Ahad 15 Oct 2017 09:21 WIB

Anies-Sandi, Reklamasi, dan Bandul yang Berbalik

Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.
Foto: Mas Alamil Huda
Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika khusus Isu-Isu Nasional dan Kota, Peliput Kampanye Anies-Sandi

Reklamasi Teluk Jakarta dan Anies-Sandi adalah dua sisi mata uang. Konteksnya adalah subjek dan objek kebijakan, setidaknya terhitung pascapelantikan keduanya sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI terpilih, Senin (16/10) esok.

Tetapi hubungan pasangan pemenang Pilkada DKI Jakarta 2017 itu dengan reklamasi sejatinya lebih dari sekadar administratif belaka. Janji menolak dan menghentikan reklamasi semasa kampanye menjadi titik singgung awalnya.

Janji kampanye adalah sikap politik yang ditawarkan pasangan calon ke pemilih (warga DKI). Dan, pemilihan langsung adalah wujud kedaulatan rakyat itu sendiri. Artinya, warga Ibu Kota yang menggenggam daulat tentu berhak menagihnya setelah pasangan Anies-Sandi resmi menjabat sebagai pemimpin DKI.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa sikap menolak reklamasi menjadi daya tarik luar biasa bagi pasangan yang diusung PKS dan Partai Gerindra tersebut. Janji politik ini terus dilontarkan dan selalu didengungkan Anies-Sandi sejak kampanye putaran pertama bergulir hingga debat kandidat terakhir. Penolakan terhadap reklamasi menjadi titik balik dalam kaitan dengan elektabilitas pasangan ini.

Terbukti, berbagai hasil survei menunjukkan adanya delta atau perubahan tingkat keterpilihan yang cukup signifikan. Posisi yang semula berada di dasar dari tiga pasangan calon yang ada, Anies-Sandi perlahan tapi pasti terus menanjak.

Saya merasa beruntung ditugaskan Republika menjadi bagian dari sejarah ini. Sebagai reporter desk nasional saat itu, saya ditempatkan untuk mengikuti pergerakan dari pasangan Anies-Sandi.

Ketika pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno di-launching Prabowo Subianto di Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat 23 September 2016, praktis sejak itu hampir setiap hari saya mengikuti pasangan ini. Sampai akhirnya dinyatakan menang oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta.

Saya masih ingat betul ketika Sandiaga Uno menyatakan sikap penolakannya terhadap reklamasi. "Hanya kami calon yang tegas menolak reklamasi." Pernyataan itu dilontarkan Sandiaga hari Selasa, 6 Desember 2016. Saya meyakini, pernyataan ini keluar dengan perhitungan yang sangat matang.

Sikap penolakan reklamasi adalah antitesis dari pasangan pejawat Ahok-Djarot. Mulanya, polemik reklamasi terjadi sejak anggota DPRD DKI bernama Sanusi ditangkap tangan KPK. Dia diduga menerima suap dari pengembang pulau buatan itu dalam pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi. Saat ditangkap, dia adalah ketua fraksi Gerindra di DPRD DKI.

Bak bola salju, kasus ini terus menggelinding dan gumpalannya kian membesar. KPK mengembangkan kasus ini hingga menyeret nama Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, perusahaan pengembang Pulau G.

Menariknya, seorang bernama Sunny Tanuwidjaja turut diperiksa dan masuk dalam daftar pencegahan ke luar negeri oleh KPK.

Belakangan, dalam sidang di pengadilan tipikor, sadapan percakapan antara Sunny dan Sanusi dibuka. Terungkap pembicaraan mereka tentang reklamasi, meski kemudian Sunny berkilah tak mengerti maksud Sanusi dalam percakapan tersebut. Sunny pun lolos dari jerat hukum.

Tapi Sunny adalah titik masuk bagi publik untuk menilai siapa Ahok. Mantan Bupati Belitung Timur itu awalnya mengakui Sunny adalah anak magang di kantornya. Sehari kemudian, Ahok menyebutnya sebagai teman.

Tapi fakta hasil penyidikan di KPK berbicara lain, Sunny disebut lembaga antikorupsi itu sebagai staf khusus Ahok. Akhirnya, Ahok secara diplomatis menyatakan tak ambil pusing jika ada yang menyebut Sunny adalah staf khususnya.

Inkonsistensi Ahok menjadikan orang susah percaya dengan kebijakan-kebijakan terkait reklamasi yang diklaimnya untuk kepentingan rakyat dan Jakarta sebagai kota. Ahok ngotot bahwa pemberian izin pelaksanaan reklamasi untuk beberapa pulau di Teluk Jakarta sudah benar. Sikap melanjutkan reklamasi ini kemudian dibawa Ahok-Djarot dalam kampanye.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement