingkan dengan negara kita yang masih di bawah 5 persen. Andai saja kita berangan-angan untuk menyamai Malaysia, akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapai pangsa pasar perbankan syariah berada di kisaran 20 persen. Untuk mencapai pangsa pasar 5 persen saja kita membutuhkan waktu 20 tahun sejak perbankan syariah diperkenalkan di Tanah Air. Akan butuh beberapa puluh tahun lagi supaya perbankan syariah kita sejajar dengan negara tetangga Malaysia.
Salah satu kata kunci dalam memperluas pangsa pasar perbankan syariah adalah keberpihakan pemerintah. Selama ini pemerintah dinilai masih sangat kurang berpihak kepada keuangan syariah. Itu terlihat ketika perbankan syariah mau dikembangkan. Tarik-menarik agar perbankan syariah hanya sebagai pelangkap sangat terasa. Hal itu bisa dilihat dari mulai otoritas di bidang keuangan, dan pemerintah itu sendiri. Padahal di Malaysia beberapa dana pemerintah ditempatkan di perbankan syariah sehingga secara otomatis pangsa pasar keuangan syariah juga cukup signifikan.
Komitmen pemerintah sebenarnya bukan tidak ada. Namun hal itu kita rasakan belum maksimal. Dana haji yang sebenarnya harus dijaga dari kemungkinan tercampur dengan sistem bunga, baru beberapa tahun terakhir saja ditempatkan di perbankan syariah, termasuk untuk menyetor onkos naik haji (ONH).
Seharusnya dana yang berkaitan dengan ibadah tidak ada lembaga keuangan lain kecuali perbankan syariah. Kenapa ini bisa terjadi? Lagi-lagi karena komitmen pemerintah yang memang harus kita minta untuk lebih besar.
Walaupun demikian, tentu kita merasakan tidak ada gunanya kita menyesali kekurangberpihakan pemerintah terhadap keuangan syariah di masa lalu. Kita perlu melihat ke depan. Dan untuk menjadikan ekonomi syariah di Tanah Air sebagai kiblat dunia di kemudian hari perlu keseriusan beberapa pihak.
Selain pemerintah, yang tidak kalah pentingnya adalah Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas keuangan harus memiliki komitmen yang besar. Tanpa komitmen yang besar OJK maka pengembangan keuangan syariah akan menghadapi sejumlah kendala. Sebab, bila kita akan mendapati kebijakan OJK atau BI yang ramah terhadap keuangan syariah membuat perkembangan syariah di Tanah Air pun bisa lebih pesar.
Yang juga tak kalah penting adalah lembaga keuangan syariah. Sudah berapa besar langkah lembaga keuangan syariah memperluas pasar. Jangan-jangan selama ini lembaga keuangan syariah sendiri belum maksimal mengembangkan dirinya. Penyebabnya bisa jadi karena memang lembaga keuangan syariah hanya hadir untuk mengikuti tren saja dan kurang serius untuk ekspansi dan sosialisasi. Penyebab lainnya para pengelola keuangan syariah dalam hal ini di level direksi ternyata memang komitmen untuk menengembangkan syariah kurang serius. Mereka mengelola perbankan syariah hanya karena tugas, bukan ada di dalam hatinya. Menjadi direksi di lembaga keuangan syariah bukan menjadi pilihan yang terus digelutinya sampai pensiun.
Sedangkan dari sisi masyarakat kita masih banyak yang kurang tertarik dengan lembaga keuangan syariah. Ini menjadi pertanyaan yang menarik karena di negara-negara non-Muslim saja lembaga keuangan syariah dipercaya. Bisa jadi hal ini karena kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat di Indonensia belum tertarik dengan kemudahan yang diberikan pengelola lembaga keuangan syariah.
Bagaimana pun kita optimistis, suatu ketika Indonesia sebagai penduduk dengan jumlah muslim terbesar akan menjadi kiblat negara lain dalam hal lembaga keuangan syariah. Harapan itu bukan hanya angan-angan jika pemerintah, OJK, Bank Indonesia, lembagai keuangan syariah dan masyarakat memiliki visi yang sama untuk berpihak kepada sektor ini. Kita harus yakin lembaga keuangan syariah layak dikembangkan karena di negara luar pun sudah teruji tahan terhadap krisis ekonomi global yang melanda dunia.