REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dwi Murdaningsih*
Media asing The Guardian sepekan lalu menyoroti tentang fenomena selfie (swafoto) di lokasi bekas tsunami di Banten. Dalam artikel yang ditulis pada Rabu (26/12), Guardian menulis mengenai seorang yang jauh-jauh datang ke Pandeglang memberikan bantuan kepada para korban tsunami. Setelah itu mereka melakukan selfie dan membagikannya di Facebook.
Belum lama ini, politikus Fadli Zon juga sempat berfoto di dekat jenazah Dian Pramana Putra ketika sedang datang melayat ke rumah duka. Oleh netizen, foto ini dinilai tidak sopan karena berfoto dalam suasana duka.
Perlilaku swafoto barangkali tak lepas dengan orang Indonesia. Ketika terjadi bom di Sarinah masyarakat juga banyak yang sengaja mendekat. Mereka penasaran. Setelah sampai, lalu berfoto.
Soal kebiasaan swafoto ini menarik perhatian para psikolog. Peneliti di Nottingham Trent University dan Thiagarajar School of Management (TMS), memastikan adanya gangguan kejiwaan yang disebut dengan istilah Selfitis. Gangguan kejiwaan ini ditemukan pada seseorang yang terlalu sering swafoto atau selfie. Pembenaran ini telah diterbitkan dalam International Journal of Mental Health and Addiction setelah dilakukan studi di India.
Dilansir di Yahoo Style, Rabu (14/2), India dipilih sebagai lokasi penelitian karena menjadi negara dengan pengguna Facebook terbanyak. India juga memiliki tingkat kematian tertinggi akibat percobaan melakukan swafoto di lokasi yang berbahaya.
Ada hal yang perlu diingat ketika melakukan foto. Apalagi membagikannya ke sosial media. Pertama, apakah perbuatan tersebut berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain? Jangan sampai demi ambisi selfie membahayakan keselamatan Anda. Coba ingat lagi, ada berapa berita mengenai orang yang meninggal karena terjatuh demi selfie di tempat yang tinggi? Jangan pernah mengorbankan nyawa atau menempuh bahaya demi mendapatkan ‘like’ yang tidak seberapa.
Selain itu, ketika berswafoto pikirkanlah apakah perbuatan tersebut membawa dampak terhadap orang lain?.
Mungkin tidak ada niat muncul dari diri orang yang berselfie di lokasi bencana untuk menyakiti hati para korban. Tapi, perlu diingat bahwa di setiap peristiwa duka atau bencana, ada hati yang terguncang sehingga harus dijaga dengan bijak. Tidak mudah menyembuhkan rasa trauma karena bencana tsunami yang datang dengan tiba-tiba.
Badan SAR Nasional menyatakan jumlah korban meninggal dunia akibat bencana tsunami yang melanda perairan Selat Sunda, Sabtu (22/12) kembali bertambah menjadi 429. Korban tsunami yang meninggal dunia itu hingga pukul 13.00 WIB tercatat 429 orang, luka-luka 1.041 orang, dan hilang 16 orang. Korban tsunami yang meninggal dunia dari warga Provinsi Banten sebanyak 313 orang dan Provinsi Lampung 116 orang.
Maka, bijaklah dalam berfoto dan mengunggahnya ke sosial media. Niat baik untuk berbagi dengan para korban juga harus diiringi dengan cara yang baik agar penerima bantuan tidak tersinggung atau tersakiti.
Para korban bencana membutuhkan empati dan dukungan agar segera bangkit. Sebaliknya, kita-kita yang beruntung tidak dalam kondisi musibah harus lebih banyak bersyukur. Mari menyongsong tahun 2019 dengan empati yang lebih subur tertanam di dalam hati. Selanjutnya, mari sebarkan virus-virus kebaikan melalui media sosial.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id