REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*
Kondisi bumi yang dahulu ramah akan kehidupan mendadak ganas. Tak ada lagi nuansa hijau dan biru yang menyejukan. Kondisi yang adanya hanyalah gelap dan suram. Bumi pun sekarat. Dengan teknologi yang dimilikinya, manusia pun melarikan diri. Ribuan bahkan ratusan roket membawa manusia menuju planet-planet yang mau menerima mereka.
Begitulah gambaran yang disajikan sineas Hollywood atas kondisi bumi yang tak lagi ramah dengan manusia. Planet biru itu bak pemangsa puncak. Manusia jadi korbannya. Dari plot demi plot yang ditampilkan di film itu, bisa ditarik kesimpulan, bahwa manusia bukan korban dari alam, tapi justru manusialah jadi korban keegoisannya sendiri.
Manusia lalai karena kemampuan teknologi yang dimilikinya, namun lupa bahwa ada alam. Tempat mereka tinggal. Jadi, sewajarnya alam pun mengamuk. Melahap kesombongan manusia dengan mudahnya. Namun itu hanyalah cerita fiksi ilmiah\f0\lang1033 .
Sekalipun itu hanya cerita fiksi ilmiah, namun fenomena sikap tak ramah manusia terhadap alam memang muncul. Keseimbangan alam sudah banyak terganggu. Kita bisa melihat Lahan serapan air hujan menghilang jadi bangunan megah dan indah. Lalu lahirnya banjir.
Pinggiran pantai yang demikian cantik dibedaki bangunan komersial. Munculnya banjir rob. Sungai yang secara alami memiliki peran vital dalam siklus air diisi oleh sampah rumah tangga. Sungai yang harusnya menyejukan menjadi sumber bau yang tak mengenakan. Banyak lagi contoh yang tak terhitung.
Alquran menyebutkan bumi dan segala isinya dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusianya. Di sinilah kecerobohan manusia dimulai. Keseimbangan yang sudah dibuat sedemikian rupa diganggu karena kesombongan, keserakahan, kikir, dan segala bentuk penyakit hati lainnya. . \ldblquote Telah tampak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).\rdblquote (QS ar-Ruum [30]: 41).
Jelas sudah, bukan alam yang tak ramah dengan manusia. Tapi karena manusia sendirilah yang membuat keseimbangan alam terganggu. Padahal keseimbangan ini seharusnya dijaga dan dipelihara. Inilah mengapa, pentingnya kita untuk berbuat adil. Manusia dilahirkan dengan kesimbangan antara kesalehan dan hawa nafsunya. Lagi-lagi Alquran menyebutkan situasi itu. Allah SWT berfirman, Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.(QS ar-Rahman [55]: 7-9).
Sekitar 14 abad silam, Rasulullah mengingatkan kepada kita untuk menjaga keseimbangan alam . Beragam contoh diperlihatkan beliau dalam sejumlah riwayat. Seperti Rasulullah menekankan agar bercocok tanam dan menghijaukan kembali tanah-tanah mati. Rasulullah juga meminta kita berhemat air ketika wudhu dan bersuci dari hadas kecil dan besar. Rasulullah juga meminta kita untuk tidak mengotori apalagi merusak lingkungan. Seperti buang hajat sembarang. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka dengannya ia mendapatkan pahala. Dan apa yang dimakan oleh binatang liar, maka dengannya ia mendapatkan pahala. (HR Ahmad).
Apa yang sudah disampaikan Allah SWT dalam Alquran dan pesan Rasulullah ini seharusnya cukup bagi kita untuk tidak lalai. Menjadi kewajiban kita untuk memperbaiki apa yang sudah terlanjur dirusak. Menjadi kewajiban kita pula, merawat apa yang masih ada. Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menyebutkan menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan sebuah keharusan yang tak terelakan. Dampak positif dari apa yang diupayakan manusia itu adalah keberlangsungan dan kesimbangan hidup. Walallahualam bis shawab
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id