REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Puspita*
Beberapa tahun lalu, saya pernah menonton mixed martial arts di sebuah mal di Jakarta Utara. Itu pertama kalinya saya menonton mixed martial arts secara langsung.
Sebelumnya, saya hanya menyaksikan mixed martial arts atau MMA lewat televisi, film, atau game. Saya bukan penggemar olahraga bela diri. Jadi, tidak bisa bilang apakah saya menyukai pertandingan yang mempertemukan petarung-petarung dari berbagai ilmu bela diri.
Kendati demikian, bagi saya, ide mempertemukan petarung dari berbagai ilmu bela diri menjadikan MMA sebuah olahraga yang antimainstream. Olahraga bela diri mainstream atau arus utama biasanya hanya mempertemukan atlet sesama cabangnya.
Setiap cabang punya aturan yang berbeda sehingga ide mengawinkan berbagai olahraga bela diri dalam arena seolah hanya ide yang terealisasi di game atau film. Namun, UFC mewujudkan itu.
Penggemar olahraga bela diri memiliki beragam pilihan: mau yang konvensional atau yang mixed. Selain itu, MMA juga menyediakan pilihan beragam bagi atlet bela diri untuk mencicipi arena berbeda dari latihannya selama ini.
Conor McGregor (AP)
Misalnya, Conor McGregor yang mengawali latihannya sebagai petinju, tetapi memutuskan melakukan debut MMA pada 2008. Sayangnya, McGregor menjadi sosok yang kontroversial bagi MMA.
McGregor, yang mengaku mengagumi Muhammad Ali, itu mengucapkan kata-kata kasar kepada lawannya sebagai perang psikologis sebelum bertanding. Namun, McGregor justru kerap melontarkan kata-kata yang dianggap rasis oleh lawannya.
McGregor dan calon lawannya tahun lalu, Floyd Mayweather, pernah beradu komentar soal sebutan 'kera’. Terbaru, McGregor melayangkan serangan terhadap agama, keluarga, dan negara Khabib Nurmagomedov.
Sebuah ironi kalau mengingat McGregor mengaku menggemari Ali, yang beragama sama dengan Khabib: Islam. Ali berjuang untuk melawan dominasi kulit putih, sedangkan McGregor justru sebaliknya.
Muhammad Ali (AP)
Bahkan, Mayweather pernah menyebutkan, popularitas McGregor menunjukan rasisme itu hidup dan nyata. Artinya, kata-kata yang dilontarkan oleh McGregor justru seolah ‘mengkhianati’ spirit MMA sebagai olahraga bela diri yang menghadirkan keberagaman di tengah bela diri arus utama.
Beruntunglah, bicara soal keberagaman dalam olahraga tidak perlu mengandalkan UFC (dengan McGregor-nya). Khabib yang sukses mendobrak dominasi petarung MMA asal Amerika Serikat merupakan buktinya. Selain itu, tokh, dunia olahraga beberapa tahun terakhir juga kerap menghadirkan event-event olahraga non-arus utama.
Secara umum, olahraga arus utama adalah olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade. Olahraga-olahraga ini biasanya mengakar pada apa yang disebut sebagai mother sports atau olahraga ibu seperti renang, senam, dan lari (atletik).
Dua tahun lalu, Jakarta, Indonesia, pernah menjadi tuan rumah pesta olahraga tradisional dunia atau TAFISA World Games. Tafisa atau The Associaton for International Sport for All merupakan organisasi internasional yang mempromosikan olahraga tradisional.
Tahun ini, atau yang baru saja selesai penyelenggaraannya, ada Asian Para Games atau pesta multicabang olahraga untuk penyandang disabilitas di Jakarta. Asian Para Games menghadirkan keberagaman dalam sebuah kompetisi olahraga, yang biasanya identik pada kemampuan fisik untuk memperebutkan medali.
Pebulu tangkis Indonesia Deva Anrimusthi, Hafizh Briliansyah, Suryo Nugroho dan Listyanto Putra menggigit medali usai pertandingan babak final bulu tangkis nomor ganda putra SU5 Asian Para Games 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (13/10). (Republika/Putra M Akbar)
Asian Para Games edisi ketiga ini menghadirkan 506 nomor di 18 cabang olahraga. Atlet-atlet penyandang disabilitas berkompetisi di tengah keterbatasan kemampuan fisik sehingga mengundang kekaguman bagi penontonnya.
Perjuangan atlet-atlet penyandang disabilitas selama beberapa hari ini mengubah pandangan sejumlah orang. Beberapa orang yang sudah menonton mengaku tidak lagi memandang penyandang disabilitas dengan kasihan.
Jikalau kasihan tanda sombong maka kesombongan memang seharusnya disingkirkan. Kesombongan itu selayaknya berubah menjadi rasa bangga karena anak bangsa berhasil menyumbangkan prestasi untuk negara. Bangga yang juga bercampur dengan rasa malu karena belum mampu berbuat untuk negeri.
Perubahan itu sekaligus menunjukkan atlet penyandang disabilitas ini adalah #parainspirasi bagi kita semua. Meski pesta #parainspirasi usai pada akhir pekan ini, senantiasa mereka selalu jadi inspirasi dan motivasi perjuangan banyak orang.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id